"Sayang, dengarkan aku," Tom memohon dari balik jendela mobil yang kacanya telah dia turunkan sementara Vanila yang pulang dengan taksi yang ada di depan hotel, memilih melongos masuk ke dalam halaman rumah setelah membuka pintu pagar kecil- sementara mobil Tom masuk dari pagar besar yang membuka otomatis karena sistem sensorik yang tertanam antara mobil Tom dan pagar. "Vanila," Tom masih memanggil dari atas mobil yang melaju pelan mengikuti langkah Vanila. Namun Vanila memilih tak perduli. Langkahnya dia percepat.
Turun dari mobilnya dengan terburu-buru, Tom bergegas mengejar Vanila. Tangannya bergerak cepat menangkap lengan atas Vanila memaksa isterinya itu berhenti. "Bisakah kau berhenti sebentar untuk mendengarkan aku?" Vanila membuang wajahnya.
"Lepaskan tanganku. Aku tidak mau mendengar apa pun lagi darimu."
"Walaupun kau tidak menjadi salah satu dari para penegak hukum, seharusnya kamu tidak pernah lupa pelajaran di bangku kuliahmu bahwa seorang tersangka pun punya hak untuk membela diri." Mata Vanila melotot kesal pada Tom. Beraninya Tom mengguruinya dengan pelajaran di masa kuliahnya di saat pria itu sendiri tidak melaksanakan kewajibannya untuk setia sampai kematian memisahkannya mereka, melupakan hukum agama mereka.
"Dan agar kau tahu seorang korban tidak berkewajiban percaya pada semua yang dikatakan tersangka. Dan aku korban di sini. Beraninya kau menasehati aku. Aku sudah melihat, mendengar dan mengalami semuanya."
"Tapi itu tidak seperti yang kau lihat dan kau dengar. Clara mencoba merayuku...."
"Iya, dia mencoba merayumu, tapi dengan tidak bertindak tegas padanya itu sama artinya kau berniat jatuh dalam rayuannya!"
"Apa maksudmu tidak bertindak tegas? Aku mencoba menghindarinya, Vanila, aku sudah mewanti-wanti dia.. aku mencoba melepaskan pelukannya..."
"Mencoba?" Vanila tertawa getir, "Yang kulihat kau seperti menikmatinya...kau suka dipeluk Clara kan?"
"Nonsense! Stop berhayal, Vanila! Ini bukan kisah yang kau tulis!"
"Kau laki-laki, Tom, kalau kau benar-benar ingin melepaskan dirimu darinya kau bisa menamparnya, mendorongnya...." Vanila tak bisa menahan diri untuk tidak memekik.
"Kau tahu aku bukan pria seperti itu! Aku tidak suka menyakiti wanita!"
"Apa aku bukan wanita?" Vanila menatap Tom dengan tatapan terluka. Sekuat tenaga dia tidak berteriak histeris dan menangis. "Kenapa kau tega menyakitiku?" tanyanya dengan suara gemetar. Seperti kebiasaan Vanila saat cemas dan gelisah, Tom bisa melihat tangan Vanila mencengkram erat permukaan gaun hitamnya yang nampak sedikit kotor. Mata mereka bersua. "Mungkin kau perlu bertanya dalam hatimu: apa benar yang kau lakukan karena kau tidak ingin menyakiti wanita atau sebenarnya kau hanya tak sanggup menyakiti hati Clara sekertaris tercintamu itu?"
"Apa maksudmu? kau berpikir sudah terlalu jauh, Vanila. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Bagaimana aku menjelaskannya padamu?!"
"Apa aku terlihat bodoh di matamu, Tom?" Vanila menarik sudut bibirnya sinis. "Karena jelas kau lebih memilih menyakiti hatiku dari pada dia.. Seharusnya aku tidak memaafkanmu, seharusnya aku tidak mengharapkan seorang pria yang telah memberi hati dan tubuhnya kepada wanita lain!" Menarik nafas panjang Vanila mencoba bicara lagi, "Setelah kau mengetahui dimana hatimu berada, beritahu aku karena aku ..."
"Teganya kau mengatakan hal ini padaku! Ini yang kau sebut dengan memaafkanku?! " Tom mencengkram keras lengan Vanila dengan tatapan emosi dan terluka saat Vanila mengungkap kesalahan terbesar yang telah dia lakukan pada isterinya itu. Tanpa perlu mengungkapkannya pun dia sudah cukup tersiksa mengenang semua itu. Tak ada yang sama dalam rumah tangganya setelah perselingkuhan itu terungkap bahkan setelah Vanila memaafkannya. Setiap saat dia diliputi kecemasan akankah Vanila berubah pikiran dan memaksa mengakhiri pernikahan mereka. Setiap saat dia mencoba bersabar saat menyadari bagaimana Vanila memikirkan tentangnya dalam setiap kondisi bahkan di saat mereka bahagia sekali pun dan dia menyesali kealpaannya berada bersama Vanila dan anak-anak mereka: entah bagaimana dia bisa mendengar hati Vanila bergumam: itu karena dulu lebih menyenangkan bagimu bersama Clara. Apa Vanila tahu itu lebih dari menyakitkan? "Aku akui aku pernah berselingkuh dengan Clara..."
"Apa?" Vanila dan Tom mendengar pekikan terkejut seorang pria dari jarak beberapa meter.
Terperanjat, keduanya memperhatikan kemunculan papa dan mama Tom yang berjalan ke arah mereka. Mereka menyadari mereka memang bertengkar terlalu serius hingga lupa bahwa ada orang lain di rumah mereka kini: papa dan mama Tom.
"Apa benar yang kami dengar ini?" Tom dan Vanila terdiam, mencari kata-kata yang cukup bijak untuk menjelaskan apa yang tengah terjadi pada rumah tangga mereka. Mungkin bedanya, Tom masih tetap berharap Vanila mau bersekutu dengannya mengatakan pernikahan mereka baik-baik saja. Berbeda dengan Vanila yang ingin mengatakan sejujurnya. "Kau menyelingkuhi Vanila, Tom?" Suara ayah mertuanya terdengar.
Vanila bisa melihat bagaimana Tom meliriknya. Tatapan mata yang sama seperti sebelas tahun silam saat Tom meminta pembelaan diri padanya dari amarah Mama Tom setelah Tom ketahuan cabut kuliah dan terlibat tawuran di jalanan hingga diangkut ke kantor polisi. Kali ini, tidak ada pembelaan- Vanila menarik tatapannya ke arah lain membiarkan Tom menjawab sendiri pertanyaan sang papa.
"Itu sudah berakhir dua bulan yang lalu, Papa." Akhirnya suara Tom terdengar pelan membuat sang papa limbung. Pekikan mamanya terdengar sambil menangkap tubuh papa agar tidak terjatuh. Gerak reflek Tom dan Vanila terhenti saat sang papa memberi isyarat dengan tangannya bahwa dia tidak ingin dibantu. Bertopang pada pegangan sang isteri, papa Tom menatap garang pada Tom.
"Bagaimana bisa kau melakukan hal itu?! Kau menikahi Vanila dengan dasar cinta! Minta maaf pada Vanila sekarang juga dan lupakan wanita itu! Lupakan juga tentang perceraian! Karena tidak akan pernah ada perceraian di keluarga Dwiguna!" sang papa memekik.