Suara musik aerobik masih terdengar. Dua orang wanita cantik itu keluar dari barisan aerobik setelah seorang pria terjatuh pingsan. Dibantu beberapa orang, mereka membawa si pria ke sebuah bangku panjang. Menindurkannya di sana.
"Nyebelin banget sih. Papa bangun dong. Bikin malu aja sih. Makanya olahraga dong, jangan makan aja. Baru olahraga bentar udah pingsan... Pukul yang keras, Wid." Salah satu dari kedua wanita yang nampak cantik itu mendumel sambil menyuruh wanita cantik lainnya yang merupakan adiknya menampar wajah suaminya lebih keras agar terbangun.
Si gadis yang dipanggil Wid hanya menepuk-nepuk pelan pipi pria iru. "Itu sih kamu cuma nepuk-nepuk. Gimana mau bangun tuh orang? Geser sedikit. Biar Mbak yang bangunin."
Si adik mengangguk. Berdiri dari duduknya dan memberi ruang bagi sang kakak yang berang. Dan sebentar saja, pipi suami kakaknya itu terkena tamparan yang cukup keras. "Bangun, Mas! Jangan pura-pura deh, mau aku siram aer?"
"Mbak." Si adik buru-buru menahan gerak sang kakak yang hendak menampar suaminya kedua kali. Sejenak dia menoleh pada keponakannya yang berdiri memberengutkan wajahnya beberapa langkah di belakang mereka. "Fa, beliin air sana buat papa kamu juga roti. Papa kamu belum sarapan tadi."
"Alfa juga belum sarapan kalau itu yang Tante maksud." Anak laki-laki itu mendumel kesal karena malu. Matanya menatap sekelilingnya yang dipenuhi orang-orang yang ingin tahu. Keramaian itu makin besar sebagian besar karena sikap bawel mamanya. Tapi bagi anak itu semua karena papanya, kalau papanya nggak pakai acara pingsan di tengah senam aerobik- mamanya juga nggak bakal ngamuk seperti ini.
"Iya, deh. Buat kamu juga. Nih uangnya." Gadis cantik itu mengulurkan uang dari saku celana training olah raganya.
"Sisanya buat aku, ya, Tan."
"Tapi, Al....? Itu masih banyak loh. Tante belum kerja." Si keponakan sudah kabur entah kemana. Si gadis menatap bergantian kembali kepada kakaknya yang masih nampak kesal dan suami sang kakak. Kemudian melihat pergerakan kecil di tubuh sang kakak ipar.
"Mas Bian udah sadar?" Si gadis buru-buru membantu membangunkan kakak iparnya itu.
"Udah sadar kamu? Pingsan aja terus." Si isteri berkata jutek sambil membekap lengan si depan dadanya.
"Yah, Ma. Kok marah sih? Papa nggak bermaksud pingsan, kayaknya sih gula darah Papa turun. Lapar. Kan Papa udah bilang Papa nggak bisa olah raga kalau belum sarapan."
"Alasan mulu deh kamu. Kamu tahu kan aku panitia aerobik saat ini? Hobby kamu itu, bikin malu aku aja."
"Bukan gitu, Ma. Masak sih aku mau bikin malu kamu? Emang ada orang yang niat pingsan?"
Wanita itu menggerakkan telapak tangannya seakan berkata; udah deh aku malas debat dengan kamu. "Aku balik ke tempat aerobik. Widya, kamu mau ikut Kakak atau disini?"
"Disini aja deh, Kak. Kasihan juga Mas Bian masih lemah."
"Dia itu terus lemah. Kamu nggak usah heran. Ya, sudah. Kamu jagain tuh Mas kamu." Si kakak melongos pergi begitu saja. Mata lelaki itu mengular memandang seluruh penjuru. Cuma untuk memastikan bahwa dia juga bisa mengacuhkan sang isteri yang masih terlihat di jarak pandangnya.
"Mas, sabar, ya."
Pria itu menarik nafas dalam-dalam. "Mas selalu sabar." Beralih mantap sang adik ipar pria itu berkata, "Kenapa perangai kamu sama Kakak kamu beda banget, Wid. Coba Neli... coba saja dia punya setengah dari perhatian kamu ke Mas, juga setengah dari kebaikan kamu mungkin Mas jadi orang paling bahagia di dunia ini." Si adik ipar menunduk menekuri ujung sepatu sketsanya. Malu atas sanjungan kakak iparnya.
***
Mama Tom melangkah menggandeng kedua cucunya melintasinya beberapa toko di area depan perumahan. Mereka memarkirkan sepeda mereka di parkiran depan pertokoan. Sesekali sang nenek menawarkan produk yang dijual toko pada kedua cucunya. Namun keduanya tidak berminat. Hanya es krim yang kemudian mereka beli sambil berbincang.
"Oma senang banget weekend bareng kalian. Oma jadi malas balik ke Bandung. Oma bayangin kalau tiap Minggu Oma akan weekend bersama seperti ini."
"Sebenarnya nggak selalu begini, Oma. Ini kali pertama sejak liburan kenaikan kelas Papa weekend bareng kita lagi dan ini juga udah mau kenaikan kelas lagi." Verzet menjelaskan membuat nenek dan kakeknya terkaget-kaget. Anak itu menjilat es krim di tangannya dengan antusias. Es krim memang termasuk makanan yang dilarang Vanila untuk dimakan Verzet karena sakit asmanya.
"Papa sih seringnya sibuk kerja sampe weekend, sering juga nggak pulang, Oma-Opa," jelas Dinda lugu. "Papa jadi sering di rumah setelah Mama keluar kota. Iya kan, Kakak?" Dinda mencari persetujuan dari sang kakak. Verzet tertegun sebentar lalu memilih mengangguk.
"Mama keluar kota buat apa?"
"Mama ikutan syuting, Oma kan buku Mama bentar lagi jadi film. Pemain utamanya Om Andy." Dinda bercerita antusias. "Oma tahukan Om Andy?" Mama Tom tidak terlihat tertarik pada novel Vanila yang akan menjadi film atau kisah tentang seseorang bernama Andy. Dia jelas ingin tahu apa yang tengah terjadi dipernikahan putranya dan Vanila.