Unperfect Marriage

Elisabet Erlias Purba
Chapter #40

#40 Kenangan Kita: Awal Pertama Bertemu Ibumu

Vanila tahu dia harus bersyukur. Kedatangan polisi ke depan restoran cepat saji bukan hanya membuat para brandalan itu kabur, tapi juga membantu Tom mendapatkan penanganan serius dan cepat dari rumah sakit. Tikaman yang dialami Tom bisa sangat serius karena pisau berkarat yang digunakan sang pelaku.

Saat Tom berada dalam penanganan dokter. Empat polisi yang tadi mengantarkan Vanila dan Tom ke rumah sakit segera membagi tugas. Seorang segera menghubungi kedokteran forensik, sementara petugas lainnya berusaha menghubungi keluarga Tom dan dua lainnya kini berdiri di hadapan Vanila untuk mengintrogasi gadis yang nampak sangat terpukul itu.

Dengan air mata berderai, Vanila menceritakan kejadian itu dari awal, sejak awal pertama Tom mengajaknya cabut pagi tadi. Sesekali Vanila bahkan tak bisa menahan sesenggukan hingga acap kali suaranya hilang ditelan tangisnya dan memaksa polisi kembali bertanya untuk mengklarifikasi kisah yang dia tuturkan atau sekedar memastikan kembali jawaban dari pertanyaan yang mereka ajukan.

Penyesalan menggelayuti hati Vanila sedari tadi. Jika saja tadi dia tidak mau menuruti Tom untuk cabut, kejadian di gelanggang olahraga tidak akan pernah terjadi. Tom tidak perlu terlibat perkelahian dengan brandal itu. Dan lebih bodohnya setelah perkelahian itu berakhir seharusnya dia meminta pada Tom untuk segera kembali ke kampus atau pulang bukannya menuruti ajakan Tom untuk singgah ke gerai makanan cepat saji. Jika saja dia menolak ajakan Tom untuk pergi ke gerai makanan cepat saji, semua ini tidak akan terjadi. Tom tidak perlu terluka seperti ini.

Seumur hidupnya Vanila tidak akan pernah mau bolos lagi bahkan walaupun Tom yang membujuknya. Melihat Tom terluka seperti tadi, dia kapok. Kapok banget.

Vanila bangkit dari tempat duduknya ketika seorang perawat memberitahukan kepadanya bahwa Tom sudah sadar. Syukurnya para polisi itu mau memahami hal itu dan segera menutup sesi tanya-jawab walaupun esok hari Vanila diminta datang ke kantor polisi guna melengkapi beberapa prasyarat laporan tindak pidana dan interograsi lanjutan. Yang sejujurnya hal itu memang akan Vanila lakukan. Dia akan memastikan para brandalan itu mendekam di penjara, khususnya pria dengan rambut berwarna-warni itu. Itu balasan yang pantas atas perbuatan jahat yang dia lakukan pada Tom.

Langkah Vanila nyaris berlari memasuki kamar rawat Tom. Kemudian di ambang pintu kamar dia menemukan Tom tidur tengkurap dengan kain kasa melilit di punggung hingga pangkal lengan atasnya. Jelas karena luka tikaman itu mengenai punggung Tom. Dua kali bahkan. Tom tidak mengenakan baju, punggung putihnya terekspos sementara piyama rumah sakit berwarna biru terlipat di atas meja kecil di sisi ranjang.

"Kita sudah menjahit lukanya dan melakukan segala prosedur untuk menyingkirkan kemungkinan tetanus yang bisa saja terjadi akibat pisau berkarat yang tertikamkan ke punggung saudara Tom. Tapi ada baiknya menjaga tubuh Saudara Tom agar tidak tidur terlentang dulu sampai lukanya mengering. Dan itu sepertinya agak sulit. Dia rewel sekali. Sedari tadi minta tidur terlentang." Si perawat melakukan sesi curhat pada Vanila sebelum melangkah pergi meninggalkan Vanila.

Perlahan Vanila melangkah mendekati sisi ranjang rawat Tom. Menyeka air matanya yang kembali terjatuh. Vanila berdiri beberapa langkah di sisi belakang ranjang dalam diam. Hanya memandangi punggung cowok keras kepala yang tak putus asa mengejar cintanya itu.

Tom membuka matanya saat telinganya samar mendengar tarikan ingus khas orang menangis. Nyaris membalikkan badan, dia mendengar jeritan bahagia dan protes jadi satu, "Jangan berbalik seperti itu!" Vanila memekik histeris sambil berlari menghampiri Tom, "Punggungmu bisa robek kembali."

"Tapi aku sudah bosan tengkurap seperti ini tau. Aku ingin bangun." Tom merengek seperti anak kecil. Tanpa diminta dua kali Vanila segera membantunya bangun. Saat tubuh itu mendekapnya dari depan untuk membangunkannya, Tom bisa merasakan aroma tubuh Vanila merasuk ke dirinya.

Dia mencium wangi tubuh itu dengan rakus bak menyesap udara untuk memenuhi rongga dadanya yang kosong. Kini dia tahu bagaimana rasanya hidup dari kematian. Dia hampir saja kehilangan gadis ini untuk selamanya. Gadis itu adalah segalanya baginya. Lalu matanya menyadari ada sisa air mata buatnya di pipi putih Vanila. Ada setangkup rasa bersalah menggerogoti hati Tom saat melihat hal itu. Demi Tuhan, dia tidak pernah ingin membuat Vanila menangis.

Vanila hendak beralih membetulkan kepala ranjang saat dia menyadari entah sejak kapan tangan Tom ternyata juga tengah mendekapnya. Vanila membiarkan hal itu. Menikmati pelukan itu. Kulit Tom halus dan wangi, ada geleyar eksotis saat kulit mereka saling menyentuh membuat jantung Vanila berdegup tak beraturan. Sesungguhnya Vanila berharap sekali saja waktu berhenti saat ini.

"Kau menangis untukku..."

"Kamu mau aku bereaksi seperti apa? Tertawa? Aku masih manusia tau..."

Lihat selengkapnya