Setelah Vanila dan anak-anak mandi dan berganti pakaian dengan baju yang dibelikan Andy, yang tentu saja Vanila izinkan dibeli Andy setelah Vanila mewanti-wanti akan membayarnya kembali dan Andy setuju. Kini mereka telah duduk berempat mengelilingi meja makan dari kayu Cendana yang berada di ruang makan Andy. Dinda selalu suka spaghetti bolognese, makanan itu membuat moodnya yang kemarin buruk menjadi hilang entah kemana.
"Bagaimana masakan Om? Enakkan?" Seru Andy diantara waktu makan. Harus Vanila akui masakan Andy cukup enak. Seorang pria yang pandai memasak cukup langka dan Andy salah satunya. Kini Vanila tahu kenapa para wanita bisa jatuh dengan mudah kepelukan seorang Andy Herline. Andy adalah gambaran pria yang sempurna...
Lalu kelebatan wajah Tom muncul di benak Vanila. Mengusiknya. Pria sempurnanya adalah Tom, tapi itu dulu. Tom membuat dia sadar tidak ada kesempurnaan. Makanan yang dimakan Vanila terasa menjadi sekam saat Vanila kembali mengenang bagaimana dia menemukan segala penghianatan Tom padanya. Masih tersimpan jelas dalam benak Vanila pesan teks yang dia baca di aplikasi WhatsApp ponsel Tom. Dia tidak akan pernah bisa melupakan kalimat-kalimat itu.
Apa aku harus datang ke rumahmu? Jangan mengacuhkanku seperti ini, babe.
Merindukanmu hingga hampir gila. Tolong datang dan temui aku.
Maaf. Dia bukan siapa-siapa. Jangan marah. Datang dan temani aku malam ini setelah kau bersamanya lalu kita bercinta malam ini.
Vanila meletakkan sendok makan yang ada di tangannya dengan sedikit keras membuat seluruh mata menatapnya.
"Apa tidak enak?" Andy bertanya cemas.
Buru-buru Vanila menggelengkan kepalanya. "Tidak. Enak kok. Mungkin sakit maagku kumat," dustanya. "Aku akan memakannya nanti saja. Aku masukkan ke kulkas saja. Bolehkan?"
"Tentu saja," Andy berkata sambil bangkit dari duduknya, "Aku ambil obat sakit maag." Andy berlalu sebelum Vanila sempat bicara apa-apa.
"Mama sakit?" tanya Verzet kwatir sambil menatap wajah mamanya itu.
"Hanya sedikit. Verzet dan Dinda nggak perlu kwatir, ya." Vanila duduk di dekat kedua anaknya setelah memasukkan makanannya ke dalam kulkas. "Habisin sarapannya, Kak." Verzet mengangguk.
"Setelah sarapan kita telpon Papa, ya, Ma." celetuk Dinda bersemangat.
"Nggak bisa hari ini, Sayang."
"Kenapa?"
"Papa sibuk, Dinda," Andy muncul dalam waktu singkat ketika Vanila tak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan Dinda. Dia menyodorkan sebungkus obat yang dia ambil pada Vanila. "Tadi Om udah coba telpon Papa karena Mama mau ngomong sama Papa, tapi nggak diangkat. Seperti biasa sepertinya Papa sibuk." Dusta. Andy berdusta lagi kepada putrinya. Vanila jelas tak suka itu, tapi dia tidak punya jawaban bagus untuk dikatakan pada Dinda. Hal itu memaksanya mentolerir dusta Andy. "Ya, udah kita senang-senang di rumah Om saja. Mau berenang bareng atau main di ruang main? Atau gimana kalau kita shopping?"
"Andy, nggak usah..."
"Santai, Van. Nggak apa." Uhh, santai. Santai. Vanila nggak mau berhutang budi dan duit yang banyak pada Andy.
"Kamu seharusnya kerja kan?"