Unperfect Marriage

Elisabet Erlias Purba
Chapter #39

#39. Kenangan Kita-Maukah kau menjadi sahabatku?

"Kenapa lo nggak mau jadi pacar gue?" Tom bertanya pada suatu pagi, saat itu bahkan Vanila baru tiba di kampus. Dengan wajah bengong dia menatap pemilik wajah tampan yang menyandarkan diri di tembok dinding koridor fakultas hukum. Jelas sekali menunggunya. Wuiiihhh, cowok ganteng seantero kampus nungguin dia, Vanila membekap mulut agar tidak bersorak kegirangan saat semua mata menatap iri padanya.

Entah apa yang dialami cowok itu. Pagi-pagi malah nanya yang aneh. Ya, sejak kejadian kepala Tom kena lemparan batu untuk menyelamatkan Vanila hubungan mereka makin akrab. Sebagai seorang teman maksudnya, tidak lebih.

"Kalau kamu mau punya pacar tuh sama Yayuk aja dia cantik. Nggak malu-maluin kalau kamu bawa ke kondangan."

"Kamu juga cantik. Cantik banget malah." Tom menarik tangan Vanila yang berjalan sambil berbicara. Kebiasaan buruk cewek itu. Memaksa mereka kini saling berhadapan. "Kamu itu cantik bahkan tanpa perlu usaha keras. You clearly know what I mean." pujian Tom membuat wajah Vanila merona merah. "Jadi jangan menjulurkan wanita lain kalau kamu menolak aku."

"Aku udah bilangkan kalau ayah..."

"Aku tahu permintaan Ayahmu. Tapi kalau hanya itu kita bisa backstreet. Ayah nggak perlu tahu. Aku udah ngejar-ngejar kamu satu tahun loh, masak kamu nggak ada feel sedikit pun sama aku?" Tom menghiba.

"Aku nggak mau jadi pembohong. Enak aja nyuruh aku jadi pembohong." Vanila mendorong jidat Tom dengan kesal tanpa menjawab pertanyaan cowok itu. "Belum jadi cowok aja udah ngajarin aku bohongi Ayah aku apalagi kalau jadi suami bisa-bisa ngajari aku nggak denger omongan Ayah. Jadi anak durhaka."

"Nggak gitu juga maksud..." Tom mendesah kesal, "capek ngomong sama kamu."

"Kalau capek ya, udah enggak usah ngomong." Vanila beranjak pergi.

"Van, gue serius. Jangan ditinggal dong." Vanila berhenti melangkah dan kembali membalikkan tubuhnya.

"Mau ngomong apa? Bentar lagi aku harus masuk kelas. Kamu juga harus masuk kelas kan?" Vanila melirik arloji di pergelangan tangannya. "Tiga menit. Dimulai dari sekarang."

"Cowok seperti apa yang kamu mau jadi kekasihmu? Beritahu aku."

"Apa itu penting buat kamu?"

Tom mengangguk. "Aku nggak akan menyerah sama kamu, Vanila Astanervary."

"Aku mau sebelum jadi kekasihku dia sudah menjadi sahabatku." Vanila memundurkan langkahnya menjauh meninggalkan Tom yang menatapnya penuh senyum.

"Vanila Astanervary, maukah kamu menjadi sahabatku?!" Tom memekik membuat seluruh mata menatapnya.

"Kamu harus berusaha!" Gadis itu memekik menantang. Benar-benar bukan gadis yang mudah untuk didapatkan. Tom terkekeh.

"Aku sudah bilangkan kalau aku nggak akan menyerah sama kamu, Vanila Astanervary! Suatu hari kamu pasti bilang kalau kamu mencintaiku melebihi apa pun juga di dunia ini!" Tom berteriak tanpa peduli seluruh mata mengarah padanya. Sangat memalukan. Vanila bahkan tidak berani berbalik untuk menatap wajah cowok itu karena yakin semua orang menatap mereka. Namun diam-diam dia terkekeh kecil-bahagia.

Tom memang lelaki yang terlahir tidak untuk ditolak.

***

Seperti pagi kemarin, pagi ini Vanila juga sama terkejutnya saat melihat sosok gagah itu berdiri menyandarkan diri di tembok dinding koridor fakultas hukum. Melihat rajinnya Tom muncul di fakultas ini, orang yang tidak mengenalnya pasti yakin dia adalah mahasiswa fakultas hukum dan bukan fakultas teknik. Beberapa dosen bahkan menawarinya untuk masuk kelas. Ckckck...

"Pagi, Tom."

"Lama banget sih kamu datang ke kampus," Tom mendumel padanya, Gayanya yang cool sirna sudah. "aku capek nungguin kamu."

"Kamu perlu aku?" Vanila mengeryitkan keningnya ingin tahu apa yang diinginkan cowok ini lagi darinya pagi ini.

"Jam berapa kamu bangun pagi? Masih molor terus sampai jam tujuh?" Ehh, makhluk itu menuduh seenaknya-enggak tahu apa dia kini berada dalam zona fakultas hukum yang memegang erat azas praduga tidak bersalah? Seenaknya menyalahkan orang tanpa bukti.

"Enak aja, emang kamu punya bukti aku bangun jam tujuh? Rumah aku jauh tau. Kan kamu udah tahu itu. Nuduh seenak jidat."

"Makanya besok pagi, aku jemput kamu."

"Ehh..Lagian juga buat apa kamu nungguin aku sepagi ini. Ke fakultas kamu sana, belajar yang benar."

"Sekarang ikut aku, yuk."

"Ehhh, mau kemana?" Vanila terlihat sedikit panik saat tangan Tom seenaknya telah mencantol tangannya dan menariknya berlari di koridor-koridor fakultas hukum. "Aku ada kelas Tom." Tapi Tom bahkan tidak perduli pada perkataan Vanila.

"Ini trip pertama kita sebagai sahabat." Cowok itu bicara konyol. Seharusnya Vanila tahu ini masih menyangkut perkataannya kemarin. Bahwa cinta datang dari persahabatan. Bahwa untuk menjadi kekasihnya, Tom harus menjadi sahabatnya terlebih dahulu. "Kita harus menjadi sahabatkan? Percaya sama aku usai perjalanan ini kamu pasti mau jadi sahabatku. Dan setelah itu, kamu nggak punya alasan untuk nolak jadi pacar aku." Benar-benar konyolkan-Tom bicara seakan ada panduan khusus untuk memulai persahabatan. Dan walau kesal, Vanila harus bilang apa pada kepala batu bernama Tom Dwiguna- toh cowok itu juga nggak bakal mendengarnya.

Saat mobil melaju, Vanila malah tergelitik ingin tahu apa yang direncanakan makhluk absurd itu untuk memulai trip persahabatan yang akan membuat dia mengakui cowok ini sebagai sahabatnya.

Lihat selengkapnya