Unperfect Marriage

Elisabet Erlias Purba
Chapter #53

#53 Undangan

Vanila baru akan menuang segelas air putih ke dalam gelasnya ketika dia tanpa sengaja mendengar suara orang yang tengah bercakap-cakap. Hari sudah larut, tapi ternyata kedua mertuanya belum memasuki kamar tidur mereka.Vanila kembali teringat pembicaraan antara dia dan ayah mertuanya di dalam mobil malam tadi sesaat setelah dia menerima kabar dari Tom bahwa Verzet ada bersama Tom. Tergelitik untuk tahu, Vanila melangkah untuk menguping pembicaraan kedua mertuanya di ruang makan besar. Berdiri di lorong antara dapur dan ruang makan besar, Vanila mencuri dengar pembicaraan itu sambil mendekap gelas kaca di kedua telapak tangannya.

"Gimana, Pa?" Mama Tom meminta sang suami mengulang pembicaraannya dan Vanila malam tadi di mobil saat mencari Verzet. Mereka masih berbincang sementara Tom, Vanila dan cucu-cucu mereka setahu mereka telah memasuki kamar tidur.

"Papa nggak tahu.... ini antara Vanila yang belum mengetahui apa yang Tom lakukan di luar sana atau Vanila mencoba menutupi segala kelakukan Tom."

"Maksud, Papa?" Mama Tom terlihat tak paham.

"Vanila mengatakan rumah tangga mereka baik-baik saja. Bahkan ketika aku menceritakan perkataan cucu-cucu kita tentang Tom yang suka tidak pulang dan menghabiskan waktu untuk kerja dan kerja, Vanila membela Tom."

"Mama rasa semua selesai, Pa. Kecemasan kita nggak beralasan. Ucapan Arnold nggak benar-benar terjadi, Pa. Tom nggak berselingkuh. Jika Tom berselingkuh saat Papa memancing pembicaraan tentang hal ini seharusnya mudah saja bagi Vanila jika dia mau untuk menjelekkan Tom, tapi dia tidak melakukannya. Vanila itu anak yang keras kepala. Entah bagaimana Ayahnya mendidiknya, tapi dia tidak terbiasa menerima begitu saja sesuatu yang melecehkan harga dirinya. Mama bisa bayangkan jika Tom berselingkuh, bagaimana dia memarahi Tom. Bagaimana pertengkaran besar akan terjadi di rumah ini.. Dia bahkan bisa membuat Tom melakukan banyak pekerjaan rumah, pada hal putraku seorang pria sukses.... " Mama Tom menyesap minumannya lalu kembali menatap sang suami. "Jika Papa tidak percaya betapa baiknya Tom. Papa bisa menilai dari bagaimana mesranya mereka berdua." Ibu mertuanya tersenyum kecil. "Bahkan walau aku menganggapnya bukan isteri yang sempurna- di mata putraku di isteri yang sempurna."

Vanila menggigit bibirnya. Luka yang belum sembuh sepenuhnya itu tersenggol kembali saat labirin otaknya membawa kembali memori lalu naik ke permukaan: terasa masih pedih. Ibu benar. Dia bukan isteri yang sempurna buat Tom. Di mata Tom dia hanya seorang isteri yang suka mendumel dan membuat pertengkaran, tapi Tom lah yang membuat dia terlihat sempurna sebagai isterinya seperti dia membuat Tom terlihat sempurna sebagai seorang suami- siapa yang tahu Tom nya yang sempurna dan yang terlihat mencintai sebucin itu ternyata menyelingkuhinya? Air mata Vanila mengalir jatuh. Bersama mereka membuat sebuah keluarga yang terlihat sempurna di mata semua orang. Vanila menyadari serapuh itu lah rumah tangganya dan Tom.

"Tapi aku mengenal Arnold. Dia tidak akan pernah berdusta. Dia menyimpan rahasia itu delapan bulan lamanya dan hanya menanyakannya pada Tom. Bahkan tidak menceritakannya pada Vanila padahal beberapa kali mereka punya kesempatan bertemu. Satu-satunya alasan dia menceritakan hal itu pada kita karena dia kembali melihat Tom bersama sekertarisnya yang bergelayut manja di lengan Tom tiga bulan lalu dan dia mulai mencemaskan rumah tangga Tom dan Vanila. Di keluarga besar kita tidak ada perceraian."

"Tentu saja tidak akan ada perceraian. Vanila dan Tom tidak akan bercerai. Berhenti mencemaskan hal itu. Itu tidak baik untuk kesehatan Papa." Vanila mendengar suara ibu mertuanya meninggi. Perlahan langkah Vanila menjauh, walau dia masih bisa mendengar ucapan ibu mertuanya pada ayah mertuanya. "Kau mengenal Arnold, tapi tidak mengenal putramu sendiri. Tom tidak akan pernah melakukan hal seperti itu."

Vanila menebak-nebak apa yang akan terjadi jika ibu mertuanya tahu bahwa itu sudah terjadi.

***

Vanila mengerjakan pekerjaan rumah dengan lemas dan tanpa minat sama sekali bahkan walau pun Tom kini ada membantunya. Bayangkan, Tom kini menjemur pakaian bersamanya di halaman belakang rumah mereka. Sesuatu yang dulu dia harapkan, tapi ternyata sekarang tak se-wow itu dibenaknya.

Tom mengibaskan baju setengah basah yang baru saja keluar dari mesin cuci ke wajah Vanila. Percikan airnya terciprat di permukaan wajah Vanila. Vanila mendongak menatap wajah yang bertingkah usil di pagi ini padanya. Menemukan tawa di bibir Tom.

"Berhenti bermain-main, Tom. Banyak yang harus kukerjakan. Anak-anak bisa terlambat." Vanila mengeluarkan protes. Namun bukannya mendengar Tom malah makin usil. "Tom, aku bilang..." Suara Vanila terhenti saat Tom mengibaskan baju batik yang benar-benar basah karena dicuci manual, percikan air kembali menerpa wajah Vanila membuat wanita itu gemas sendiri.

Meraih baju seragam batik lain milik Verzet di dalam ember, Vanila membalas mengibaskan seragam itu ke wajah Tom yang segera kabur. Vanila mengejarnya. Mereka berkejaran berkeliling di antara jemuran, saling berusaha mencipratkan sisa-sisa air di pakaian yang akan dijemur. Rasanya receh, tapi entah mengapa menyenangkan. Tom tahu ini akan menjadi salah satu dari sekian banyak kenangan menyenangkan bersama Vanila yang akan dia kenang di masa tua mereka bersama nanti. Lalu kaki Vanila tersandung. Dia nyaris terjerembab jatuh andai saja Tom tak bergerak cepat menangkap tubuh Vanila. Tepat ketika mata Vanila bertatapan dengan mata ibu mertuanya yang entah sejak kapan mengamati mereka.

Apa Tom menyadari hal itu? batin Vanila bertanya-tanya.

Mereka berpelukan. "Modus kan?" bisik Tom menggoda. Vanila menatap ke pintu samping dapur, menemukan pintu itu kosong. Tak ada ibu mertuanya di sana. Jelas ibu mertuanya telah memasuki rumah kembali.

"Menurutmu begitu? Jadi lepaskan aku." Vanila menurunkan kedua tangan Tom dari lingkaran pinggangnya. Mengejutkan Tom.

"Vanila, aku hanya bergurau."

"Aku sedang tidak ingin bergurau." Vanila menghentikan langkah kakinya, berbalik menatap Tom. "Aku sedang berpikir apa kau tulus membantuku untuk menunjukkan penyesalanmu atau ini hanya karena Ayah dan Ibu ada di sini. Pemikiran itu mengusikku."

"Ya, ampun, Van. Kau tak mempercayaiku?" Tubuh Tom menegang. Otot-otot lelaki itu kaku sekeras baja.

"Aku sedang berusaha percaya..."

Tom menggeleng keras penuh rasa kecewa. Bagaimana mungkin Vanila tidak merasakan ketulusannya dan perasaan cintanya. Di hati dan benak Vanila statusnya tetap tak bergerak: hanya sebagai tukang selingkuh. "Tidak. Kau tidak sedang berusaha!" Tom tak bisa mengendalikan diri lagi. "Di benakmu aku hanya tukang selingkuh, bajingan dan penjahat." Tom berlalu pergi begitu saja dari hadapan Vanila yang diam tertegun dengan rasa bersalah.

Sejujurnya dia ingin membuang pikiran itu dari benaknya. Dia ingin percaya bahwa segala perhatian dan cinta yang Tom tunjukkan padanya dan anak-anak mereka tulus. Bahwa Tom mencintai mereka, namun entah mengapa bayang-bayang perselingkuhan Tom bermain terus di benaknya. Dan satu lagi....entah kenapa dia kini benci saat mendengar semua orang memuji Tom sebagai pria sempurna: papa yang sempurna. Suami yang sempurna.

Lihat selengkapnya