"Kamu punya pikiran atau tidak?!" suara amarah Clara tertahan pada Brian. Mereka berbicara diam-diam di halaman belakang rumah usai seluruh polisi pergi. Sejujurnya Brian sampai terkaget-kaget saat melihat keramaian di rumah Pak Wie. Sesuai permintaan Clara dia harus menyerahkan ponsel itu pada wanita cantik itu sesegera mungkin. Makin cepat makin baik. Brian tadi sangat bersemangat menyerahkan ponsel hitam yang telah dia ambil dari Neli berharap mungkin dia bertemu Pak Wie dan pria itu dengan senang hati mengangkatnya menjadi Presiden Direktur Clement Construction hari ini juga. Namun alih-alih diangkat menjadi Presiden Direktur Clement Construction, pria tua pemilik saham Clement Construction itu malah ditemukan tewas di kamarnya akibat making love?
Uhhh, kini saat menatap Clara- bukan kisah tentang ponsel yang ada di benak Brian malah bagaimana serunya Pak Wie dan Clara bercin** malam tadi. Brian menurunkan pandangan matanya dan berhenti pada kaki jenjang Clara yang terbuka cukup lebar. Kimono seksi yang Clara pakai dua puluh centimeter di atas lutut. Ohh, God. Kaki panjang Clara yang telanjang nampak putih dan lembut. Kukunya di cat dengan warna merah menyala selaras dengan kuku-kuku di jari tangannya.
"Jadi buat apa kamu datang subuh-subuh begini ke sini?!" Suara Clara naik satu oktaf. Bahkan walaupun dia mengingat ucapan Brian tadi di depan polisi bahwa dia dari perusahaan Clement Construction setelah mendapat kabar tentang kematian Pak Wie jadi dia akan melakukan pembicaraan mengenai acara penguburan Pak Wie dan sebagainya pada keluarga selaku perwakilan Clement Construction. Untungnya polisi percaya. Brian tak menjawabnya- Clara tetap merasa kesal pada pria ini. Clara menatap ke arah tatapan Brian dan menemukan kakinya lah yang kini jadi objek tatapan pria itu. "Jaga tatapan matamu, Pak Brian! Bagaimana pun saya adalah isteri pemilik Clement Construction!" pekikan suara Clara terdengar oleh dua orang pekerja rumah besar itu yang segera menunduk hormat pada Clara lalu bergegas pergi.
"Maaf, Bu. Saya benar-benar tidak bermaksud melecehkan Anda. Saya..." Brian menyodorkan sebuah ponsel yang ambilnya dari balik saku jasnya kehadapan Clara. "Saya bawa apa yang Anda minta, Bu."
Clara meraih ponsel yang dijulurkan Brian padanya kemudian mencoba membuka ponsel itu. Namun gagal. Ponsel itu meminta sidik jari atau password. "sepertinya dia mengganti password-nya."
"Apa? Saya janji akan meminta Neli memberitahu berapa password ponsel itu."
Clara mengangguk. "Tapi apa pun yang terjadi terima kasih. Sekarang saya mau beristirahat sebentar. Polisi meminta saya ke rumah sakit jam sembilan nanti dan ini telah jam empat pagi. Saya harus beristirahat."
"Saya akan menemani Anda ke rumah sakit. Saya juga akan mengurus pemberitahuan kematian Pak Wie pada orang kantor termasuk pada para pemegang saham."
"Tidak perlu."
"Saya memaksa, Bu. Saya akan ada di samping Anda di masa-masa sulit ini." Clara menatap Brian untuk waktu yang singkat lalu mengangkat bahunya seakan berkata: terserah, tapi bagi Brian itu berarti persetujuan. Senyum sumringah terpancar dari bibir Brian sementara Clara pergi meninggalkannya.
"Siapa juga yang merasa ini masa-masa sulit?" gumamnya saat melangkah menuju ke kamar utama lainnya. Polisi masih memegang kunci kamarnya yang menjadi tempat kejadian perkara, jadi dia tidak mungkin tidur di kamar itu lagi. Sebelum membaringkan tubuhnya kembali Clara memikirkan siapa gerangan yang memberitahukan polisi atas kejadian ini. Jika dia tahu orang itu orang itu akan dia berikan pelajaran berharga yang tidak akan pernah bisa dilupakannya karena berani ikut campur pada urusan seorang Clara.
***
Andy melangkah ke dapur. Wajahnya nampak kusut, walau sudah jam delapan pagi dia masih mengenakan piyama tidurnya. Meraih gelas di dalam lemari, dia melangkah menuju dispenser dan menegak segelas air hangat dari dispenser air ketika suara teriakan seseorang mengagetkannya dan membuat sesuatu yang berada di genggaman tangannya sedari tadi meluncur jatuh dan menggelinding ke kaki Madya.
"Aku bawakan...." Madya menghentikan ucapannya, matanya menatap selingkar cincin yang terhenti di ujung sepatunya. Buru-buru Madya meraih cincin itu. "Cincin?"
"Itu milikku." Andy merampas benda itu dengan cepat dari tangan Mbak Madya yang malah memilih mempertahankan cincin itu dan menghindari Andy yang terus berusaha mengejarnya. "Mbak, kemarikan."
"Mau kamu kasih kemana cincin ini?" Madya tak menggubris permintaan Andy, sebagai seorang manager dia punya kewajiban tahu apa rencana yang tengah disusun di kepala artisnya yang satu ini. Dia capek jadi target amarah para produser gara-gara tingkah Andy. "Dalam kurun waktu tiga tahun ke depan pernikahan tidak boleh ada di schedule kamu. Kamu menadatangani beberapa kontrak eksklusif yang meminta kamu tidak menikah dalam kurun waktu kontrak kerjasama. Jadi lupakan tentang pernikahan!" pekik Madya sambil memperhatikan cincin sederhana yang bukan gaya seorang Andy Herline. Kemudian dia menyadari pernah melihat cincin itu di jari manis seseorang. Madya mengamati cincin itu dengan lebih seksama. "Ini cincin nikah Mbak Vanila kan?!" Tepat saat dia memekikkan kalimat itu, Andy sukses merebut benda berharga itu dari tangannya. "Kenapa cincin itu bisa ada sama kamu?" Andy memilih melongos pergi, tapi tangan Madya menahannya. "Kembalikan cincin itu pada Mbak Vanila, kau tidak ingat bagaimana marahnya suaminya karena dia tidak mengenakan cincin itu?!" Madya menarik pundak Andy, tapi cowok itu menepiskannya.
"Aku menerimanya darinya. Dia tidak ingin mengingat pria itu juga pernikahan mengerikan itu."