Vanila bergegas memasuki rumah sementara Tom menyusul di belakangnya sambil menggendong Dinda yang telah ketiduran di dalam mobil. Bergegas Vanila menguak pintu kamar Verzet. Verzet menutup buku yang ada di hadapannya sebelum mengizinkan Vanila masuk ke dalam kamarnya, lalu menyusupkan buku bersampul coklat itu di bawah buku bacaan yang ada di hadapannya dan meraih buku lainnya miliknya. Membukanya lebar.
"Kakak sedang nagapain?"
"Sedang ngerjain pr er, Ma." Vanila menatap lembaran yang terpampang di hadapan Verzet. Tugas matematika.
"Kakak udah makan atau belum?"
"Udah kok, Ma."
"Maaf, ya, Mama ninggalin Kakak sendirian. Mama tadi harus menjemput adek di rumah Tante Yunita. Siesie ulang tahun hari ini," Vanila menjelaskan sambil mengusap lembut anak rambut Verzet dan melepaskan sebuah kecupan manis di ubun-ubun kepala putranya itu. "Belajarlah yang baik. Oke. Mama mau mandi dulu, ya." Vanila berucap mengakhiri pembicaraan dengan Verzet. Sesungguhnya banyak hal yang ingin dia katakan termasuk menjelaskan apa yang tengah terjadi antara dia dan Tom tadi. Pertengkaran yang tanpa sengaja dilihat Verzet. Namun seluruhnya hanya terbenam di sistem limbik terdalam otaknya. Dia belum menemukan cara yang tepat untuk menyampaikan hal itu agar tidak menimbulkan traumatik bagi putranya.
Vanila baru saja melangkah beberapa langkah ketika suara Verzet terdengar bagai sebuah bisikkan,"Apa Mama dan Papa akan bercerai?"
Dear Tuhan. Pertanyaan menakutkan itu keluar juga dari bibir putranya. Jantung Vanila terasa tercabut dengan paksa dari rongga dadanya. Itu bukan pertanyaan yang mudah untuk dijawab terutama karena sebenarnya Vanila tak ingin berdusta pada putranya itu.
Entah sudah berapa lama Tom berdiri di ambang pintu kamar Verzet yang terkuak. Menunggu Vanila menjawab pertanyaan Verzet. Namun Vanila tidak bicara sepatah kata pun. Membeku bagai patung lilin yang indah di sana. Tom menarik nafasnya berat sebelum menguak pintu dan masuk ke dalam kamar tidur Verzet setelah meyakinkan dirinya sendiri bahwa Vanila tidak akan mampu menjawab pertanyaan itu. Tom melempar senyum pada putranya yang membalas menatapnya dingin sedingin es di kutub selatan.
"Pe er Kakak sudah selesai? Ada yang perlu Papa bantuin?" Tom menawarkan bantuannya, namun mendapatkan gelengan kepala dari Verzet. "Serius nggak mau Papa bantuin? Papa juara satu umum loh di sekolah." Tom menyombongkan kemampuan dirinya sambil meraih buku yang ada di hadapan Verzet. Buru-buru Verzet meletakkan kedua lengannya di atas buku-buku yang ada di atas meja seakan-akan menjaga buku-buku itu dari jangkauan Tom. Tom melirik sikap Verzet. Mencoba menebak bahwa di salah satu buku yang ada di meja belajar putranya itu pasti ada nilai merah dan Verzet takut mendapatkan amarah darinya. Tom membaca buku yang ada di tangannya. Tersenyum pada kesempurnaan jawaban yang diberikan putranya di setiap pertanyaan. Jelas-jelas Verzet mewarisi otak cemerlangnya.
Lalu Tom menyadari bahwa Vanila masih berdiri di tempatnya sedari tadi. Mengalihkan pandangan pada Vanila, Tom berujar: "Sayang, pergilah mandi. Aku yang akan bicara pada Verzet." Vanila melangkah setelah mendapat lampu hijau dari Tom seakan terbebas dari tiang gantungan.
Tom menatap kepergian Vanila hingga hilang di balik pintu, lalu mengalihkan pandangan pada seluruh penjuru kamar Verzet. Ruangan biru laut yang dindingnya di penuhi gambar salah satu super Hero Marvel: Spiderman yang dahulu dia pilih bersama Vanila pada salah satu interior design.
Meletakkan buku yang ada di tangannya kembali ke atas meja belajar Verzet, lalu Tom meraih bolpoin dan menandatangani tugas sekolah yang telah dikerjakan putranya itu. Saat itu Tom menyadari bahwa mungkin itu adalah tanda tangan pertamanya pada tugas Verzet setelah empat tahun Verzet duduk di sekolah dasar. Entah sejak kapan, kini dia menyadari bahwa dia tidak pernah membubuhkan tanda tangan pada tugas putranya itu. Vanila benar dia terlalu sibuk dengan segala urusan pekerjaan hingga mungkin suatu saat dia akan terkaget-kaget bahwa Verzet dan Dinda tiba-tiba berubah dewasa.
"Ada lagi yang harus Papa tanda tangani?" Tom bertanya dan Verzet meraih beberapa buku lainnya dari tumpukan buku di atas meja belajarnya. Sekali lagi Tom membubuhkan tanda tangannya. "Ini tanda tangan dari Vice Presiden Direktur PT Clement Construction perusahaan yang membangun beratus jalan layang di seluruh Indonesia," Tom menggoda. Namun tak dianggap lucu oleh putranya. Dan Tom menyadari leluconnya garing amat. "Sudah semuanyakan? Sekarang Kakak istirahat, ya. Ini sudah malam." Tom mengobok-obok rambut putranya itu dengan kasih sayang, tapi seketika mendapat protes dari Verzet akibat tatanan rambutnya yang rusak. Ahh, Verzetnya sudah kelas tiga SD bahkan seharusnya kelas empat kalau tidak karena Verzet tinggal kelas satu kali akibat meliburkan diri selama nyaris enam bulan karena sakit asma akut yang dia derita. Hal logis yang membuat Vanila begitu cemas pada keadaan Verzet dan berubah teramat higenis. Lalu dia bertingkah konyol bagai bocah kecil yang butuh perhatian ekstra besar dari isterinya sendiri dan marah karena tak menemukan perhatian itu dari Vanila. Dia sungguh kekanak-kanakan. "Kakak tidur, ya. Selamat malam." Tom mengucapkan salam, bersiap mengakhiri kebersamaannya dan Verzet ketika Verzet mengulang kembali pertanyaannya.
"Apa Papa dan Mama akan bercerai?"
Langkah Tom terhenti sejenak. Lalu perlahan dia membalikkan badannya, menatap manik hitam mata Verzet yang mewarisi pesona di matanya.
"Tidak." Tom berkata pasti, "Papa dan Mama tidak akan pernah bercerai. Papa dan Mama akan tetap menjaga dan merawat Kakak dan Dinda sampai kalian dewasa, menikah dan memiliki anak-anak. Kami tidak akan pernah bercerai."
"Tapi Papa memeluk wanita itu."
"Haa?" Kening Tom berkerut. Garis-garis halus yang malah menambah pesonanya sebagai seorang pria di usia nyaris kepala empat.