Verzet mengkayuh sepedanya lebih cepat dan semakin cepat lagi. Segala ucapan mamanya pada papanya berputar menghantam labirin otaknya.
"Kehidupanku di banjiri penderitaan sejak aku mengenalmu. Kau bilang walau kita menikah aku tetap bisa mengejar mimpiku menjadi hakim, tapi karena sikapmu yang ceroboh dan nafsumu, aku harus mengandung di bulan-bulan pertama pernikahan kita! Kemudian aku disibukkan memperjuangkan kandunganku yang lemah dan segala urusan untuk kesehatan Verzet. Melupakan semua mimpi yang kupunya. Aku menghabiskan tahun-tahun hidupku untuk mengurusmu dan anak-anak. Melupakan kehidupan pribadiku seperti hang out bersama teman-teman, kumpul-kumpul untuk sekedar bertukar pikiran di kafe atau restoran mall hingga aku bahkan kehilangan kontak mereka dan menjadi asing dengan mereka karenamu. Tapi semua pengorbananku tak pernah penting di matamu. Aku baru tahu ternyata di matamu aku hanyalah seorang wanita yang suka mendumel dan memarahi anak-anak serta suka membesar-besarkan masalah. Hanya seperti itu aku di matamu. Jadi, akan kupenuhi semua keinginanmu untuk terakhir kalinya."
"Sayang, apa maksudmu?"
"Ayo berpisah."
Kenangan Verzet kembali pada kisah tadi pagi ketika dia tanpa sengaja melihat papanya dan wanita asing yang muncul di rumahnya saling berpelukan. Papanya berselingkuh dan mama kini akhirnya tahu, Verzet menebak.
"Hai, bocah, awas mobil di depanmu!" Suara seorang pria terdengar keras dan membuat Verzet tersadar dari lamunannya. Dia membanting sepedanya menghindari sebuah mobil yang melaju cukup kencang dan bodohnya nyaris dia selip tanpa memikirkan keselamatannya. Direm Verzet laju sepedanya dengan keras dan rem-an mendadak itu membuat dia terlempar menghantam sebuah mobil yang terparkir di depan sasana karate. Pria yang tadi berteriak memperingatkannya beberapa berlari menghampiri Verzet dan bergegas membatunya bangkit.
Verzet bangkit dengan tergopoh-gopoh. Punggungnya terasa remuk. "Masuklah dulu. Aku akan mengobatimu." Pria itu menuntun Verzet ke dalam sasananya setelah lebih dahulu mendirikan sepeda Verzet di depan sasananya.
Verzet duduk di sebuah bangku panjang tanpa sandaran yang ada di bagian tepi sasana, tepat di sisi dinding. Dia memandang beberapa anak yang berusia lebih tua darinya sedang melakukan latihan bertahan dan menyerang. Ini kali pertama dia bisa melihat latihan ini dari jarak yang cukup dekat. Selama ini dia hanya bisa melihat dari luar sana, dari balik jendela kaca sasana. Verzet mencoba menghapal gerakan yang dia lihat. Dia bahkan lupa dengan rasa sakit yang ada di punggungnya karena begitu serius menghapal gerakan-gerakan tersebut bahkan tanpa sadar tubuh Verzet telah bergerak mengikuti gerak-gerakan bela diri itu.
"Kau mau belajar bela diri?" Suara itu membuat gerak Verzet terhenti. Dia tersenyum kikuk pada pemilik sasana. "Sudah lama saya tidak melihatmu."
"Aku sedikit sibuk beberapa hari ini." Saat mengatakan hal itu Verzet teringat dia belum menyelesaikan beberapa pe er sekolah Dino, Alfa, Budianto. Ketiga teman sekelasnya yang selalu memprekusi dia di sekolah. Coba saja kalau dia bisa bela diri, ketiga temannya itu tidak akan bisa membully dia seenak mereka. Pria pemilik sasana mengajak Verzet duduk kembali di bangku panjang. Lalu mengobati luka di pelipis Verzet. "Om, aku boleh ikutan belajar bela diri di sini?"
"Tentu saja."
"Kalau aku ikut. Aku harus bayar uang les berapa, Om?" Verzet bertanya dengan serius. Berhubung mama tidak akan pernah mengizinkannya ikutan privat bela diri, jadi dia tidak akan pernah bisa meminta uang privat pada mama. Berbeda dengan mama, papa menyetujui dia ikut les privat bela diri, tapi Verzet sedang kesal pada papa yang berselingkuh dari mama, jadi dia tidak berniat meminta uang pada papa. Satu-satunya sumber biaya untuk les ptivat bela diri yang ingin dia ikuti adalah tabungannya dan itu tidak banyak.
"Sebentar. Om akan ambilkan brosurnya." Pria itu beranjak sebentar lalu kembali dengan brosur di tangannya yang segera dia serahkan pada Verzet. Verzet mengamati brosur itu dengan wajah antusias lalu kemudian berubah di tekuk.
"Oke deh, Om. Aku balik dulu, ya." Verzet melambaikan tangannya. Pria itu menatapnya dengan iba lalu beranjak mengejar Verzet.
"Kalau kamu memang berniat belajar bela diri, saya akan kasih kamu harga khusus. Lima ratus ribu satu bulan, tapi selesai latihan kamu bantu saya membereskan sasana. Bagaimana?" Wajah Verzet berubah sumringah.
"Saya mau, Om."
"Baguslah, kalau begitu besok kamu bisa belajar di sini."
"Bagaimana jika aku mulai hari ini juga, Om. Bolehkan?"
"Kamu mau mulai hari ini juga?" Verzet mengangguk mengiyakan. "Apa orang tua kamu tidak mencari kamu?" Verzet menggeleng. Berdusta. Lagi pula dia sedang tidak ingin pulang ke rumah setelah mendengar pertengkaran papa dan mama. Uhhh, apa hari ini papa dan mama benar-benar berpisah? Lalu dia dan Dinda menjadi anak-anak broken home yang harus memilih untuk ikut salah satu dari antara kedua orang tua mereka: entah papa atau mama? Tentu saja dia akan memilih mama, tapi dia tidak ingin berpisah dengan Dinda yang sangat menyayangi papa. "Kamu ganti pakaian kamu lalu kita mulai latihan. Mulai hari ini saya akan jadi Sinse kamu." Verzet mengangguk dan memberi hormat pada sang Sinse seperti yang biasa dia lihat dilakukan murid-murid lainnya dari balik jendela kaca perguruan karate lalu berlari ke ruang belakang untuk berganti pakaian dengan seragam yang diberikan sang Sinse.
***
Tom dan Vanila menghentikan pencarian mereka. Seperti yang mereka sepakati mereka bertemu di perempatan jalan yang tidak jauh dari perumahan tempat tinggal mereka. Tom berlari mendapati Vanila yang telah menghentikan mobil di pinggir jalan dan segera turun menghampiri Tom. Melupakan semua rasa sakit hati, dia menghampiri suaminya itu.
"Bagaimana? Kamu melihat Verzet?" Keduanya mengucapkan kalimat yang sama lalu sama-sama kecewa.
"Tenanglah. Dia akan baik-baik saja," Tom mencoba menenangkan Vanila yang nyaris sudah meneteskan air mata kembali. "Oya, sedari tadi aku tidak melihat Dinda..."
"Ya, ampun." Kembali Vanila memekik,"aku melupakan Dinda. Dia ada di pesta ultah Siesie. Aku berjanji akan datang kembali setelah dari kantormu...Maksudku..." Vanila benci keceplosan. Dia membekap mulutnya.
"Kau dari kantorku?" Tom bertanya dengan kaget. "Dan bertemu Clara?" Vanila membuang wajahnya. Tak perlu jawaban. Tom tahu dan mengerti apa yang kini telah terjadi. Yakin seratus persen, Clara pasti membocorkan seluruh hubungan terlarang mereka, masih untung jika tanpa ditambah bumbu-bumbu penyedap lainnya. Namun dia yakin Clara pasti telah menambah bumbu-bumbu yang mendramatisir keadaan rumah tangga mereka dan membuat hubungannya dan Clara terlihat jauh lebih sempurna. Jelas Vanila begitu marah padanya. "Sayang, aku benar-benar telah mengakhiri hubungan antara aku dan Clara." Vanila menarik tangannya dari sentuhan Tom. "Apa yang harus aku lakukan agar kau mau memaafkanmu dan percaya padaku?"
"Kau ingin aku memaafkanmu dan kembali percaya padamu?" Tom mengangguk.
"Aku akan lakukan apa pun yang kamu mau."