Sepeninggal keluarga Brian, mama Tom mengarahkan mata pada Verzet. "Verzet, Sayang apa anak itu yang mendorong kamu tadi di supermarket?" Verzet menegak ludahnya berat. Kalau dia mengakui apa yang neneknya tanyakan di hadapan seluruh keluarganya, apakah aman? "Verzet, jawab Sayang." Verzet gelagapan. Malah memilih meraih belanjaan dari stag sepeda kakek dan neneknya dan memberikan dua buah roti dan air mineral pada papa dan mamanya.
"Verzet lupa. Papa sama Mama pasti haus dan laparkan?"
"Verzet," Tom memanggil putranya itu saat Verzet berdiri di depannya dengan tangan berisi roti dan air mineral. Mata mereka bertemu. Tom mendesah. Dia tahu, dia bukan papa yang cukup baik namun, dia seorang papa. Intuisinya menyatakan ada sesuatu yang disimpan rapat putranya itu sendiri.
"Seratus persen Mama yakin anak itu yang melakukan ini semua pada Verzet. Tom, kamu bilangin sama papanya supaya mendidik anaknya dengan baik kalau tidak..., jangan salahkan Mama kalau suatu hari nanti Mama bakal laporin anaknya ke polisi."
"Aduuh, Mama ini. Sabar dong," papa Tom angkat bicara, "Verzet saja belum ngomong apa-apa."
"Tapi Mama yakin..."
Hujan turun. Verzet merasa terselamatkan karena hal itu. Mereka dan seluruh pengguna GOR berlarian menyelamatkan diri dari guyuran hujan yang pagi ini turun dengan deras.
"Hujan, Ma!" Dinda berteriak sambil lari menuju sepedanya.
"Langsung ke mobil, kita balik ke rumah," Tom memberi komando pada keluarganya yang sedang menggowes sepeda menuju pelataran parkir. Vanila menyusupkan kepalanya ke leher Tom saat serbuan air hujan terasa di tubuhnya. Tom selalu tahu isterinya benci hujan. "Sayang, kamu mau apa sih? Jangan goda aku gini deh. Kan jadi kepengen... udah udaranya dingin-dingin empuk gini." Tom menggoda Vanila yang segera menarik kepalanya dari leher Tom dengan kesal
"Dasar mesum," gerutunya disambut sang suami dengan ngakak. Dasar suaminya nggak pengertian. Seharusnya Tom tahu kalau dia benci di guyur hujan. Usil,Vanila memilih mengerjai suaminya, menggigit telinga Tom. Biar nggak fokus sekalian karena mesumnya. Tom menggeliat kegelian.
"Vanila! Stop it!"
"Rasain." Jemari Vanila bergerak menggelitik leher Tom.
"Tau rasa kamu nanti di rumah, ya." Tom memekik mempercepat gowesan-nya, Vanila menyambutnya dengan tawa dan berpura-pura mencekik leher suaminya itu. Nanti dia sudah punya rencana untuk bakal nempel terus di samping Verzet dan memastikan Tom tidak akan bisa melakukan niatnya. Ya, dia memang sedari tadi berniat menanyakan semua yang kini mengganjal di hatinya atas kejadian yang tadi dialami putranya itu. Intuisinya sebagai seorang ibu mengatakan Verzet jelas menyimpan sesuatu darinya.
Tom mengeluarkan kembali ancamannya diantara rawa renyai Vanila. Rasanya menyenangkan bisa bersama Tom seperti ini. Bahagia itu ternyata sangat receh, bisik batin Vanila, hanya bermain sepeda bersama Tom dan anak-anak mereka- dia sudah sangat bahagia. Perlahan Vanila mengecup ubun-ubun Tom. Vanila ingin waktu berhenti saat ini bahkan walaupun itu berarti dia akan kehujanan terus- rasanya itu tidak apa.
"Tom, kamu tahu apa yang kuinginkan saat ini?" Vanila bicara sambil menyeka air hujan yang membasahi wajahnya.
"Apa?" Tom ingin tahu. Berjanji dalam hati akan memberikan hal itu pada Vanila.
"Aku ingin waktu berhenti saat ini juga dan aku bisa menikmati kebahagian ini terus bersamamu dan anak-anak kita." Vanila berbisik di sisi telinga Tom. Tom tertegun. Dia tidak mungkin menghentikan waktu, walau mereka memiliki keinginan yang sama. Tapi dia berjanji akan mewujudkan impian itu.
***
Verzet baru selesai mandi pagi ketika Tom menguak pintu kamar putranya itu. Verzet menoleh dengan kepala yang sebagian tertutup handuk untuk mengeringkan rambutnya, dia menatap papanya.
"Sini. Papa bantuin." Tom meraih handuk di kepala Verzet dan dengan lembut dan mulai mengeringkan helai rambut Verzet yang basah berbau aroma buble gum hingga selesai dan meletakkan handuk bekas Verzet ke jemuran mungil di balkon kamar yang memang hanya khusus untuk mengeringkan handuk mereka. Tom menutup kembali balkon kamar itu. "Kamu sudah besar, ya. Papa nyaris tidak menyadari hal itu. Apa kamu mau Papa ganti motif dekorasi kamarmu?" Tom menatap ke seluruh penjuru kamar Verzet, anak itu mengikuti gerak mata papanya. "Spedy yang lebih dewasa mungkin? Atau super hero yang lain?"
Verzet mengangguk. "Boleh juga."
"Mau super hero yang mana?"
"Belum kepikiran."
Tom mengangguk. Jeda sejenak. Tom angkat suara lagi, "Verzet, Papa minta maaf karena selama ini Papa nggak ada buat kamu."
"Ngngg?" Verzet melihat papanya dengan serius. Sejujurnya kini Tom juga tengah memeras otak mencari cara bagaimana putranya ini mau menceritakan sendiri permasalahannya tanpa perasaan tertekan. Menanarkan pandangannya kembali ke wallpaper dinding kamar tidur Verzet, Tom merasa memiliki ide bagus untuk memulai percakapan ini.
"Kamu tahu...? Semua super hero, tidak tumbuh menjadi super hero sendirian. Mereka menceritakan semua problemnya pada keluarga mereka."
"Menurut Papa begitu?" Verzet melangkah menuju ke meja belajarnya. Meraih bukunya. "Nggak ada super hero yang menceritakan masalahnya pada keluarganya, Pa." Dia meletakkan beberapa buku yang baru saja diambil dari tas sekolahnya. "Mereka memecahkannya sendiri dan menderita sendirian untuk dunia."
Apa begitu? Tom memeras otaknya. Sial. Dia memang bukan pencinta film termasuk superhero. Namun Tom berjanji kini akan menonton semua film yang digemari putranya itu hingga mereka bisa bicara nyambung. Kalau begini kan alamatnya pembicara mereka jadi garing.
"Apa begitu? Kalau begitu, lupakan menjadi superhero. Jadi orang biasa saja..."
"Kenapa?" Verzet membalikkan tubuhnya menatap sang papa dari kursi belajarnya. "Apa karena menurut Papa aku tidak akan pernah bisa menjadi superhero?"
Semua kacau. Signal di kepala Tom menjelaskan bahwa putranya itu kini kembali salah memahami bahasanya. Permasalahannya kini ajakannya untuk hidup menjadi orang biasa malah membuat putranya merasa tersinggung.
"Bukan begitu..."