Unperfect Marriage

Elisabet Erlias Purba
Chapter #43

#43. Baikan

Vanila memandangi Tom terus dari kejauhan- mengingat kenangan yang telah dia dan Tom jalani berdua selama ini membuat Vanila menyadari bahwa dia masih sangat mencintai suaminya itu. Tom juga bukan tak menyadari hal itu.

Sejak berbincang-bincang dengan sepupunya, Vanila terus memperhatikannya diam-diam. Termasuk di dalam mobil ketika mereka kembali ke rumah sekedar menjemput Dinda dan Verzet dari sekolah, berganti pakaian dan kembali ke acara pernikahan. Kali ini mereka akan ke Gereja bersama anak-anak, tanpa mama dan papanya karena mama tidak ingin telat lagi, jadi mama memilih menanti acara pemberkatan di rumah Om Monata dan nanti bersama Om Monata dan keluarganya pergi ke Gereja.

Apa yang ada di pikiran Vanila padanya? Pertanyaan itu menggelayut bagai awan hitam di benak Tom.

Dia sudah meletakkan kartu undangan pernikahan Clara yang palsu di meja ruang tengah. Saat melintas menuju anak tangga, Vanila akan menemukan undangan pernikahan itu. Tom berharap setelah membaca undangan pernikahan itu- Vanila benar-benar akan memaafkannya. Sangat tidak menyenangkan di diamkan Vanila. Hidup tapi bagai mati. Jadi setelah mendapatkan kepastian dari waiters Quinn zoster resto bahwa undangan itu tidak ada lagi, dia terpaksa melakukan hal ini untuk mendapat maaf Vanila.

Tom melangkah mengikuti anak-anaknya menaiki anak tangga menuju ke kamar. Vanila yang terakhir. Isterinya itu seperti biasa akan mencek keadaan rumah termasuk dapur, meletakkan segala sesuatu di tempatnya-merapikan segalanya. Tom mengintip hal itu dengan berdebar. Kemudian manik mata Vanila tertuju pada undangan di atas meja kaca tuang tengah. Terletak di sisi satu-satunya penghias meja berupa bunga kardiol putih yang sudah agak layu. Vanila mengingat sudah nyaris lima hari bunga itu di sana, sudah waktunya menggantinya.

Berjalan ke sisi meja kaca, tangan Vanila segera terjulur meraih undangan pernikahan berwarna norak merah membara itu. Clara Chang with Jefry Noer. Yang akan diadakan....Vanila menatap tanggal yang tertera di kartu undangan itu...sudah dua hari yang lalu. Namun bukan itu yang terpenting dia ketahui- bahwa Tom kali ini tidak mendustainya, itu yang terpenting.

Vanila menarik nafas. Meletakkan undangan itu di dalam laci meja dan menyusuri anak tangga menuju ke kamar anak-anak mereka. Memandikan Dinda dan mengenakan sebuah gaun pada garis kecilnya itu. Meninggalkan Verzet yang tengah mandi dengan stelan jas dan kemeja di atas ranjang putranya itu. Tentu saja setelah mewanti-wanti putranya itu untuk mandi dengan cepat.

Kini Tom melihat Vanila membenamkan diri di depan meja riasnya.

"Dinda mau di make up seperti Mama, ya," Dinda berkata sambil memandangi Vanila merias wajahnya. Putri kecilnya itu telah memakai gaun dengan motif yang sama dengan kebaya yang dikenakan Vanila.

"Dinda nggak usah make up, ya? Dinda masih kecil. Make up ini cuma untuk mama-mama nggak boleh untuk anak kecil," Suara Vanila terdengar di telinganya menjelaskan pada gadis kecilnya yang selalu ingin tahu itu.

"Memangnya kalau Dinda pakai make up Mama terus kenapa?"

"Nanti Dinda jadi Mama-mama dong," Tom nimbrung. Dia nampak kesulitan mengenakan dasinya. "Terus Papa jadi kakek-kakek."

"Terus Papa nggak bisa gendong Dinda lagi?"

"Ya, nggak lah. Nanti kalau Papa gendong Dinda pinggang Papa sakit terus nggak bisa jalan. Dinda mau Papa sakit pinggang?"

"Dinda nggak mau aahh. Dinda maunya jadi anak Papa saja. Digendong Papa sama Mama terus." Dinda melompat ke dalam pelukan papanya. Tom tertawa sambil mendekap erat tubuh putrinya itu dengan erat lalu berputar-putar bersama Dinda dengan penuh tawa.

Vanila baru saja selesai memoles bibirnya dan menutup tabung lipstik mate yang dia kenakan ketika manik matanya terpaku pada tawa bahagia Tom dan Dinda dari permukaan cermin rias yang ada di hadapannya. Hingga pada satu titik manik matanya dan Tom bertemu. Senyum Tom yang merekah manis kepadanya membuat jantung Vanila berdegup kencang kembali seperti dulu- di saat hubungan mereka semakin dekat dan hari-hari mereka jalani bersama di kampus. Sehingga rekan-rekan kampus menjuluki mereka sahabat rasa pacar. Hati Vanila bertanya-tanya masihkah Tom ingat semua kisah mereka? Masihkah kisah-kisah itu berharga di mata suaminya itu? Lalu entah karena grogi atau apa, lipstik yang dipegang Vanila terjatuh. Menggelinding ke arah kaki Tom yang masih berputar memeluk Dinda.

Vanila bahkan belum sempat memberi peringatan ketika kaki Tom menginjak benda itu dan membuat Tom terhuyung dan tergelincir lalu jatuh ke lantai kamar dengan suara debum yang cukup keras. Untungnya Dinda aman di dalam dekapan dada Tom.

"Tom!" Vanila memekik sambil berlari menghampiri suaminya itu. Kecemasan tergambar jelas di wajahnya. "Kamu nggak apa-apa?" Pertanyaan itu mendapat ringisan di gurat wajah Tom. "Sebentar, ya, Sayang. Papa kesakitan." Vanila mengangkat tubuh mungil putrinya dari atas tubuh Tom dan segera membantu Tom untuk duduk kembali. Butuh tenaga ekstra untuk membantu Tom berdiri dari posisinya.

"Wow.... punggungku," Tom meringis kembali. Masih di posisi berbaringnya di ubin kamar sambil menyentuh punggungnya.

Lihat selengkapnya