"Kemana sih Alfa." Widya menoleh ke sana kemari mencari keberadaan keponakannya itu. Namun tetap tak terlihat. "Kak, aku ke supermarket depan, ya. Alfanya nggak datang-datang nih. Aku beliin roti buat Kakak, ya."
Widya baru saja akan beranjak ketika Brian menangkap tangannya. "Kita pergi bareng aja. Naik mobil." Widya mengangguk.
Widya dan Brian baru melangkah bersama beberapa langkah menyusuri lapangan olah raga outdoor dan berpapasan dengan isterinya yang membawa tiga kotak makanan.
"Mau kemana?" Brian bisa merasakan nada jutek di suara isterinya itu. Masih kesal padanya sepertinya. Hanya saja Nela nggak pernah tahu bahwa dia juga sama kesalnya dengan perangai isterinya itu. Brian memilih tak menjawab.
"Mau ke supermarket depan, Kak. Alfa nggak datang dari tadi." Widya mengambil alih jawaban saat melihat kakak iparnya yang tak berniat berkata apa-apa.
"Nggak usah." Nela meraih tangan adiknya dan meletakkan dua kotak kue. "Nih, panitia dapat snack. Makan deh bisa buat ganjal perut juga sebelum balik ke rumah. Bik Idah pasti sudah masak juga."
"Aku nggak lapar. Buat Mas aja."
"Beneran lo nggak lapar, Wid?" Widya mengangguk. Nela menatap tajam ke suaminya. "Tuh, perempuan aja bisa nahan lapar, Mas. Nggak pake acara pingsan. Makan tuh. Nanti kamu ke buru pingsan lagi."
"Kak, ngomong sama suami sendiri kok gitu? Yang mesra dikit kenapa sih? Kasihan juga lihat Mas Brian tertekan gitu." Widya mencoba menasehati kakaknya.
"Widya, lo belum nikah jadi lo nggak bakal ngerti apa-apa...." Neli menghentikan ucapannya saat matanya tanpa mengaja menemukan sosok tampan itu. Mendekati suaminya, Nela, berbisik: "itu Pak Tom kan, Pa?" Brian melihat kearah tujuk isterinya lalu mengangguk. "Ayo, cuss deh. Kita sapa mereka."
"Tapi, Ma..."
"Telan makanan di mulut kamu."
***
"Pagi, Pak Tom." Sapaan itu membuat Tom dan Vanila yang sedang tergelak berhenti tertawa. Menatap sepasang suami isteri yang ada di hadapan mereka. Dua-duanya mengenakan pakaian senam aerobik yang ngepas di tubuh mereka. Sama-sama berwarna merah.
Pak Brian, manager pengembangan di PT. Clement Construction itu terlihat bagai badut di mata Tom. Badut yang mesum. Dengan pakaian ngepas dan menjepit seluruh tubuhnya Tom bisa melihat seluruh bagian tubuh pria itu yang menonjol terpampang jelas termasuk bagian bawahnya. Sial, Tom nggak ingin Vanila melihat itu.
"Jangan lihat ke bawah," Tom berbisik pada Vanila.
"Bawah? Bawah mana?" Pernyataan Tom malah menimbulkan rasa ingin tahu Vanila. Mata Vanila melongok mencari tahu apa yang dimaksud Tom. Buru-buru Tom menutupi mata Vanila dengan telapak tangannya dan bangkit berdiri dihadapan Vanila. Menjulurkan tangannya menyapa Pak Brian dan isterinya juga seorang wanita cantik yang nampak lebih muda dari isteri Brian. Sengaja menutup arah pandang Vanila pada tubuh Bian.
"Nggak sengaja, ya, kita bisa jumpa di sini, Pak," sapa isteri Pak Brian akrab. Wanita itu nampak jauh lebih tinggi lima hingga delapan centi meter dari Pak Brian yang gemuk. Tom tahu isteri Brian adalah mantan pramugari dari salah satu maskapai penerbangan. Kulitnya putih dengan hidung mancung dan bibir merah merekah dari pewarna lipstik. Banyak dari orang-orang kantor bertanya-tanya kenapa wanita secantik Neli bisa jatuh cinta pada Brian. Namun tidak bagi Tom, di mata Tom-Brian termasuk jajaran managerial yang cukup mumpuni.
Jemari Neli menjabat tangan Tom dengan genit. Sial. Tom bahkan bisa merasakan jari wanita itu menggelitik telapak tangannya seakan memberi kode padanya seperti biasa dilakukan wanita-wanita nakal yang dia temukan di bar saat menjamu rekan bisnis luar negeri. Buru-buru Tom menarik tangannya dan menarik Vanila berdiri di sisinya.
"Isteri saya." Tom melingkarkan lengannya di pinggang Vanila. Bisa dia lihat pupil isteri Brian turun memandangi lengannya yang terparkir nyaman di pinggang Vanila.
"Hallo, Bu Vanila. Anda dan Pak Tom nampak sangat serasi," sapa Pak Brian lebih dahulu dan menjabat erat tangan Vanila. Vanila terkekeh kecil atas pujian Brian.
"Terimakasih, Pak Brian. Anda juga nampak serasi dengan Bu Neli. Apalagi dengen kostum senam berpasangan begitu. Bukan hanya isteri Anda yang seksi, Anda juga nampak seksi." Brian tertawa ngakak mendengar pujian Vanila. Dia berputar-putar sebentar memperlihatkan bodynya pada Vanila bahkan tanpa peduli wajah cemberut isterinya.
Tom memandang Vanila lekat-lekat. Saat itu Brian masih berputar penuh tawa bersama Vanila dan seorang wanita cantik lainnya yang mungkin saja adik Brian atau Neli- Tom tidak begitu tahu, tapi dia menyadari satu hal yang sempat hilang di benaknya bahwa betapa mudahnya Vanila membuat para pria yang ada di sisinya menjadi nyaman dan berbagi tawa bersamanya. Termasuk dia.
Jelas dia ingat alasan dia tidak lagi membawa Vanila ke fakultasnya: karena teman-temannya mulai menanyakan segala hal tentang Vanila padanya, mulai dari makanan kesukaannya serta musik kesukaan Vanila bahkan alamat Vanila. Beberapa teman kampusnya bahkan punya kebiasaan seenaknya menarik Vanila dari sisinya sehabis kuliah yang dia ikuti dengan dampingan Vanila karena berpura-pura belum sembuh dari luka tertikam. Hal yang membuat dia selalu buru-buru menarik Vanila kembali ke sisinya. Tak melepas gadis itu barang sekejap pun.
Itu membuat teman-temannya bahkan kakak stambuk nya acap mengingatkan bahwa dia bukan kekasih Vanila. Dia tidak punya hak cemburu. Vanila singel dan setiap orang berhak mengejar hatinya. Itu dulu, tapi kini Vanila adalah isterinya. Senyum Vanila bisa menjadi milik siapa pun, tapi Vanila hanyalah miliknya. Vanila Astanervary adalah isteri Tom Dwiguna.