Unperfect Marriage

Elisabet Erlias Purba
Chapter #46

#46. Bukan Menantu Idaman Mamamu

"Ya, sudah, kamu berangkat kerja. Mama dan Papa ke dalam. Papa kamu harus minum obat herbal." Mama dan papa Tom beranjak masuk kedalam rumah setekah melambaikan tangan pada kedua cucunya.

"Sayang schedule aku hari ini wawancara dengan calon sekertaris barunya pukul sepuluh nanti. Lalu meeting dengan rekan bisnis di pukul sebelas, empat belas dan sembilan belas malam. Mudah-mudahan cepat selesai, tapi bisa juga lelet," Tom memberi tahu jadwal kerjanya hari ini saat Vanila mengantarkannya dan anak-anak ke mobil, Tom memutuskan untuk membantunya hari ini dengan mengantar anak-anak mereka ke sekolah bahkan meminta Vanila menggunakan waktunya di rumah untuk beristirahat atau shopping bersama mama dan papanya.

Tom bahkan mengatakan hal itu juga pada mamanya dan mama mengangguk setuju. Kini pun Vanila hanya manggut-manggut saja sambil menatap anak-anak mereka yang memasuki mobil.

Kemudian Tom melepaskan kecupan di bibir Vanila, bukan ciuman terburu-buru khas Tom beberapa waktu lalu, tapi ciuman yang berbeda. Ciuman yang dalam dan cukup lama. Tom seakan ingin menunjukkan perubahan diri pria itu. Bahwa fokusnya hanya pada Vanila dan anak-anak mereka. "Kalau telat balik ke rumah, nanti aku kabarin kamu atau Mama deh." Tom berjanji setelah mengakhiri ciuman mereka yang lama. Kali ini bahkan Vanila bisa dengan mudah melihat kesungguhan di mata indah Tom. Vanila mengangguk sambil merapikan kepak jas hitam Tom yang sedikit terlipat.

Mencoba menyingkirkan pikiran buruk yang bercokol tiba-tiba di benaknya. Sejak Tom menyelingkuhinya bahkan membawa Clara ke rumah mereka kala dia di luar kota, perasaan ini selalu muncul di benak Vanila. Dia takut suatu saat nanti Tom akan menyelingkuhinya lagi. Cemas tiap kali Tom tidak ada di pandangan matanya. Dan Tuhan, perasaan ini makin besar saat dia mengambil keputusan untuk memaafkan Tom dan memulai rumah tangga mereka lagi tanpa bayang-bayang perselingkuhan Tom.

"Hati-hati di jalan." Vanila berkata dengan tangannya yang masih memegang kepak jas Tom. Matanya menunduk menekuri sepatu Tom. Takut ketidak percayaan yang ada di hatinya dapat Tom tangkap di matanya. Dia tidak ingin Tom merasa terintimidasi oleh ketakutannya. "Jangan nakal," pintanya lirih berharap Tom tahu ketakutannya dan kini benar-benar menjaga hatinya yang telah pecah berkeping. Satu kali luka lagi akan membuat dia mati. Vania buru-buru menyeka air mata yang entah bagaimana jatuh di pipinya.

Vanila sudah berusaha sehalus mungkin menyeka air matanya agar Tom tak melihat, tapi Tom melihatnya. Tom menarik tubuh isterinya itu ke dalam pelukannya.

"Nggak akan lagi. Janji," bisiknya di sisi telinga Vanila berharap janji itu bisa menepis segala gundah di benak Vanila. "Percaya aku sekali lagi." Tom menundukkan wajahnya hingga wajahnya dan Vanila nyaris bersentuhan. Jemarinya yang kokoh, tapi lentik menyeka air mata di pipi Vanila. Mata mereka bersua. Ada cinta dan luka di sana. "Percaya aku sekali lagi. Aku udah kapok, Van. Kalau aku melakukannya sekali lagi aku tidak akan pernah memaksamu berada di sisiku lagi. Aku akan menerima hukuman kehilangan kamu dan mati kesepian." Vanila buru-buru menggelengkan kepalanya dan mengunci mulut Tom dengan jari telunjuknya. Namun Tom menurunkan jari telunjuknya. "Tapi aku tidak akan pernah melepasmu. Kamu segalanya buat aku." Ucapnya sambil mencium bibir Vanila sekali lagi.

"Papa, kita nggak jadi berangkat sekolah? Kok nggak berangkat juga?" Suara Dinda terdengar. Gadis kecilnya itu kembali menarik-narik celana Tom. "Dinda ibadah bulanan hari ini, Pa. Nanti Dinda telat." Dinda merengek-rengek.

"Putri Mama yang cantik... Maaf, ya. Ini Papa udah selesai." Vanila berkomentar penuh sesal menatap wajah memberengut yang ditujukan Dinda padanya. Dia melepaskan diri dari Tom dan segera menggendong Dinda sebentar lalu mengecup putrinya itu dan menyerahkan Dinda ke gendongan Tom.

"Papa nggak cium Dinda?"

Tom segera mengecup pipi tembem Dinda. Gadis kecilnya itu tertawa senang, tapi kemudian menatap papanya serius. "Kok Papa cium Mama di sini." Dinda menunjuk bibirnya. "Tapi kalau Adek disini." Dinda menunjuk pipi, dagu dan keningnya.

Tom tertawa lalu mengecup kening Vanila. Tangan Tom merengkuh Vanila dalam dekapannya. "Papa cium Mama di kening juga. Di pipi juga, tapi karena Mama itu isteri Papa, Papa juga boleh cium bibir Mama. Mama juga boleh cium bibir Papa. Kalau Dinda, udah nikah baru boleh. Kalau Dinda masih kecil nggak boleh ada yang cium bibir Dinda, pegang-pegang badan Dinda juga nggak boleh." Tom memperingati putrinya itu. "Kalau ada yang pegang-pegang gitu bilang sama Papa atau Mama biar Papa hajar dia." Vanila menatap intens wajah Tom, selalu merasa bahagia saat melihat perhatian dan cinta Tom pada anak-anak mereka.

"Nikah itu apa, Pa?" Dinda yang pintarnya kebangetan menanyakan hal itu. Kedua orang tuanya saling berpandangan.

"Nikah itu...kau kita sayang sama seseorang yang beda jenis kelamin sama kita. Kayak Mama sayang sama Papa. Terus mau tinggal sama Papa, ada upacaranya. Tapi nikah itu buat orang dewasa. Dinda harus sudah besar dulu dan tamat kuliah." Vanila mengambil alih menjawab pertanyaan itu."Dinda udah pahamkan?" Dinda menatap mamanya lalu mengangguk dan seperti biasa segera mengalungkan lengan mungilnya di leher sang papa.

"Dinda masih lama kuliahnya, Pa?"

"Iya, Sayang. Masih lama. Dinda harus masuk TK besar dulu, terus tamat SD, SMP, SMA baru kuliah. Tapi bagus dong masih lama, Papa masih mau gendong Dinda, masih mau main perosotan dan ayunan sama Dinda, masih mau ajarin Dinda menggambar, mewarnai dan berenang. Dinda masih mau jadi Princess kecil Papa kan?" Dinda mengangguk. Tom tertawa senang.

Vanila mengantar suami dan putrinya itu memasuki mobil. "Sampai kantor aku telpon kamu." Tom memberitahu. Vanila mengangguk dan melambaikan tangannya melepas suami dan anak-anaknya. Sebentar kemudian mobil telah melaju meninggalkan rumah mereka.

***

"Mama udah bilang selalu kalau pun di rumah harus tetap jaga penampilan. Tapi anaknya memang keras kepala. Tadi waktu penampilannya bagusan, suami langsung demen kan?" Vanila mendengar perkataan ibu mertuanya pada ayah mertuanya. Dia jelas tahu siapa yang sedang dibicarakan ibu mertuanya itu.

Menghembuskan nafasnya,Vanila memilih menuju ke dapur. Dia berniat mencuci piring dari pada mendengar omelan mertuanya.

"Ma, udah ahh. Jangan menyalahkan Vanila terus."

Lihat selengkapnya