"Ma, kapan Dinda sekolah lagi?" suara Dinda terdengar pelan. Bersama Vanila mereka tengah duduk di halaman rumah kontrakan mereka yang cukup rindang. Namun cuaca hari ini yang memang kelewat panas membuat semilir angin yang bertiup tak bisa menghalau rasa panas yang terasa membakar kulit. Vanila mengipasi anak-anaknya dengan sebuah kipas bambu.
Sambil mengayunkan kipas di tangannya dia berpikir mungkin dia harus membeli kipas angin. Udara akhir-akhir ini cukup panas, matahari juga terik banget. Kasihan anak-anaknya yang sedari tadi banjir keringat. Andy menghargai arlojinya cukup mahal seratus juta, padahal dia hanya meminta dua puluh lima juta karena bagaimana pun itu hanya arloji bekas dan sejujurnya ketika dibeli berpasangan. Atau sebuah Ac akan menyenangkan hati anak-anaknya. Lalu suara Dinda terdengar lagi, kali ini dengan goyangan di lengan Vanila.
"Nanti, ya."
"Nanti kapan, Ma?"
"Nanti kalau kita udah beli buku, baju seragam, sepatu..."
"Dinda kan punya semuanya, Ma," Dinda memotong ucapan Vanila, dengan manik matanya yang bening dan indah dia menatap sang mama bingung. "Di rumah semua kan ada, Ma. Dinda mau pulang, Ma." Rengek putrinya itu, "Di sini nggak enak. Panas. Dinda mau kamar Dinda yang dulu, Dinda mau mainan Dinda, Dinda mau main sepeda sama mama, papa, kakak, opa dan Oma lagi. Dinda mau pulang, Ma."
Vanila menelan salivanya dengan keras hingga rasanya dinding tenggorokannya robek. Dia bisa merasakan sakitnya. Bagaimana dia menceritakan semua pada anak-anaknya bahwa hubungan antara dia dan papa mereka akan segera berakhir.
Vanila telah membaca beberapa artikel untuk mencari tahu cara terbaik menceritakan keadaannya dan Tom saat ini. Hampir semua artikel berkata waktu dan situasi yang baik diperlukan saat menceritakan keadaan itu. Ada bagian otak yang terus menyimpan kejadian buruk kata para penulis artikel itu, maka ketika Anda akan menjelaskan pada anak Anda tentang berita perpisahan, luka tersebut mungkin akan terus tersimpan di memorinya, entah sampai berapa lama. Maka tak jarang ada anak-anak yang menjadi trauma ketika mengetahui kenyataan perceraian orangtua. Memilih waktu dan situasi perlu dilakukan. Namun Vanila bahkan tak tahu apa waktu dan situasi baik ada untuk sebuah kabar buruk? Tidak ada manusia dewasa- yang lahir dengan persiapan matang menerima kabar buruk apalagi anak-anak.
Kemudian mata indah Dinda melihat ponsel putih yang baru saja dibelikan Om Andy pada mamanya. Dinda meraih ponsel itu. "Dinda mau telpon Papa." Sebelum Vanila menyadari tentang ponselnya, ponsel itu telah beralih ke tangan mungil Dinda yang segera memberikannya pada sang kakak. "Kakak tahu nomor Papa kan? Tanya Papa masih marah nggak? Dinda percaya Papa nggak marah lagi. Dinda mimpi semalam papa nangis: Papa rindu kita, Ma."
"Dinda, kasih handphonenya sama Mama!"
"Mama nggak mau nelepon Papa. Kakak tahu nomor Papa." Ponsel itu beralih ke tangan Verzet diantara pekikan Vanila agar memberikan kembali ponselnya. Sesaat Verzet tergugu antara mendengar permintaan sang adik atau mamanya, dia belum memilih- tangan Vanila lah yang lebih dahulu merampas ponsel itu.
"Papa nggak pernah rindu sama kita!!" Vanila memekik marah, " Kalau Papa pernah merindukan kita dia tidak akan lebih memilih selingkuhannya daripada kita!" Vanila jatuh bersimpuh, "Maafkan Mama, tapi Mama dan papa akan berpisah." Kemudian sesuatu seakan menyadarkan Vanila, membuatnya membekap mulutnya. Air matanya terjatuh deras, saat dari balik tirai air mata itu dia bisa melihat anak-anaknya menatapnya shock. Air mata jatuh di pipi gadis kecilnya dan Verzet memeluk adiknya dengan erat. Saat itu Vanila menyadari seharusnya dia tidak pernah mengatakan hal itu. Seharusnya dia mengekang mulutnya. Seharusnya.... seharusnya bukan seperti ini akhir kisah cintanya dan Tom.
"Hai, semua. Coba lihat apa yang Om..." Andy menurunkan plastik yang ada di tangannya kemudian mengedarkan pandangannya menatap Vanila dan anak-anaknya yang kini berlinangan air mata. Hanya Verzet yang tak menangis, walau jelas itu dilakukannya dengan perjuangan yang berat. Entah apa yang tengah terjadi. Andy tak tahu. Namun meyakini pastilah soal Tom. Sementara Vanila buru-buru menyeka air matanya yang mengalir.
"Andy? Kenapa kau di sini? Kau seharusnya tidak sering-sering kemari." Vanila berkata saat menemukan Andy di hadapannya. Tepat ketika itu sebuah truk besar memasuki pekarangan rumah mereka. "Hei, kalian salah ru..." Andy menyentuh pundak Vanila lalu menggelengkan kepalanya. Kemudian dengan isyarat tangannya dia meminta beberapa pria besar di dalam truk mulai bekerja menurunkan isi muatan truk tanpa menanti pendapat Vanila.
Ada kulkas, mesin cuci, sofa, tempat tidur, ranjang dan jangan lupakan AC. Para pria besar itu bergerak gesit memindahkan isi truk ke dalan rumah, memaksa Vanila, Dinda dan Verzet bergeser dan berakhir saling berdempetan. "Andy, apa-apaan ini?"
"Rumah ini tidak memiliki apa pun yang kalian butuhkan."
"Tapi Andy..."