"Van, kamu kemana aja? Kenapa nggak datang ke kantor Pak Coolman Hutahuruk? Aku nungguin kamu di situ berjam-jam loh. Apa kamu berubah pikiran? Jangan bilang kamu berubah pikiran. itu nggak lucu banget!" Andy membombardir Vanila.yang baru tiba di coffee shop dengan rentetan pertanyaannya. Cowok itu bahkan datang menghampiri Vanila ke meja bar. Untungnya kafe yang mereka singgahi kini sedang sepi kalau tidak habislah mereka oleh gosip.
"Aku nggak mungkinlah datang ke kantor Pak Coolman. Beliau bukan kelasku. Terlalu mahal." Vanila berkata jujur sekali sambil meraih buku menu dan memesan se-cup vanila latte pada waiters yang ada di meja bar, lalu melangkah bersama Andy menuju meja yang telah ditempati Andy sedari tadi untuk menunggunya. Dia baru saja kembali dari rumah sakit Polri untuk melakukan visum.
Setelah para teman kuliahnya yang kini menjadi penasehat hukumnya mendengar kisahnya termasuk perebutan anak yang tejadi antara dia dan Tom dua malam yang lalu dan menanyakan luka di tubuhnya atau lembam- yang memang Vanila akui ada..Dia terjatuh akibat dorongan Tom yang keras dan itu meninggalkan lembam di lengannya dan tarikan Tom yang keras agar dia ikut pulang bersama pria itu masih meninggalkan bekas merah cengkraman di lingkar pergelangan tangannya. Dan semua sepakat dia harus mengambil visum. Para temannya berpendapat itu mampu membantunya mendapatkan simpati hakim dan menyerahkan perwalian anak-anaknya padanya. Sebenarnya Vanila tak ingin melakukan hal itu, dia berharap tak perlu menggunakan hasil visum dan membuat Tom layaknya pria jahat dan bengis yang suka melakukan kdrt saat keinginannya tidak terpenuhi. Gambaran itu mengerikan. Tom tidak seperti itu. Waktu itu Tom mungkin benar-benar putus asa.
Uhh, Vanila menarik nafasnya saat menyadari lagi-lagi dia membela Tom.
"Aku tahu mereka mahal, Van," Andy yang menyangka tarikan nafas Vanila karena memikirkan mahalnya jasa Pak Coolman membuka suaranya, "tapi mereka terbukti mampu memenangkan segala kasus dan soal biayanya kau tidak perlu kwatir, aku akan membayarnya untukmu."
"Nggak. Aku nggak mau berhutang lagi sama kamu."
"Jadi kamu nggak akan bercerai dari Tom?" Vanila menatap Andy lekat-lekat, serius sikap Andy nampak terlalu memaksa agar dia segera bercerai. Vanila tahu Andy pernah mengatakan pria itu tertarik padanya, tapi nggak juga berarti Andy...??
Vanila merasakan jemari Andy menggenggam jarinya dan perlahan membawa tangannya ke depan wajah pria itu, Andy mengecup jemarinya lembut selembut kecupan yang dulu pernah diberikan Tom padanya. Refleks Vanila menarik tangannya dari tautan jemari Andy. Ada binar mata kecewa yang dapat Vanila tangkap di sorot mata itu.
"Andy, aku..." Vanila buru-buru meraih ponselnya melirik layar depan ponselnya. "Aku harus menjemput Dinda. Terima kasih untuk semuanya termasuk vanila latte-nya." Vanila bergegas hendak pergi, namun Andy segera mengejarnya.
Langkah Andy yang cepat dikarenakan kaki pria itu yang memang cukup panjang, membuat Vanila bisa dengan mudah dihentikan. Dengan ekor matanya Vanila bisa melihat jemari Andy menempel di lengannya.
"Vanila aku tahu pria yang kau cintai bukan aku, tapi Tom. Namun aku ingin kau tahu bahwa aku akan menjadi pria terbaik untukmu jauh lebih baik dari Tom dan menjadi ayah terbaik buat anak-anakmu."
Kaki Vanila terasa terkaram. Dia seharusnya tersanjung saat ini, seorang Andy Herline menyatakan perasaannya kembali padanya- ini bukan pertama kalinya, tapi dia tidak bisa. Hati bukan sesuatu yang mudah dipindah-pindahkan bahkan oleh pemiliknya sendiri.
"Andy, maaf." Vanila menurunkan tangan Andy dari lengannya. Matanya menatap wajah Andy lembut. "Terima kasih karena memilihku dari begitu banyak wanita yang mengejarmu. Namun aku rasa kau harus melupakan aku. Aku wanita yang akan bercerai dengan dua orang anak. Tidak baik untukmu...."
"Vanila, berhenti memikirkan hal itu. Aku yang tahu kau baik atau tidak buatku. Aku tidak pernah merasakan perasaan yang sekuat ini pada seorang wanita selain dirimu. Sejak mengenalmu: bahkan mengenal tulisanmu- kau selalu menemaniku, lalu sejak kau muncul di hadapanku kau menjadi alasan untukku membuka mata di pagi hari...."
"Andy, aku wanita dengan hati yang terluka."
"Aku akan mengobati lukamu."
Mata Vanila berkaca-kaca. Kenapa harus Andy yang memiliki perasaan setulus ini padanya dan anak-anaknya, kenapa bukan suaminya sendiri: Tom Dwiguna. "tidak, Andy. Kau layak mendapatkan cinta sejati bukan hanya pelarian..."
"Berkencan lah denganku beberapa kali, aku yakin kau akan jatuh cinta padaku.. Benar-benar jatuh cinta dan mencintaiku." Andy menyematkan tangannya berbentuk love ke dadanya, Vanila terkekeh. Dalam pembicaraan yang mulai terasa tak nyaman ini pun Andy memikirkannya. Memikirkan kenyamanannya dan bukan keinginannya sendiri. Vanila mulai menyadari kenapa banyak gadis yang jatuh cinta pada Andy Herline. Dia menarik dan bersamanya terasa nyaman. Andai dia belum menikah mungkin dia akan memilih Andy Herline. "Baiklah jika kali ini belum mau. Tak masalah. Lain kali mungkin aku akan jadi pemeran pangeran berkuda putih yang membuat sang putri tergila-gila?" Vanila tersenyum. "Siapa tahukan? Mungkin kita berjodoh?"