Tom bergegas menuju ke kamar tidurnya di lantai dua, meraih handuk dan bergegas mandi setelah mengantar papa dan mamanya ke kamar mereka. Pak Wie menelponya setengah jam yang lalu meminta mereka untuk bertemu di kantor dan mempertanyakan mengapa dia tidak datang ke kantor satu Minggu ini.
Tak menghabiskan waktu yang lama, Tom bergegas keluar dari kamar mandi. Meraih pakaiannya dari dalam lemari dan segera memakai pakaiannya, terakhir adalah jas hitam. Tom meraih jas dari dalam lemari dan tanpa sadar turut menarik sebuah gaun hitam milik Vanila. Tom meraih gaun itu, mencium aroma khas dari tubuh Vanila. Dia rindu Vanila dan anak-anak mereka. Tom jatuh meringkuk di depan lemari pakaiannya sambil mencium erat gaun Vanila.
***
Vanila melangkah mengikuti receptionis itu. Wanita itu berjalan di depannya, Vanila bisa melihat kaki wanita itu terbungkus dengan stoking jala hitam dan sepatu berhak tinggi yang bahkan ketinggiannya diperkirakan Vanila nyaris tujuh sentimeter. Vanila tidak akan mau mengenakan sepatu berhak setinggi itu-tidak baik buat kesehatan kakinya.
Mereka tiba di depan sebuah ruangan tertutup yang segera dikuak sang receptionis. "Pak Ambara," Sapanya lalu sedikit kaget melihat beberapa pengacara lain di dalam ruangan itu.
"Ada apa, Jo?" Seorang pria sepantaran usia Vanila bertanya.
"Ada klien yang ingin bertemu, Pak. Beliau butuh bantuan untuk kasus yang tengah Beliau hadapi."
"Persilahkan saja masuk." Pria itu berkata dan sang receptionis segera mempersilahkan Vanila yang masih berada di sisi pintu untuk masuk. Vanila menurut, sesaat sebelum masuk dia masih sempat mengucapkan terima kasih pada si receptionis yang segera meninggalkannya.
Di dalam ruangan itu ada empat orang pria dengan pakaian rapi salah satu bahkan terlihat menenteng jubah kebesaran seorang penasehat hukum di ruang sidang, ada seorang wanita cantik juga di ruangan itu yang malah nampak menekuni berkas-berkas di depan matanya. Vanila merasa pernah melihat wanita itu.
"Vanila Astanervary?" Langkah Vanila terhenti saat salah satu dari pria itu memanggil namanya dengan sempurna. Pria itu menyengir manis pada Vanila. Nyengiran itu membuat Vanila mengingat salah satu teman sekelasnya di fakultas hukum.
"Kenny?" Vanila menebak wajah pria itu dan disambut tawa senang sang pria.
"Jadi kamu benar Vanila?" Suara yang lain terdengar, membuat Vanila mengamati wajah-wajah yang ada di ruangan itu yang kini melangkah mendekatinya.
"Vanila! Lo ingat gue kan? Gue Dela!" si cantik yang tadi Vanila lihat disibuki dengan berkas perkara melompat memeluk Vanila. Vanila tidak terlalu dekat dengan Dela, namun ada beberapa SKS kelompok yang memaksa mereka tetap pada group yang sama, saat peradilan semu dan saat klinis hukum....dan demi Tuhan-Dela merasa sangat beruntung atas semua kerja keras Vanila karena dia mencicipi hasilnya juga mendapat nilai A+ di enam SKS akhir.
"Kita udah melakukan beberapa kali reuni, Van, tapi lo nggak pernah kelihatan. Lo dimana sih selama ini?"
"Mentang-mentang nikah sama cowok ganteng fakultas teknik jadi nggak mau gaul lagi sama seangkatan. Sombong." Yenny berkata menimpali Dela. Wajah cowok yang sepanjang kuliah selalu digoda jadi Jonny itu terlihat sumringah. "Ngomong-ngomong, Van lo kerja apa sekarang? IPK lo cum lude "
Vanila menarik ujung bibirnya miris. "Aku belum sempat bekerja ketika Ayahku meninggal dan memutuskan menikah dengan Tom."
"Jadi kamu ibu rumah tangga?" Vanila memberi anggukan atas pertanyaan Kenny yang seketika sejujurnya dapat Vanila lihat menarik diri. Dulu Kenny dan dia cukup sering menjadi rekan diskusi dan berdebat, standar nilai mereka yang sama dan saling bersaing, membuatnya sering menjadi rival pria itu. Sekarang Kenny jelas menganggapnya tak layak. Vanila merasa dungu saat melihat sorot mata Kenny yang bersandar di sandaran kursi sambil melipat tangan di dada memandangnya.
"Tapi tunggu..." Antonio melirik ke luar ruangan dari balik daun pintu yang tidak tertutup rapat seakan tengah mencari seseorang yang lain, tapi tak dia dapati. "Van, maaf, ya. Jangan bilang kamu adalah calon klien kita?"
Vanila meneguk ludahnya sendiri untuk membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba terasa gersang. Manik mata seluruh teman fakultas hukumnya kini terarah padanya, Vanila merasa kembali ke masa dimana dia harus dapat mempertahankan proposal skripsinya di depan dosen dan teman-temannya yang sedikit kurang ajar yang bukan hanya mempertanyakan segala macam yang dia gunakan dalam proposal skripsinya, tapi menyatakan ketidaksetujuan mereka pada semacam jenis penelitian yang akan dia gunakan, bahkan mempertanyakan daftar bacaannya. Setelah terkatup diam selama beberapa waktu akhirnya Vanila mengangguk juga.
"Apa??! Lo mau cerai sama Tom Dwiguna?!" pekikan mulut Dela begitu keras plus dengan lototan matanya hingga Vanila kwatir bola matanya bisa melompat keluar dan terjatuh entah dimana. Vanila mengangguk. "Ya, ampun gue nggak bisa bayangkan gimana reaksi anak-anak seangkatan kita kalau tahu soal ini," lanjutnya, "Lo sama Tom itu bibit yang memperdamaikan dua fakultas yang dari nenek moyangnya udah tercipta untuk gontok-gontokan. "Lo juga orang pertama yang membuat cowok fakultas lain ngelirik cewek fakultas hukum. Gue nggak habis pikir...."
Dela masih cuap-cuap. Mungkin karena mereka dahulu teman se-fakuktas sehingga dia bahkan lupa beban berat yang Vanila rasakan. Antonio sedikit manusiawi, dia menuntun Vanila ke sofa yang ada di ruangan itu dan mempersilahkan Vanila duduk. Meraih segelas Aqua cup yang ada di atas meja dan menyodorkannya pada Vanila yang hanya menggenggam Aqua cup itu di genggamannya. Kini mata semuanya menatap intens pada Vanila.