Unperfect Marriage

Elisabet Erlias Purba
Chapter #24

#24. Bertengkar

Tom mengendarai mobilnya dengan penuh semangat saat mengetahui dari satpam sekolah bahwa Verzet dan Dinda telah dijemput sedari tadi oleh seseorang. Ya, tebak siapa? Vanila. Tom nyaris tak mempercayai hal itu.

Tanpa menunggu kelanjutan cerita sang satpam, Tom melajukan mobilnya di jalanan. Ada rasa berdebar di hatinya. Sebuah kebahagiaan dari rindu yang sebenarnya telah lama tak dialaminya dalam hubungannya dan Vanila. Apa Vanila juga kangen padanya? Tom menebak-nebak. Berharap itulah alasan Vanila buru-buru kembali.

Dia merasa seperti ketika pertama dia jatuh cinta kembali pada Vanila. Dicuekin dan hanya mendapatkan seulas senyuman. Namun malah membuat dia penasaran dan tergila-gila pada gadis itu, pada Vanila yang sederhana- mahasiswi fakultas hukum yang malah berakhir jadi novelis. Tom tersenyum kecil mengingat hal itu.

Tom meluncur dengan cepat membelah jalanan yang macet parah, menikung dari jalan-jalan tikus yang dia temukan dari google map. Tom mengambil resiko kesasar dari pada tak bergerak sama sekali. Thanks for God, dia ternyata tak tersesat malah tiba di rumah dengan lebih cepat.

Tom menekan kode keamanan rumah dan sebentar kemudian pagar membuka, dia melajukan mobilnya memasuki area pekarangan rumahnya lalu bergegas turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah yang siang menjelang sore terlihat sepi .

Tom menjejakkan kakinya di lantai rumah. Keadaan rumah telah bersih dan rapi, aroma pengharum ruangan terasa lebih keras di penciuman Tom-sebuah kebiasaan yang menandakan kehadiran Vanila. Tom tersenyum. Berpikir apakah Vanila tidak pernah merasa lelah sedikit pun? Entahlah. Vanila tidak pernah mengatakan hal itu padanya, isterinya itu nyaris lebih kuat dari baterai alkalin energezer- nggak ada matinya.

"Vanila! Sayang!" Tom mencari Vanila di segala ruangan, namun tak menemukan wanita itu. Berlari menaiki anak tangga, Tom melongok ke dalam kamar tidur mereka. Kosong. Beralih menuju ke kamar tidur Verzet dan Dinda, tapi hasilnya tetap nihil.

Kembali menuruni anak tangga, satu-satunya tempat yang Tom curigai adalah dapur. Di dapur Vanila memang tengah menyibukkan diri sehabis kembali dari pertemuan dengan Clara di kantor Tom. Tabiat isteri Tom itu selalu mencoba menyibukkan diri saat mengalami masalah dan kini sambil menguliti kentang, Vanila terisak tanpa henti sedari tadi. Karena terbenam dalam kesedihannya Vanila tak menyadari kehadiran Tom di rumah.

"Sayang." Panggil Tom saat menatap Vanila yang tengah memunggunginya. Dia tiba di ambang pintu dapur.

Suara itu tidak keras, malah lembut, tapi membuat Vanila yang tengah sibuk mengupas kentang untuk menu makan malam terkejut dan tanpa sengaja menjatuhkan pisau yang ada di tangannya. Pisau itu meluncur jatuh dan nyaris merobek kaki Vanila jika Vanila tidak bergerak refleks menghindar. Tom yang melihat hal itu berlari menghampiri Vanila.

"Kamu tidak apa-apa? Apa kakimu terluka?" Tom buru-buru berjongkok memeriksa kaki Vanila yang memilih diam membisu. Perhatian Tom menggores hati Vanila. Buat apa pria itu bersikap sok peduli saat pria itu sendiri mulai mempertanyakan keputusannya sendiri untuk menikahinya benar atau salah? Air mata Vanila jatuh menetes, mengenai lenganTom yang masih berjongkok di bawah kaki Vanila.

"Vanila..." Tom menengadah menatap wajah Vanila yang telah basah oleh air mata. Vanila buru-buru menyeka air mata itu. Ada rasa sakit yang menyergap hati Tom saat menemukan luka di wajah wanita yang telah bersamanya selama empat belas tahun ini, tentu saja jika dihitung sejak masa mereka bersahabat. Tapi Vanila memilih beranjak pergi. Jelas Vanila belum bisa memaafkannya. Oke, perselingkuhan memang bukan hal yang mudah untuk dimaafkan, tapi dia ingin Vanila tahu bahwa baginya keluarga mereka adalah segalanya. Orientasinya masih sama, dia hanya khilaf.

"Vanila," Tom mengekori langkah itu. Dua tiga kali memanggil isterinya itu kembali, tapi Vanila tetap tak menghentikan langkahnya. Melihat saja pun tak mau. Melihat Vanila yang tetap berusaha menghindar, Tom menarik lengan Vanila dan memaksa Vanila mendengarkannya. "Tolong dengarkan aku..."

"Apa lagi yang harus kudengar?" Suara Vanila terdengar parau. Tom bisa melihat bola mata Vanila yang memerah, entah sudah berapa lama isterinya itu menangis. Jelas Tom tak tahu, tapi yakin sudah cukup lama. Sekali lagi rasa bersalah menerpanya. Vanila menyeka air matanya, yang sialannya terus saja jatuh walau telah dia hapus berkali-kali dan menghujamkan tatapan mematikan pada Tom. "Aku sudah cukup mendengar semuanya. Aku sudah cukup tahu semuanya..."

"Ini tidak seperti yang kau pikirkan, Sayang." Tom berkata sambil membelai lembut pipi Vanila yang basah. Namun niatnya menghapus air mata di wajah Vanila mendapat penolakan. Vanila menepiskan tangan Tom dengan kasar.

"Tidak seperti yang aku pikirkan?" Vanila mengangguk getir. "Ya, kau benar ini tidak seperti yang aku pikirkan. Sebelum ini aku percaya aku punya seorang suami yang baik, yang bertanggung jawab dan mencintaiku, tapi sekarang tidak."

"Vanila, kau dan anak-anak masih segalanya bagiku. Kebahagiaan kalian masih menjadi orientasiku. Aku tahu..."

"Kau bilang apa? Kami masih segalanya bagimu? Kebahagiaan kami masih menjadi orientasimu?" Vanila tertawa getir. "Apa kau memikirkan kebahagiaan kami waktu kau berselingkuh dengan wanita itu?" Vanila bicara, namun sekuat tenaga mencoba tidak histeris, "Dari sejak kapan kau menyelingkuhiku? Kenapa kau menyelingkuhiku? Apa kurangnya aku dari wanita itu?" Tom terdiam. "Jawab aku! Jawab aku dengan jujur?!"pekik Vanila sambil memukul dada Tom yang segera berupaya menahan tangannya.

Lihat selengkapnya