Unperfect Marriage

Elisabet Erlias Purba
Chapter #37

#37. Kenangan Kita : Pertemuan Pertama

Suara laju kereta api terdengar memekakkan telinga saat memasuki stasiun kereta. Bersama dengan teriakan para pedagang asongan yang berlari menerobos segala larangan untuk bisa jadi yang pertama dalam menawarkan dagangan mereka kepada penumpang kereta api Mataram dengan rute Gambir-Jogyakarta. Delapan orang mahasiswa-mahasiswi dari arah Utara dan Selatan berlarian menuju pintu kereta api yang sama. Pintu kereta api terakhir yang terbuka.

Salah satu penumpang dari arah Utara itu Vanila bersama beberapa teman dari fakultas hukum yang harus menyelesaikan tiga SKS kuliah kerja dan salah satu penumpang dari arah Selatan adalah Tom beserta beberapa teman-teman pencinta alamnya.

Meringsek masuk di menit-menit terakhir sebelum kereta api bergerak meninggalkan stasiun, Vanila tanpa sengaja membentur punggung seseorang yang ada di depannya lalu terjatuh di pangkuan seorang pria.

"Sorry, nggak sengaja," ujar Vanila sambil buru-buru bangkit dari pangkuan cowok itu.

"Sengaja juga nggak apa-apa kok. Aku rela lahir batin." Cowok dengan rambut sebahu yang diikat ke belakang itu bicara sambil tersenyum nakal. Karuan saja Vanila memasang wajah super super jutek. Namun bukannya ilfeel, cowok itu malah menambah godaannya, "Kalau kamu nggak nemuin tempat duduk kamu, pangkuan aku masih menunggu kamu loh." Teriakan jahil dari bibir kehitaman yang jelas karena kebanyakan mengkonsumsi rokok itu terdengar saat Vanila beranjak membuat beberapa teman Tom terkekeh geli. Membalikkan badan, Vanila balas memplototi wajah-wajah mahasiswa urakan itu. Lalu menemukan satu raut wajah tampan dan ramah diantara wajah-wajah urakan itu.

"Stop ! Nggak lucu kali ngejek cewek. Kalau adek perempuan lo atau cewek lo digodain cowok lain gitu mau?" Cowok ramah itu berteriak pada rekan-rekan mahasiswanya. Tepat saat itu Vanila menyadari bahwa mahluk itu bagian dari universitas yang sama dengannya dan rekan-rekannya.

"Van, yuk." Didi merangkul bahunya dan membawa Vanila melangkah dari lorong penumpang itu menuju kursi mereka. "Mereka tuh anak Teknik. Pura-pura nggak lihat aja."

Vanila mendengus namun memahami alasan ucapan Didi. Fakultas Teknik dan Hukum di universitas mereka sih memang terkenal sudah jadi musuh bebuyutan bergenerasi. Nggak jelas alasannya kenapa. Pokoknya ada saja alasan yang membuat mereka ribut bahkan walaupun itu hanya karena permainan futsal di acara ultah universitas atau acara kemahasiswaan lainnya bahkan acap perebutan cewek fakultas ekonomi atau kedokteran. Tiap jumpa dua fakultas itu akan berakhir dengan bentrok.

Bagi Vanila dia baru mengerti mengapa hal itu terjadi. Jelas karena anak teknik adalah golongan cowok-cowok kurang manner kecuali cowok satu itu.

Perjalanan Jakarta-Jogyakarta yang cukup lama membuat Vanila akhirnya bertemu cowok itu kembali, tepat ketika mereka sama-sama keluar dari toilet.

"Kamu....?? Sorry buat kelakuan teman-teman gue tadi."

"Kamu nggak punya kewajiban untuk minta maaf ke aku, mereka bukan anak di bawah umur dan bukan juga anak kamu kan?"

Cowok itu tertawa. "Ya bukanlah. Masa anak aku? Aku masih perjaka tahu."

"Nggak usah dibilangin juga keless..." sambut Vanila.

"Mana tahu kamu nggak percaya?"

"Ya, kale kalau mereka anak kamu, kamu nikahnya umur berapa?" Pria itu tertawa kikuk sambil menyugar rambutnya. Ganteng. "but... thanks buat pembelaan kamu ke aku tadi," lanjut Vanila sebelum minta diri. "Ya, udah aku balik ke kursi aku, ya..."

"Nggak di sini bentaran? Gerah di dalam." Vanila mengakui ucapan cowok itu. Emang benar sih di dalam gerah. Kantong mahasiswi memaksa mereka berhemat untuk tidak naik kelas bisnis. Bersama mereka berdiri di dekat pintu dan jendela kereta api, merasakan semilir angin meniup wajah mereka. Berdua mereka berdiri sambil berpegangan pada tiang kereta api.

Kemudian bicara tentang tujuan mereka. Dia dan teman-temannya yang ingin ke kantor kegubernuran Yogyakarta dan beberapa kantor penegak hukum, lalu membuat kusioner ke masyarakat sekedar untuk mencari tahu kelekatan hubungan nasional dan hukum kesultanan Yogyakarta dengan kehidupan masyarakat Yogyakarta. Sementara Tom beserta teman-temannya yang ingin mendaki gunung Merapi.

"Ini bakal jadi gunung kelima yang akan gue daki di dalam negeri dan kesembilan dengan beberapa gunung di luar negeri."

"Serius?"

Tom mengangguk. "Beberapa Tante dan Om aku tinggal di luar negeri, jadi kadang kalau liburan suka liburan ke sana terus mendaki gunung. Kalau kamu udah pernah naik gunung apa?"

Vanila menggeleng. "Belum. Sekali juga belum."

"Mau ikut aku?"

"Kan udah aku bilang kalau kami..."

"Maksud aku lain kali. Kita mendaki gunung bersama. Aku bakal jagain kamu."

"Nggak. Aku pasti nggak kuat. Nantinya malah nyusahin kamu dan teman-teman kamu."

"Nggak, aku nggak ngerasa disusahin kok. Senang malah. Jadi kamu maukan?"

"Masih kapan-kapan kan? Aku pikir-pikir dulu nggak apakan?" Tom mengangguk. Senyumnya mengembang indah sekali.

"Ehh, Tapi btw...kita bahkan belum kenalan dari tadi loh. Nama gue Tom Dwiguna." Cowok itu membuka pembicaraan yang telah terhenti diantara mereka. Saat itu Vanila bahkan sedang berpikir untuk kembali ke kursinya karena takut teman-temannya bakal kecarian. Vanila menurunkan pupil matanya menatap ukuran tangan itu. Baru akan mengulurkan tangannya ketika seorang gadis muncul dihadapan mereka.

"Kamu kemana saja sih? Aku nungguin kamu loh." Ucap gadis itu sambil bergelendotan di lengan cowok itu.

"Kan aku sudah bilang aku ke toilet bentar."

"Udah ke toiletnya?" Cowok itu mengangguk. "Kok nggak terus balik ke kursi kamu?"

"Di dalam gerah jadi mau ngadem sebentar di gerbong belakang yang lebih lengang."

Lihat selengkapnya