Hari sudah malam. Tom melirik pada jam dinding di kamar rawat papanya. Setelah meyakini keadaan papanya yang sempat down membaik kembali, pandangannya tertumbuk pada sebuah ponsel merah di atas meja kecil di sisi pembaringan papanya. Ponsel Vanila yang dia temukan di meja bar dapur teronggok bersama cluch perak milik Vanila saat dia pulang ke rumah siang tadi. Pantas saja dia tidak bisa menghubungi Vanila.
Tom ingat jelas saat itu dia melangkah ke dapur usai mandi sepulang dari sekolah Verzet dan Dinda. Rasa haus yang menerjang tenggorokannya menghantarkannya ke dapur. Dia sedang mengisi segelas air mineral ke dalam gelas ketika ponsel itu berbunyi beberapa kali sebelum berdenting pelan menandakan ada panggilan masuk dan sebuah pesan teks, menyadarkannya bahwa ponsel Vanila tertinggal di rumah.
Perlahan Tom meraih benda itu. Membuka jejak panggilan, menemukan panggilannya berderat hingga puluhan kali, panggilan papa dan mamanya beberapa kali dan nama Andy Herline di sana menelpon Vanila sebanyak empat kali. Kemudian Tom beralih membuka pesan chat. Menemukan pesannya beberapa puluh yang dia biarkan tak terbuka dan beralih membuka sebuah pesan dari Andy Herline.
Tunggu kami di depan Turangga Rangga. Dalam dua puluh menit kami akan ke tempat ini lagi.
Namun ketika dia menghubungi ponsel Andy, orang itu bahkan tidak mengangkat panggilannya. Tom lalu menelpon Gama Production House untuk menanyakan alamat Andy. Tak lupa juga menanyakan apakah ada syuting antara Vanila dan Andy hari ini.
Sekertaris Gama Production itu berkata tidak. "Syuting atas novel Bu Vanila sudah selesai dua hari yang lalu, Pak dan Bu Vanila tidak bermain di film itu."
"Jadi kenapa Vanila setiap hari ikut syuting? Biasanya Gama Production tidak melakukan hal ini."
"Apa Bu Vanila tidak menceritakannya? Sebenarnya Bu Vanila jadi terlibat langsung karena ada aktor yang membuat klausula khusus untuk bermain di film ini dan Bu Vanila menyetujui klausula itu."
"Klausula apa? Dan siapa yang memintanya?" Tom merasa kepo.
"Andy Herline ingin berakting hanya di depan Ibu Vanila." Andy Herline, Tom menggumamkan nama itu. Sejujurnya dia sudah mencurigai hal itu sedari awal. Andy Herline mengejar isterinya. Buat apa seorang aktor butuh berakting di depan seorang penulis, seorang aktor seharusnya berakting di depan sutradara dan rekan pemeran lainnya.
Tunggu kami di depan Turangga Rangga. Dalam dua puluh menit kami akan ke tempat ini lagi.
Pesan itu jelas adalah pesan pribadi untuk pertemuan pribadi antara Andy dan Vanila.
Setelah itu dia menutup telpon, berlari sekejap kembali ke dalam kamarnya untuk meraih kunci mobilnya dan beberapa barang papa yang dipesan mamanya, memasukkannya ke dalam bagasi mobil sebelum melaju pergi menuju ke kediaman Andy Herline.
Kediaman Andy sepi dan kosong. Tom menanti cukup lama dari dalam mobilnya yang dia parkir tepat di depan rumah Andy Herline yang cukup lebar. Di bawah pohon akasia yang cukup rindang dan tidak terlalu menyolok dari pandangan orang lain. Tom bahkan berniat menunggu Andy sampai makhluk itu datang lalu dia mencari di pencarian google dan menemukan wahana bermain itu Dia nyaris pergi ke Dufan andai saja mamanya tidak menelepon dan memberitahu kepada papanya yang mulai down kembali dan di sinilah dia berada.
***
"Aarrrgh..." Suara itu membuat Tom melompat dari tempatnya kini sedang duduk. Papanya sedang berusaha bangkit dari posisinya berbaring. Selang infus sedikit tertarik dan membuat pria itu memekik.
"Pa."
"Papa mau duduk." Tom mengangguk kemudian membantu sang papa untuk duduk di pembaringannya dan menaikkan kepala tempat tidur sebagai sandaran bagi sang papa, memutar tuas di sisi kaki- bawah ranjang. Sejenak papanya melirik pada mama yang tertidur di salah satu sofa.
"Mama sedang tidur, Pa. Ada yang Papa mau? Papa mau minum?" Papa mengangguk dan Tom buru-buru meraih segelas air hangat dan memberikannya kepada papanya dengan perlahan.
"Apa kamu sudah menemukan Vanila? Vanila dan anak-anak kamu sudah kembali?" Papa bertanya usai menegak habis air putih saat itu Tom bahkan baru berbalik ke meja di sisi ranjang untuk meletakkan gelas yang dia pegang. Tom meneguk salivanya kemudian menggeleng. "Pernikahan bukanlah jalan lurus tanpa rintangan, kamu sudah menjalaninya sepuluh tahun- seharusnya kamu tahu itu. Kesabaran, kesetiaan, saling pengertian dan komitmen dibutuhkan untuk membuatnya bertahan." Papa Tom menatap lekat pada putranya itu. "Dan kau jelas tahu di atas semuanya yang paling dibutuhkan adalah kesetiaan dan komitmen, itu adalah arti dari cinta yang sesungguhnya. Setia sampai kematian memisahkan bukan berarti kebodohan, kedunguan atau sesuatu yang kuno, tetapi itu arti dari mencintai yang sebenarnya."
"Tom khilaf, Pa. Maaf."