Hari itu awal Minggu baru. Hari pertama perkuliahan di bulan yang baru juga. Kemarin lalu Tom baru saja keluar dari rumah sakit. Vanila baru melangkahkan kakinya dengan riang memasuki koridor gedung fakultas hukum. Kemudian matanya bersiobok pada sosok yang berdiri bersandar di kusen pintu salah satu kelas di lantai satu dengan terkejut.
"Ayo." Tom menghampiri Vanila dan segera tangannya menggenggam erat tangan Vanila dan menarik gadis itu yang mencoba meronta melepaskan tarikan Tom.
"Kamu mau bawa aku kemana?! Jangan bilang kamu mau cabut?! Tom, aku sudah katakan aku tidak mau ikut dengan kegilaanmu! Lepaskan." Vanila membuat kebisingan yang menarik perhatian mahasiswa lainnya.
Kemudian Tom melepaskan genggamannya begitu saja. Mata cowok ganteng itu menatapnya. "Siapa bilang aku akan cabut?"
"Kalau tidak cabut... Kau mau membawaku kemana?"
"Ke kelasku."
"Apa?" Vanila bengong hingga Tom mendorong keras rahangnya yang sedikit mangap, membuat bunyi 'tukk' saat giginya saling beradu. Dasar cowok sableng ini memang.... Vanila mengepalkan genggamannya kesal.
"Kau tahu balas budikan? Jadi sekarang bertanggung jawablah padaku. Jadi asistenku di kelas."
"Apa?"
"Lagi pula kau sudah berjanji pada Mama untuk menjagaku. Tanganku masih sakit. Tiap malam aku masih harus tidur tengkurap, pasti sulit untuk menulis."
"Tapi aku tidak tahu apa pun tentang arsitektur...." Vanila memberi alasan masuk akal. "Apa lagi menggambar bangunan."
"Kau tahu menuliskan? Itu sudah cukup. Ayo."
Tom kembali menarik keras tangan Vanila. Saat mereka melintasi fakultas hukum menuju fakultas teknik semua mata mengarah pada mereka- sejenis tatapan serius Tom dekat dengan cewek seperti itu? Tatapan itu belum berakhir. Ketika Vanila masuki kelas dan duduk di kursi yang berada di sisi kursi Tom, mata seluruh mahasiswa fakultas teknik yang full cowok tak beralih darinya. Walau jenis tatapan itu berbeda tetap saja membuat jengah.
"Apa hari ini kita kedatangan mahasiswa maksud saya mahasiswi baru?" Lihat, bagaimana dia begitu mencolok. Bahkan walaupun tidak duduk di kursi depan, dosen fakultas teknik segera melihatnya.
"Saya mohon izin, Pak untuk bawa asisten..."
"Asisten apa pacar?!" Pekikan riuh dicampur teriakan 'uuu' segera membisingkan suasana tepat setelah Tom memperkenalkan Vanila sebagai asistennya. Tom tak menggubris omongan dan teriakan itu. Seperti biasa cool abis.
"Saya bawa surat dari dokter ortopedi yang menyatakan bahwa tangan saya tidak boleh bekerja terlalu maksimal." Tom mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Namun dosen itu segera memintanya memasukan benda itu ke tasnya kembali.
"Saya percaya kamu."
Ckckck. Vanila berdecak kagum melihat reputasi Tom di mata dosennya, padahal Vanila tahu surat dokter itu pasti palsu.
Tapi bicara-bicara tentang rutinitas barunya sebagai asisten Tom, akhirnya hal itu membuat Vanila mengenal nyaris sebagian besar mahasiswa fakultas teknik sipil dan arsitektur.
"Soulmate aku." Vano, salah seorang teman sekelas Tom menyapanya saat dia melintas di tempat mereka biasa berkumpul- di bawah sebuah pohon di belakang fakultas teknik. Seperti biasa sehabis menjadi asisten Tom di mata kuliah struktur beton. Gara-gara nama mereka yang mirip Vano dan Vanila jadi Vano sering menggodanya dengan memberinya panggilan seperti itu.
Vanila memandang Tom yang telah jauh melangkah mendahuluinya dan berpikir tak ada salahnya mengenal teman-teman Tom sekalian mencari tahu sifat dan perangai Tom yang belum dia tahu.
Singgah sebentar bersama mereka mungkin nggak apa, pikirnya.
"Lo sama Tom pacarankan?" Dwiky salah satu yang duduk di bawah pohon bertanya saat Vanila bergabung bersama mereka.
Vanila menggeleng. "Nggak kita sahabatan."
"Tuh kan. Tuh kan," Vano melompat dari jok sepeda motornya dengan wajah sumringah. "Nggak mungkin juga cewek cerdas macam Vanila suka cowok belingsatan macam Tom. Gue bilang apa?!"
"Aku rasa Tom bukan cowok berlingsatan, ya."
"Kamu belum kenal dia aja. Coba kalau kamu kenal dia lebih dekat. Bakalan tahu deh dia nggak semanis wajahnya itu. Kita ada party. Kamu datang, ya."
"Sama Tom?"
"Terserah sih. Tapi aku yakin dia nggak akan sudi. Sama Vika aja. Kamu kenal Vika kan? Satu fakultas sama kamu kok."
Vanila mengangguk. " Tapi nggak kenal dekat."
"Nggak apa. Nanti juga jadi dekat. Kamu datang, ya?"
"Aku nggak janji sih."
"Kamu mau tahu tentang Tom kan? Kamu anak hukum. Kalau aku cerita pasti enggak percaya, butuh bukti. Nanti di sana aku bawain bukti tentang siapa Tom..kamu datang, ya." Vano memaksa, "aku kenal Tom udah lama. Kami teman satu SMA. Swear. Jangan bilang Tom nggak pernah cerita."
"Mataharinya udah panas nih, No ke kantin, yuk."
"Ikut, yuk."
Vano baru saja meraih pergelangan tangan Vanila ketika tangan Tom memaksa melepaskan tangan itu dan segera memposisikan diri di sisi Vanila. Bahkan segera lengan Tom merangkul pundak Vanila. " Vanila nggak akan pergi. Lebih baik kalian pergi sendiri."
"Lo bukan pacarnya, Tom..Jangan posesif gitu dong. Lo cuma sahabatnya."
"Karena gue sahabatnya gue punya kewajiban dan hak buat melindunginya dari makhluk macam lo-lo semua." Tom bertindak keras seperti seekor harimau yang menjaga kepunyaannya. Vanila menatap sikap berlebihan cowok itu. Selalu begitu.
Tawa Vano terlihat lebar lebih seperti mengejek. "Gue jadi merasa makhluk alien atau apa saat ngelihat lo ngelindungi Vanila sebegitunya dari gue." Vano mendekat menepuk pundak Tom pelan, "Sadar, Bro. Lo cuma sahabat. Jangan baper." Dia berujar di sisi telinga Tom lalu mengalihkan tatapannya pada sahabat-sahabatnya. Mengayunkan tangan kanannya sambil berseru, "Cabut, yuk."
Sebentar saja cowok itu bersama beberapa anak teknik lainnya sudah hilang dari pandangan Tom dan Vanila. Hanya asap tipis dari sepeda motor trail mereka yang tertinggal.
"Jangan pernah dekati mereka. Paham?" Tom berujar tegas pada Vanila kemudian mengajak Vanila pergi dari tempat itu.