Tom nampak sedikit bahagia saat dia melaju ke rumah sakit malam ini. Kabar tentang papanya yang telah pulih cukup menjadi obat bagi pikirannya yang mumet karena hilangnya Vanila dan anak-anaknya dari pandangannya.
"Jadi besok Papa akan kembali ke rumah?"
"Dokter bilang seperti itu," Mamanya menjawab sambil merapikan kelengkapan sang papa. Kemudian menyadari luka di sudut bibir Tom. "Kenapa dengan wajahmu, Tom? Jangan bilang kau berkelahi lagi."
"Aku hanya menghajar laki-laki berengsek."
"Kembali lagi kan perangai buruk kamu. Vanila baru pergi beberapa hari, kamu udah berantam lagi sama orang."
"Ini bukan karena Tom yang salah, Ma. Ini orang yang memang harus dihajar."
"Kapan sih kamu ngerasa kamu pernah salah?" Tom menghela nafas. Tentu saja dia pernah merasa bersalah, bahkan sangat bersalah. Setiap saat setelah dia menyadari kesalahannya: rasa bersalah adalah temannya. Bahkan sering rasa bersalah itu makin keras mencekiknya: kemarin malam setelah pertengkaran di rumah Andy yang menyebabkan dia tanpa sengaja mendorong tubuh Vanila dan Dinda- dia sudah didera rasa bersalah yang sangat besar, awal dia memulai perselingkuhan tentu saja dia didera rasa bersalah, beberapa kali dia berusaha menjauhi Clara namun Clara bukan wanita yang mudah untuk ditolak. Acap kali saat menatap wajah Vanila dan anak-anaknya yang tengah tertidur setelah perselingkuhannya, dia juga didera rasa bersalah, saat Vanila begitu terluka mengetahui perselingkuhannya, rasa bersalah menghantamnya hingga dia juga nyaris mati tercekik. "Intinya kamu udah dapat jejak Vanila dan anak-anak kamu dimana atau belum?" Suara sang mama menyadarkan Tom.
Tom tidak ingin menceritakan pada mamanya bahwa kemarin malam dia menemukan Vanila tinggal di rumah seorang pria: seorang aktor yang bermain di salah satu film yang di buat berdasarkan novel Vanila. Bahwa pria itu pernah mencium bibir Vanila dan berdasarkan ucapan pria itu bahkan lebih dari sekedar berciuman, tapi bercumbu dengan Vanila.
"Nggak, Ma. Belum jumpa." Tom berkata pelan dan frustrasi. Mama dan papa Tom saling berpandangan dengan perasaan pilu. Tom tidak pernah sesedih ini.
"Ya, udah. Sabar, ya." Mama mengelus punggung Tom dengan lembut. "Teruslah mencari. Nanti Mama bantu..." Mama menghentikan ucapannya. Kening tuanya berkerut seakan memikirkan sesuatu. Lalu sebuah senyum terbit di sudut bibirnya. " Ini sudah lebih dari dua puluh empat jam-kan buat Vanila dan anak-anak kamu menghilang? Jadi kita sudah bisa melaporkan mereka ke polisi. Mama benarkan?"
Tom bisa melihat papanya mengangguk. "Besok kita laporkan kehilangan Vanila dan anak-anak kamu."
Tom mengangguk. Walau tak yakin apakah hal itu berguna. Vanila bukan menghilang karena diculik, dia pergi atas keinginannya. Saat membaringkan tubuhnya di sofa rumah sakit, hati Tom bertanya-tanya pernahkah sedetik saja setelah perpisahan ini Vanila memikirkannya, merindukannya dan berpikir untuk pulang? Atau tidak sama sekali?
Dan kelebatan perkataan Andy bermain di benak Tom:
"Vanila wanita yang menarik. Bahkan walaupun dia sudah beranak dua. Tubuhnya masih sangat ketat di sana sini. Kau tahu kami sudah berciuman bukan? Sejujurnya aku yakin Vanila sudah menceritakannya padamu. Dalam versi singkatnya, aku akan menceritakan versi panjangnya padamu jika kau mau.. " Tom menarik bantal yang ada di bawah kepalanya dan memindahkan bantal itu untuk menutupi telinganya agar suara itu tak terdengar. Namun suara Andy tetap terdengar karena suara itu berada di kepalanya: "Bibirnya... sejujurnya aku tetap tak bisa melupakan ciuman kami. Bagaimana dia mengawali semuanya. Dia yang pertama menciumku. Dia memelukku dan menciumku dengan ciuman yang liar dan menuntut....Di kamar hotel...kami lebih dari berciuman, kami bercumbu... dia memintaku mengajarinya bagaimana cara berselingkuh darimu."
Deg. Rasanya hati Tom bagai dicacah seribu belati.
"Tom, makan dulu, Nak." gamitan di tubuh Tom membuat Tom tersadar. Sejujurnya dia tidak selera makan. Namun mengingat rasa perih yang kini menghantam perutnya, Tom bangkit dari posisinya yang tengah berbaring dan segera duduk, matanya melirik piring yang telah dipenuhi makanan yang dia bawa tadi. Sejak Vanila dan anak-anaknya pergi, dia hampir tak mengisi perutnya jika tidak terasa sakit.
Tom baru memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya ketika kelebatan perkataan Vanila di saat mereka bertengkar terngiang-ngiang kembali di pikiran Tom: