"Lepaskan aku!" Suara pekikan emosi Tom masih terdengar saat dua satpam itu memegangi kedua tangannya dan memaksanya bergerak dari tempat itu.
Vanila masih terpaku memandang Tom. Mata mereka bersua, jelas Tom tak ingin pergi. Vanila yakin dengan ilmu bela diri yang dia miliki-Tom bisa saja mengalahkan kedua satpam itu dengan cepat, Vanila akan bersyukur jika Tom tidak melakukannya di depan anak-anak mereka.
Dan harus Vanila akui Tom selalu menjadi papa yang baik. Entah bagaimana di depan anak-anak mereka, Tom selalu bisa mengekang segala tindak tanduknya dan menjadi selembut cake yang baru keluar dari panggangan- lembut, wangi dan menimbulkan selera.
"Vanila, ayo pulang bersama. Kita selesaikan semua di rumah," pinta Tom sambil menepiskan sentuhan kedua satpam itu. Siapa pun bisa mendengar suara Tom melembut jauh dari kesan kasar. Vanila mencoba mengacuhkan permintaan itu. Memanggil Verzet untuk mendekat padanya. Di saat yang sama ketika satpam lengah tiba-tiba saja tangan Tom telah menggapai tangannya dan tangan Verzet. "Kita pulang, kita selesaikan semua di rumah. Kalau kau butuh orang lain untuk menilai situasi kita, kita bisa minta pandangan Papa dan Mama. Bukan mereka. Mereka orang luar, Vanila." tangan Tom menarik keras lengan Vanila diantara usaha Vanila untuk melepaskan diri. "Jangan bilang kau berniat tinggal lama di sini."
Bibir Vanila menipis. Sesaat dia terlihat seperti sosok yang menakutkan. Ditatapnya Tom lekat-lekat dengan tatapan yang lumayan menegangkan bagi Andy. "Ke rumah. Menyelesaikan semua masalah kita di rumah. Di depan orang tuamu? Apa kau pikir aku tidak tahu bagaimana ibu membelamu? Dia bahkan memintamu merebut anak-anak dariku..."
"Vanila, kau salah sangka."
Vanila memberi Tom senyum mengejek. Ingin rasanya dia membalas ucapan Tom, tapi Dinda ada di dekapannya dan Verzet berdiri di sisinya. Untuk sekian kalinya Vanila mengekang mulutnya demi anak-anaknya dan memilih mengedarkan pandangannya ke segala arah. Entah bagaimana mungkin karena memahami dilema di hati Vanila, Madya melangkah mendekati Vanila dan meminta Dinda dari gendongan Vanila.
"Dinda, ke kamar dulu sama Tante Madya, ya. Mama sama Papa mau bicara." Ada ketakutan yang bisa mereka lihat ketika Dinda menolak kebaikan hati Madya dan memilih tetap bergelayut di leher sang mama.
"Mama sama Papa mau bicara sebentar saja," bujuk Tom menegaskan ucapan Madya sambil membelai punggung gadis kecilnya itu. Mata bening Dinda menatap Tom dibalik tirai air mata. Mata yang sama, tapi pandangan itu kini terasa berbeda menatapnya. Ada ketakutan di manik indah itu. Sesuatu yang dahulu tidak pernah ada di sana.
"Papa nggak boleh pukul Mama," isak Dinda.
"Papa nggak akan pernah mukul Mama. Tadi Papa nggak sengaja mendorong Mama. Nggak sengaja. Papa janji nggak akan terjadi lagi." Tom mengulurkan jari kelingkingnya pada Dinda. Dengan ekor matanya gadis itu menatap jari kelingking sang papa. "Dinda percaya sama Papa kan?" Dinda mengangguk. Perlahan jemari mungilnya terjulur mengait ke jari sang papa. Tom nyaris menangis menerima kepercayaan kecil dari putrinya itu. Merentangkan tangannya, Tom baru akan mendekap Vanila dan juga Dinda, ketika tubuh Vanila terlihat mundur dan memberi jarak diantara mereka sambil meminta tolong pada Madya untuk membawa Dinda dan Verzet ke kamar.
Dengan isyaratnya Madya meminta Andy membawa Verzet. Namun Andy tak mau ikut. Butuh sedikit paksaan yang akhirnya membuat Andy ikut.
"Baiklah. Kami akan memberi kalian waktu untuk bicara. Vanila, jika dia macam-macam berteriak saja kami akan datang menolong. Aku akan minta satpam berjaga di ruang depan sehingga jika kau membutuhkan pertolongan, mereka akan segera datang. Jangan takut."
Tom berdecih saat mendengar ucapan Andy, pria itu sangat pintar memilih kata. Semua orang yang tak mengenalnya dan Vanila dengan baik, pasti berpikir dia benar-benar seorang monster yang kejam pada anak dan isterinya. Namun kali ini Tom berusaha menahan diri. Bahkan menahan diri saat Andy menepuk pundak Vanila dan berakhir dengan menggenggam lembut telapak tangan kanan isterinya itu di hadapannya- sebelum mengikuti langkah Madya dan anak-anaknya. Tom menatap semua itu.
Sepeninggal semuanya-yang ada hanya kekikukan yang membekukan. Vanila melipat kedua lengannya di dada.
"Sayang..."
Mengangkat telapak tangannya. Vanila memberi isyarat agar Tom diam. "Ada yang harus aku luruskan tentang apa yang kau maksud dengan kesalah pahaman yang ada di otakku tentangmu. Salah sangka? Ciuuhh." Vanila menunjukkan sikap paling menyebalkan yang tidak pernah dia tujukan pada siapa pun. "Kenapa kau menuduhku terus sebagai orang yang salah sangka?!" Vanila meninggikan nada suaranya, "Aku salah sangka saat melihat Clara dan kau berciuman, aku salah sangka menemukan bukti kau membawanya ke rumah kita.." Vanila mendecih, "Sebentar lagi mungkin kau berkata aku salah sangka saat membaca pesan wanita itu di ponselmu. Satu-satunya salah sangka panjang yang kulakukan adalah: aku percaya kau suami yang baik dan kau sibuk bekerja untuk kami saat kau ternyata menghabiskan waktumu untuk berselingkuh. Dan aku tidak akan mengulangi kebodohan itu! Mulai hari ini dan seterusnya aku akan berhenti menjadi wanita bodoh yang terus mencintaimu- termasuk kembali ke rumah dan membicarakan semua masalah kita pada kedua orang tuamu. Apa pun yang terjadi aku akan mempertahankan anak-anakku termasuk jika harus membawa kasus ini ke pengadilan!"