Vanila menatap nanar ke luar coffee shop, di atas mejanya terpampang layar laptop yang menyala terang. Belum ada ide sedikit pun sedari tadi..., ahh ... bukan sedari tadi, tapi sepertinya sedari kemarin lalu saat dia tanpa sengaja membaca notif di ponsel Tom dan mengetahui Tom, suami sempurnanya menyelingkuhinya. Enggan pulang, akhirnya Vanila terdampar di tempat ini. Menikmati kesunyian di coffee shop ini.
Vanila baru menyesap kembali se-cup cappucino latte yang ada di hadapannya. Ya, dia sengaja tidak memesan Vanila latte kali ini. Berharap minuman baru akan memperbaiki mood-nya yang telah porak-poranda sedari beberapa hari lalu. Namun tetap saja gagal.
Ting.
Ting.
Ting.
Ponsel Vanila berdenting beberapa kali. Beberapa saat Vanila membiarkan benda itu, hingga ponselnya kembali berbunyi. Perlahan Vanila menggapai ponsel yang ada di dalam tasnya.
"Ya?"
Baru mengatakan kalimat itu, Vanila seketika diliputi perasaan cemas. Dia lupa melirik identitas si penelpon dan kini merasa cemas jika yang menelponnya saat ini adalah Tom. Jika ini benar Tom, Vanila tak tahu apa yang harus dia katakan saat Tom menanyakan keberadaannya. Mengatakan sejujur-jujurnya keberadaannya..., Ouchhh dia kan mau menghindar dari Tom setelah pertengkaran hebat kemarin malam yang bahkan menyebabkan dia melayangkan tamparan pada pipi Tom.
Vanila mengepalkan tangannya. Meletakkan kepalan itu di mulutnya, dia masih bisa merasakan telapak tangannya yang sakit akibat tamparan itu. Bahkan kemarin dari sisi jari-jarinya, Vanila bisa melihat darahnya. Sebegitu keras dia menampar Tom. Pasti begitu sakit bagi Tom. Kemarin adalah kali pertama dalam hidupnya dia menampar Tom. Kali pertama dan dia harap menjadi kali terakhir. Apa kabar Tom hari ini? Apa dia sudah bangun? Bagaimana pipinya? Bengkakkah? Nyenyakkah dia tidur kemarin malam? Dan kopinya... Taukah Tom memanaskan kopinya yang mendingin di atas meja makan? Hati Vanila bertanya-tanya.
"Ini gue: Andy." Suara di seberang memperkenalkan diri. Vanila merasa lega, namun sekaligus entah mengapa kecewa karena si penelpon ternyata bukan Tom. Sekelebat pikiran Vanila menjelajah memikirkan apa yang tengah Tom lakukan saat ini. Bekerja atau malah tengah bermesraan dengan sekertaris tercintanya?
Ahh, Vanila benci... Vanila benci Tom dan lebih benci pada dirinya sendiri saat dia menyadari dia tak bisa mengontrol pikirannya tentang Tom. Bagaimana bisa pria itu masih mengambil seluruh bagian dari otaknya setelah apa yang Tom lakukan padanya? Buat apa dia mengkhawatirkan Tom? Buat apa dia memikirkan laki-laki egois itu? Cinta mereka sudah berakhir sejak Tom menemukan selingkuhannya, sang sekertarisnya yang lembut... Rumah tangga mereka sudah finish secara romantis walau secara de facto dan de jure belum. Tetap saja, bukankah sebuah rumah tangga yang tanpa cinta bukanlah rumah? Vanila merasa tidak tengah mendramatisir keadaan. Kebenarannya memang begitu.
Bagi Tom dia hanya seorang wanita histeria yang suka membesar-besarkan masalah. Hanya seorang wanita yang suka bertengkar dengan anak-anak dan Tom mulai bertanya pada dirinya sendiri apakah dia terjebak dalam sebuah tumah tangga yang jauh dari kata idaman seperti yang dulu pernah dia bayangkan? Walau akhirnya Tom mengatakan bahwa dia tidak pernah menginginkan perceraian diantara mereka, tapi rumah tangga macam apa yang ingin Tom bina dengan bertahan pada seorang wanita yang telah memiliki image terburuk dalam pandangan Tom? Dada Vanila terasa sesak. Sekali lagi air matanya jatuh.
"Vanila, apa kau baik-baik saja?" Suara di seberang sana menyentakkan Vanila. Dia melupakan orang yang tengah menelponnya. Ponselnya masih tersambung, suara Andy Herline terdengar cemas dari seberang sana. Buru-buru Vanila menarik tisu dari kotaknya dan menyeka air matanya. Lupa bahwa Andy Herline tidak tengah melihatnya. Lalu bicara seceria mungkin.
"Ya, tentu saja aku baik-baik saja. Bagaimana syuting hari ini?" Vanila bertanya lalu menyeruput kopi di hadapannya untuk menetralisir suaranya yang terdengar sedikit parau.
"Apa kau mengkhawatirkanku?" Andy Herline menggoda.
"Mengkhawatirkanmu? Sorry no way. Aku hanya kwatir sikap ogah-ogahanmu malah membuat skenario dari novel yang kutulis malah jadi hancur."
Andy Herline tertawa kecil. "Kalau tahu begitu salahkan dirimu yang meninggalkanku seenakmu."
"Apa?" Vanila memekik tertahan, "Yakinkan dirimu sedang berada dimana saat kau mau bicara seenaknya. Aku tidak mau ada orang yang malah salah paham saat mendengar ucapanmu."
Andy tertawa sekali lagi. "Aku tidak keberatan sama sekali jika ada yang salah sangka atas kalimatku padamu."
"Andy! Itu tidak lucu tau!" Vanila memekik kecil sambil melirik seorang waiters yang tengah menghampiri seorang pelanggan coffee shop yang baru tiba dan mengambil tempat di sisinya.
Berhenti tertawa, Andy Herline menyambung ucapannya sambil melangkah menelusuri gate kedatangan domestik. Wajah Andy Herline tertutup masker hitam, matanya mengenakan kaca mata hitam dan sebuah topi membenam dalam menutup wajahnya. Andy Herline mencoba berjalan sewajar mungkin diantara para penumpang pesawat lainnya sambil terus berbicara pada Vanila. Dia tidak perlu berada dalam antrian bagasi karena meminta salah satu tim produksi yang mengantri, keistimewaan seorang artis papan atas.
Andy yakin Vanila akan mencibirnya kalau tahu hal itu. Namun sekali lagi dia mendapatkan keistimewaan itu karena kerja keras. Jadi jangan marah. Sesekali dari balik kaca mata hitamnya Andy mengamati para fansnya yang berjubel di bandara sambil membawa spanduk atau sekedar souvernir sambil meneriakkan namanya diantara para penumpang pesawat lainnya yang baru tiba.
Bisa juga dia lihat berpuluh wartawan berjejer dan seorang pembuat fan page menenteng kamera jarak jauh dan membidik asal pada orang yang lewat. Label di tas orang itu jelas menunjukkan nama Andy Herline fanpage. Kali ini Andy tak berniat untuk nampang di bidikan kamera mereka. Andy tetap melangkah setenang mungkin. "Syuting telah selesai dan aku baru saja turun dari pesawat. Sekarang merindukanmu. Share loc sekarang juga dan aku akan segera datang."
"No way. Yakin seratus lima puluh persen para fansmu sedang berjubel di bandara untuk mengejarmu begitu juga para wartawan infotainment. Gue nggak mau jadi bahan gossip," Vanila bercanda dengan memakai kata lo-gue. Tapi Andy suka. Mereka jadi terasa jauh lebih akrab.
"Jadi lo nantangin gue buat nemuin lo gitu?" Andy melanjutkan kata lo-gue itu.