Vanila melangkahkan kakinya dengan tergesa. Hari sudah sore, awan mendung bergulung semakin gelap. Bentar lagi hujan bakal turun. Vanila lupa membawa payung dan dia cemas jika buku-buku kuliahnya dan laptopnya bakal tersiram derasnya hujan. Halte bis ada seratus meteran dari kampus, Vanila baru menjalani setengah bagian dari jarak itu.
Berlari-lari di menuju halte yang terlihat makin ramai, tanda-tanda bahwa dia tidak akan bisa pulang dengan bis pertama yang tiba di halte. Lalu suara klakson mobil itu terdengar dari belakang tubuhnya.
"Vanila." Cowok itu menyapa. "Udah mau ujan, aku antarin kamu pulang, yuk." Sejenak Vanila terdiam menentukan keputusannya. "Kenapa sih lo nggak mau balik bareng gue?"
"Aku nggak mau jadi hot issue kampus karena dekat sama playboy." Dia menyambut.
"Ya, ampun. Udah aku bilangkan aku nggak playboy. Kalau kamu mau jadi pacar aku, kamu itu bakal jadi pacar pertama aku di waktu kuliah." Vanila mendecih sinis. "Ya, udah terserah kalau nggak percaya juga. Nggak mau aku anterin juga nggak apa. Hujan-hujanan aja sendiri." Cowok itu mendumel kesal sepertinya balas dendam setelah beberapa hari lamanya berhasil dia hindari dan mulai melajukan mobilnya tepat ketika hujan turun dengan tetesan yang cukup besar.
"Iya deh. Aku mau!" Membuang gengsinya akhirnya Vanila berteriak saat beberapa tetesan air hujan mengguyur tubuhnya. Namun Rubicon itu masih melaju walau sebenarnya pelan banget. "Tom, berhenti!"
Mobil itu berhenti beberapa langkah di depan. "Cepet naik!" perintah cowok itu dari balik kaca mobilnya yang sengaja dia turunkan.
Sejujurnya Vanila ingin menggetok kepala cowok itu saat dia harus berlari menuju mobil itu sementara sebenarnya Tom bisa memupus jarak diantara mereka lebih cepat dengan memundurkan mobilnya. Namun apa boleh buat dia sedang memohon untuk nebeng di mobil cowok itu. Kalau nggak hujan, nggak akan mungkin dia melakukan hal itu.
"Thanks, ya." Vanila mau tak mau mengucapkan kalimat itu saat menghempaskan diri di sisi Tom yang segera menjulurkan sekotak tisu buatnya mengeringkan permukaan kulitnya yang dibasahi hujan yang segera dia terima.
Saat melap sekujur tubuhnya, Vanila tahu Tom mengambil kesempatan itu untuk memandanginya, tapi dia mencoba tidak memperdulikan hal itu. Toh cowok itu tidak melakukan apa-apa selain memandangnya.
Dan sebenarnya Vanila sudah meminta Tom memghentikan laju mobilnya di depan sebuah supermarket yang ada di depan komplek perumahannya. Namun cowok keras kepala itu malah ogah.
"Mama gue bilang kalau gue ngantarin cewek harus sampai depan rumahnya."
"Tapi guekan bukan cewek lo. Jadi stop, turunin aku di depan supermarket aja." Vanila berkeras, "aku bakal sangat berterima kasih sama kamu."
"Kalau kamu nggak mau aku turunin di depan rumah kamu, ya, sudah kita bakal mutar-mutar terus di sini."
Vanila rasa Tom gila! Dia bersikap baik dengan tidak menyusahkan cowok itu untuk masuk lebih dalam ke perumahan sederhana milik keluarganya, tapi cowok itu malah bersikeras dan membuat mereka berputar-putar dan menghabiskan waktu dan bahan bakar mobilnya.
"Oke. Perempatan depan, belok kanan terus masuk tikungan kedua dari kiri. Rumah ke delapan dari kanan tepat di depan tiang listrik. Itu rumah aku," akhirnya Vanila menginstruksikan dengan cepat dalam rasa enggan dan cowok sableng itu menuruti instruksinya hanya dengan sekali penjelasan darinya. Ckckck...harus Vanila akui otak cowok itu encer.
"Sampai." Cowok itu tersenyum penuh kemenangan saat menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah bercat putih. Vanila mendecih kesal sambil turun dari mobil itu. "Bilang terima kasih kek," Tom memberondong mengingatkan. Namun Vanila malah melambaikan tangan tanpa menghentikan langkahnya. Tak juga menatap Tom yang keki setengah mati karena tingkahnya.
"Daaahhh."
Vanila lupa bahwa Tom cowok keras kepala. Bukannya balik, cowok itu malah turun dari dalam mobilnya. Memutar matanya melirik lingkungan sekitar rumah Vanila. Bangunan disini memiliki tipe yang sama. Rumah sederhana ber-tipe tiga puluh lima. Perbedaannya hanya soal cat rumah. Pengecualian terdapat pada beberapa rumah di sekitar rumah Vanila yang telah direnovasi sementara rumah Vanila belum direnovasi. Namun bagian depan rumah Vanila di tata dengan rapi dan asri dengan beberapa pohon hias dan bunga.
"Rumah lo rapi."
"Aku yang kerjain semua." Vanila tersenyum puas sambil memandang pekarangan rumahnya yang rindang dan asri walau tak lebar. Beberapa orang telah memuji keindahan pekarangan rumahnya.
"Wow," Tom bergumam kagum, "benar-benar calon ART idaman."
"Lo bilang apa barusan?!" Vanila menghantam tubuh Tom dengan tas ranselnya yang berat karena dipenuhi beberapa kitab undang-undang.
"Adduuuh... Apaan sih?! Gue muji lo!" Tom menahan tas ransel Vanila dengan cara memeluk tas itu karena yakin Vanila bakal menghantamkan tas itu kembali kepadanya, sementara Vanila berusaha menarik-narik tas itu agar terlepas.
"Muji apaan?! Lo bilang gue ART!"
"Maksud gue lo ibu rumah tangga idaman!"
"Goblok! Itu IRT bukan ART!"
"Cuma beda I dan A aja! Repot amat sih lo!"
"Balik deh lo!" Vanila mendengus kesal dan membiarkan tasnya berada dalam pelukan Tom sementara dia menuju ke pintu rumah.
"Oke, aku minta maaf. Aku salah. Maaf, oke?" Suara Tom melembut. "Maksud aku kamu calon ibu rumah tangga idaman aku." Cowok itu bicara lagi.
Apaan sih, Tom?
"Berhenti ngerayu. Nggak mempan buat gue." Tepat saat Vanila mengatakan itu suara klakson terdengar dari depan mobil Tom yang menghalangi jalan menuju ke dalam pekarangan rumah Vanila. Vanila menoleh menatap sebuah sepeda motor yang cukup tua yang dikendarai seorang pria setengah baya dengan wajah yang tertutup helm hitam.
"Vanila!" Pria setengah baya itu membuka kaca helm yang dia kenakan. Vanila mendongak. Membeku menatap sosok yang kini menatap padanya.
"Ayah."
"Ayah mau masuk ke rumah. Kamu tahu pemilik mobil ini?"
"Saya, Om. Bentar, ya, Om." Tom bergegas menuju ke arah mobilnya ketika Vanila memanggilnya mengingatkan tas ransel gadis itu yang ada dalam pelukannya. Tom menyodorkan tas itu. Kemudian berlari kecil menuju ke sisi setir mobil dan melajukan mobilnya agak ke depan rumah. Menyisakan ruang buat masuk ke dalam pekarangan rumah Vanila.
"Kita masuk, Yah." Vanila langsung menggandeng lengan ayahnya. "Ayah pasti kedinginan. Vanila buatin teh hangat, ya."
"Terus dia?" Ayah melirik ke belakang punggungnya yang pasti bermaksud menanyakan Tom.
"Cuma teman, Yah. Bentar juga pulang sendiri."
"Hallo, Om." Tom yang telah turun kembali dari dalam mobilnya melangkah maju ke arah Vanila dan ayahnya. Vanila membeku tegang. "Kenalin, Om. Saya Tom Dwiguna, pacar Vanila."
"Bohong, Yah!" Vanila memekik.