Seperti biasa, lampu lalu lintas di depan perempatan yang berada seratus meteran dari kawasan perumahannya membuat Tom tertahan bersama kenderaan lainnya. Tom mengedarkan pandangannya dengan jenuh keluar jendela mobil yang tertutup. Menatap ke seberang jalanan, menemukan rombongan anak-anak dengan seragam khas karate keluar dari sebuah gedung. Mengingatnya pada salah satu rutinitas di masa kecilnya.
Rombongan anak-anak itu melambaikan tangan mereka pada sang pelatih dojo entah kohai atau sensai, Tom tak jelas tahu kedudukan pria bertubuh tegap itu. Pria tegap itu berlalu masuk kembali ke dalam tempat latihan meninggalkan seorang anak kecil seusia Verzet...
"Verzet?" Tom memekik kecil. Baru akan mencermati lebih seksama, anak itu telah beranjak masuk mengikuti sang sensai hanya menyisakan pemandangan punggung anak itu yang makin menjauh dan hilang di dalam gedung.
Saat traffic light berganti warna, Tom memilih memutar arah untuk menyebrang jalan dan berhenti tepat di gedung bela diri dan itu butuh waktu yang cukup lama. Saat-saat seperti ini Tom jadi menyalahkan pembuat jalan karena dia baru mendapatkan jalur memutar setelah nyaris dua ratus meter dari posisi traffic light. Tom disambut suasana sepi saat memasuki gedung. Tak terlihat satu pun siswa bela diri di tempat itu. Ya, tentu saja mereka telah pulang. Sesuai jadwal yang terpampang di papan nama dojo yang berada di dinding depan, sesi latihan berakhir dua puluh menit yang lalu.
Tom melangkah makin ke dalam gedung. Sama kagetnya dengan wajah Tom yang menemukan Verzet yang tengah mengangkat ember berisi pel, keterkejutan jelas terlihat di wajah Verzet.
"Papa..."
"Verzet, apa-apaan ini?" Bentakan keras Tom membuat ember berisi air yang ada di pegangan tangan Verzet terbanting jatuh dan airnya menumpahi lantai dojo dan permukaan sepatu Tom. "Beritahu Papa siapa lagi sekarang yang membully kamu?!" Tom meradang.
"Verzet, ada apa..."
"Apa dia?" Tom bertanya saat matanya menatap kehadiran seorang pria berusia dua puluh tahunan yang jelas bukan pria yang tadi dia lihat di depan dojo. Pria itu baru saja keluar dari belakang dojo. Verzet belum sempat menjawab ketika ujung sepatu Tom bergerak menyepak ember yang ada di dekatnya ke arah pemuda itu.
Pemuda itu mengelak hingga ember membentur keras dinding. Namun Tom tidak melepaskannya, kaki Tom bergerak tangkas menyarangkan tendangan keras ke punggung pemuda itu hingga pemuda itu terdorong keras. Tom tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk melepaskan sebuah pukulan ke arah wajah pemuda itu. Andai saja seseorang tak menarik pemuda itu, jelas pukulan Tom akan mendarat mulus di wajah pemuda itu. Sosok itu melayangkan pukulan ke arah Tom, Tom melakukan balasan hingga keduanya sama-sama terkena pukulan lawan masing-masing. Tubuh keduanya terdolak membuat jarak.
"Papa!"
"Sensai!"
Tom dan pria tegap yang dipanggil sensai itu menahan diri mereka yang nyaris saling baku pukul lagi.
"Verzet nggak dibully siapa pun di sini, Pa." Verzet buka suara. Tom menatapnya tanpa rasa percaya.
"Semua anak pulang, tapi kamu malah harus melakukan pekerjaan itu. Jangan pikir Papa akan percaya..."
"Verzet mendaftar di sini dengan meminta keringan biaya les karena dia tidak memiliki uang. Saya menawarkan dia untuk membayar setengah harga, jika dia mau membantu saya berberes usai latihan dan Verzet menyetujui hal itu." Sang sensai yang Tom lihat di pintu depan dojo mengambil alih menjawab Tom.
Sekarang tatapan Tom beralih menatap Verzet kembali. "Verzet, apa..." Tom menghentikan ucapannya. Menggelengkan kepalanya dan kini beralih menatap guru bela diri Verzet dan asistennya. Mendekati keduanya, Tom mengulurkan tangannya. "Saya sangat menyesal untuk kesalah pahaman yang terjadi." Sensai tersenyum, tangannya terjulur menangkap ukuran tangan Tom dan mereka berjabatan.
"Kami mengerti apa yang Anda rasakan. Walau Verzet tidak bercerita apa pun, tapi saya tahu sejak pertama dia memasuki tempat ini- dia sedang memiliki masalah, jelas dengan beberapa temannya. Dan berdasarkan pendapat Kohai..." pria itu menunjuk pemuda berusia dua puluhan lima tahunan itu dengan tangannya. Kohai adalah sebutan pelatih bagi murid-murid karate kelas dasar dengan sabuk awal putih dan kuning. Kohai adalah asisten sensai. Si Kohai terlihat tengah memijat punggungnya seadanya dan menerima uluran tangan Tom. Tak lupa Tom memijat sejenak punggung sang Kohai yang terluka karena ulahnya.
"Verzet termasuk murid yang cerdas. Sekarang saya tahu dari mana dia memiliki kemampuan itu- ternyata dia menuruni darah Papanya." Si Kohai beramah tamah, "Kelihatannya Anda sabuk hitam..."
Tom menggeleng. " Saya tidak ikut ujian kenaikan tingkat tertinggi."
"Bukan berarti Anda tidak memiliki kemampuan itu." Tom hanya membalas pujian itu dengan senyum lebar membuat si Kohai yang baru bersabuk hijau menatap kagum Tom.
"Kapan-kapan bagaimana kalau kita bertanding?" Kini giliran si sensai yang bercuap-cuap. Terlihat antusias karena mendapatkan lawan yang seimbang. Si sensai bahkan telah merencanakan akan menjadwalkan pertandingan itu di depan murid-muridnya sekedar menambah motivasi para murid-muridnya untuk semakin mendalami karate. Tak sulit membuat Tom mengangguk, tantangan selalu membuat jiwa mudanya bergolak.
"Baiklah kapan-kapan. Anda tinggal bilang kapan waktunya dan saya akan menambahkannya dalam schedule saya." Ketiga lelaki dewasa itu tersenyum lebar, kelihatan sangat antusias atas rencana mereka. Satu-satunya yang tak tertawa di situ adalah Verzet.
Mereka berbincang beberapa saat lagi sebelum sang sensai mengajak semuanya pulang. "Baiklah sekarang, ayo, kita pulang. Ini sudah cukup lama dari jadwal selesai latihan..."
"Sebaiknya Anda berdua yang pulang. Kami akan membersihkan dojo. Hanya untuk kali ini karena besok-besok Verzet mungkin tidak akan ada di sini lagi..."
"Tapi..., saya pikir sebagai seorang ayah, Anda..." Tom melirik pada Verzet yang menundukkan kepalanya. Berjalan meraih ember yang telah kosong melompong dan pergi membawa ember ke belakang untuk mengisinya kembali dengan cairan pembersih lantai tanpa membantah ucapannya sedikit pun. Begitulah putranya itu selalu. Menjadi begitu tertutup bahkan padanya selaku sang ayah. Tom menatap punggung Verzet dan mendesah berat. Jelas Verzet tak tahu niatnya mengatakan hal itu hanya sekedar untuk mendengar Verzet mengeluarkan pendapatnya, kalau perlu membantahnya dengan segala argumen bukannya malah pergi seperti ini. Sang sensai lah yang berusaha bicara. "Saya tahu Anda adalah ayah Verzet, tapi Anda tidak boleh segegabah ini. Verzet menyukai tempat ini.... Dia merasa lebih hidup di sini."
Tentu Tom tahu itu. Verzet bahkan tak meninggalkan sesi latihan ini di hari pernikahan bibi sepupunya: bibi Chatrine beberapa Minggu yang lalu. Tom merangkul pundak sang sensai sambil berbisik lembut, "Saya tahu. Saya hanya butuh waktu untuk bicara dengan Verzet." Sang sensai mengangguk. Saat itu lah Verzet muncul kembali dengan ember berisi campuran cairan pembersih lantai dan air.
"Baiklah, Verzet. Selesai ini kamu boleh pulang. Kunci rolling door depan dan bawa saja kuncinya, besok saat kita bertemu serahkan kembali pada saya." Verzet hanya mengangguk. Kali ini bahkan tanpa semangat. Dia membalas dingin lambaian kedua sang pelatih. Bahkan tak membuang waktunya untuk mengantar kepergian keduanya, Verzet mulai mengepel lantai.
Tom menatap punggung putranya. Kini hanya ada mereka berdua. Tom mulai membuka jasnya sambil bicara: "Papa tebak: Mama tidak tahu hal inikan?" Verzet tak menjawab, Tom menyampirkan jasnya di bangku pengamat yang ada di tepi ruang latihan. "Jadi darimana kamu mendapatkan uang untuk membayar sesi latihanmu?" Kembali Verzet tak berkata-kata. "Jawab Papa. Percuma punya kemampuan bela diri jika tidak punya keberanian," Tom berkata sambil menggulung lengan kemejanya. "Berhenti menghindari semua masalah. Hadapi."
Menghentikan kesibukannya. Verzet akhirnya buka suara, "Aku membayarnya dengan uang tabunganku."
Tom yang tengah membuka sepatu dan kaos kakinya sedikit tertegun mendengar ucapan Verzet. Sang sensai benar. Verzet merasa hidup di sini. Verzet bahkan rela membayar sendiri uang latihan bela dirinya dari tabungan yang dia miliki, jelas karena Verzet tahu dia tidak akan bisa meminta uang kepada mamanya dan tak juga mau bercerita padanya selaku papanya. "Jadi uang tabunganmu cukup banyak?" Tom mengeluarkan nada kesal, tapi terdengar sebagai ejekan di telinga Verzet. "Menurutmu berapa lama kamu bisa membayar sesi latihanmu? Untuk pemula biasanya kamu akan naik tingkat setelah latihan dua tahun lalu makin cepat atau lambat itu semua sesuai kemampuanmu, jika kau rajin ikut latihan, tes dan pertandingan."