Suara riuh anak-anak kelas tiga terdengar saat bel istirahat berbunyi. Pelajaran matematika yang menjadi momok bagi sebagian besar anak berakhir. Ada guratan lega di wajah-wajah anak-anak itu, tak terkecuali di wajah Alfa Romeo, Dino dan Budianto. Suara ketiganya terdengar bersorak membuat Pak guru matematika menatap mereka. Tumpukan buku-buku paket berada di atas meja pak guru belum diangkat.
"Dino, kamu bawa buku-buku ini ke ruang guru. Letakkan di meja Bapak."
"Yahhh, kok mesti gue sih," Dino mendumel kesal dan hanya ditanggapi tawa oleh kedua sahabatnya.
"Nasib lo. Kita ke kantin dulu." Alfa menggamit lengan Budianto untuk berlalu dari dalam kelas yang memang telah sepi karena siswa lainnya telah kabur lebih dahulu.
"Lahhh, bantuin gue dong! Ini berat tahu!" Tapi pekikan Dino tak digubris oleh kedua sahabatnya itu, Alfa Romeo dan Budianto tetap melenggang santai meninggalkannya. Walau dengan mendumel, Dino akhirnya membawa juga buku-buku tersebut dengan susah payah ke ruang guru.
***
Tom tiba di sekolah Verzet, tepat ketika bel istirahat berbunyi. Tom yang telah duduk dengan manis di kursi ruang guru tepat dihadapan meja guru wali kelas Verzet- Bu Emely melirik sesaat pada meja-meja di ruang guru. Kemudian menarik nafas lega karena para guru lain belum berada di ruangan itu.
Beberapa menit lalu Tom melajukan mobil menuju ke sekolah Verzet dan Dinda untuk memastikan keberadaan putra dan putrinya di sekolah. Logikanya ini adalah hari ke empat kepergian Vanila dari rumah, tidak masuk akal jika Vanila tetap membiarkan anak-anak mereka tidak bersekolah karena masalah yang terjadi di rumah tangga mereka. Vanila sangat ketat soal pendidikan anak-anak mereka. Namun sepertinya Vanila mengacuhkan hal itu sekarang.
"Saya minta tolong sekali ketika Verzet nanti sekolah, tolong hubungi saya." Tom mengambil name card bisnis di saku jasnya dan menjulurkan kartu itu pada Bu Emely yang memandang kartu itu lekat-lekat sambil sesekali menatap wajah Tom dengan bingung.
"Maaf, Pak. Tapi apa yang terjadi? Verzet melarikan diri dari rumahkah? Sejak kapan hal itu terjadi? Ini sudah empat hari Verzet tidak sekolah."
Dino baru saja meletakkan setumpuk buku-buku paket di atas meja sang guru matematika ketika tanpa sengaja dia mendengar ucapan Bu Emely. Dino mencuri dengar pembicaraan itu. Bersyukur karena ruangan guru sekolah mereka mensekat meja para guru dengan bentuk kubikan.
"Sebenarnya bukan Verzet yang melarikan diri dari rumah. Saya dan isteri saya mengalami sedikit masalah yang membuat mamanya salah paham dan membawa Verzet dan adiknya pergi dan kini saya kehilangan jejak mereka ." Tom mengatakan hal itu sesingkat mungkin. Dia rasa Bu Emely bisa memahami arti kalimatnya.
"Saya menyesal mendengar hal itu." Bu Emely terlihat tulus prihatin. Manik mata Bu Emely menatap lekat pada wajah Tom. Jelas Bu Emely bisa melihat ada memar di sudut bibir Tom, ada rasa ngeri di hati wanita berusia lima puluh tahun itu saat membayangkan bahwa pertengkaran antara papa dan mama Verzet telah berakhir dengan kekerasan. Bu Emely yakin wajah mama Verzet lebih menyedihkan lagi. Mama Verzet yang langsing dan sedikit pucat akibat kulitnya yang putih pasti tidak akan bisa memberi perlawanan yang sepadan. Walau bisa melukai bagian bawah bibir Pak Tom, Bu Emely yakin Mama Verzet jauh lebih bonyok dan memar. Alasan yang menyebabkan mama Verzet membawa kabur anak-anaknya.
Tom mengangguk. "Saya jauh lebih menyesal atas apa yang tengah terjadi di keluarga kami. Karenanya saya mohon bisakah Ibu memberitahu saya jika nanti Verzet kembali bersekolah, agar saya dan mamanya bisa menyelesaikan masalah kami."
"Tentu saja. Saya sangat berharap Anda dan Ibu Vanila bisa menyelesaikan masalah Anda dengan baik agar anak-anak tidak menjadi korban dari keadaan ini. Verzet anak baik dan pintar, saya harap dia baik-baik saja saat ini."
"Terima kasih. Saya permisi, Bu." Bu Emely mengangguk walau kini tanpa tampang ramah seperti di awal mereka berbicara. Tom bisa merasakan itu. Wanita itu berdiri dari kursinya dan untuk terakhir kalinya menjabat tangan Tom dengan enggan sebelum Tom benar-benar pergi dari ruangan guru tersebut. Tepat saat itu Bu Emely sudah mengambil keputusan tidak akan menghubungi Tom jika Verzet kembali ke sekolah. Sebagai sesama wanita, dia akan melindungi Verzet dan mamanya dengan menyembunyikan mereka dari Tom.
Melangkahkan kaki di koridor sekolah, Tom memandangi para siswa-siswi yang nampak bahagia berlarian di halaman sekolah dan keceriaan itu menamparnya pada sebuah rasa bersalah terhadap putra dan putrinya. Andai bisa, dia ingin mengulang waktu. Satu kali saja dalam hidupnya: ketika Clara pertama kali muncul ballroom Clement Construction bersama beberapa kandidat sekertaris pengganti Bu Sulis, dia tidak akan pernah memilih Clara. Jika dia tidak memilih wanita itu- kesalahan itu tidak akan pernah terjadi. Dan jika kesalahan itu tidak pernah terjadi- rumah tangganya dan Vanila hari ini pasti masih baik-baik saja.
Tom melangkah gontai menuju ke mobilnya yang terparkir di bawah pohon akasia. Menyapa hangat seorang satpam sekolah yang segera berlari-lari membukakan pagar sekolah buat Tom. Tom melirik tag name di dada si satpam: Herman. Menunda diri untuk masuk ke dalam mobil dan memilih bicara pada Pak Herman.
"Pak Herman, ngomong-ngomong Bapak kenal Verzet Armani?"
"Ohhh, Nak Verzet. Kenal lah, Pak. Beberapa kali saya pernah membantu membawa Verzet ke UKS waktu penyakit asama nya kumat. Tapi itu dulu. Sekarang sih saya nggak pernah ingat dimintain tolong membawanya ke UKS lagi. Kayaknya sih Verzet udah lebih sehat. Puji Tuhan lah."
"Saya Papa Verzet." Tom menyodorkan kembali sebuah kartu nama yang dia ambil dari balik jas hitamnya lalu sama seperti pada Bu Emely, Tom juga menyodorkan kartu nama itu pada Pak Herman. "Tolong hubungi saya jika Bapak lihat Verzet atau mamanya di sekolah." Pak Herman menatap Tom serius.