Tom melajukan mobilnya, mencuri waktu di antara waktu bekerjanya. Setelah mendapatkan informasi dari satpam sekolah Verzet bahwa putranya itu kembali bersekolah, bagaimana bisa dia duduk di meja kerjanya setelah mengetahui kabar gembira itu. Melupakan kemungkinan bahwa Pak Wie akan mengamuk karena dia mangkir lagi bekerja, Tom mengambil segala risiko menemui kedua buah hatinya itu.
Ketika Tom tiba di sekolah, waktu istirahat kedua bagi anak-anak SD baru saja berbunyi, tapi bagi Dinda adalah waktu pulang sekolah. Walaupun satpam memberikan informasi padanya, tapi sulit untuk mendapatkan izin kembali memasuki sekolah Verzet. Satpam itu mengatakan pembukaan gerbang sekolah diluar waktu jam pulang sekolah harus berdasarkan izin kepala sekolah dan sayangnya kepala sekolah sedang tak ada di tempat. Uhhh, Tom mendengus kesal. Jelas-jelas kemarin-kemarin dia bisa masuk hanya dari izin guru piket saat itu. Dia mencurigai agaknya Vanila meminta kepala sekolah memastikan dia tidak bisa memasuki sekolah.
Sebenarnya Tom merasa diperlakukan secara tak adil, tapi ketika mengingat Dinda- dia memilih bersabar dan tak membuat huru-hara, dan memilih menemui Dinda di taman kanak-kanak.
"Baiklah, Pak. Tapi saya minta Anda menyampaikan sesuatu." Tom berlari ke belakang mobilnya. Meraih tas sekolah, buku-buku pelajaran sekolah dan seragam Verzet. "Tolong berikan semua ini pada Verzet. Dia tidak mungkin belajar tanpa kelengkapan sekolahnya kan?" Si satpam mengangguk. Mau tak mau setelah meminta temannya mengawasinya, dia membuka pintu gerbang dan mengambil seluruh titipan Tom. Baru akan kembali menuju pintu gerbang, Tom memanggil kembali si satpam. " Tunggu sebentar." Tom meraih notes dan pena dari atas dashboard mobil lalu menulis pesan pada Verzet kemudian menyerahkannya pada si satpam kembali. "Terima kasih, Pak." Si satpam mengangguk singkat dan kembali memasuk ke dalam kawasan sekolah sementara rekannya segera mengunci gerbang.
Salah satu satpam itu kemudian berlalu dari depan gerbang dengan segala titipan Tom dan Tom tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menemui putri kecilnya: Dinda.
Memasuki sekolah Dinda agak longgar karena waktu jam pulang sekolah, tapi menemui Dinda juga sama sulitnya. Tom menyadari seluruh guru sekolah anak-anaknya berpihak pada Vanila.
"Tolong, Bu Maria saya hanya ingin bertemu Dinda dan memeluknya. Saya bahkan akan melakukannya di depan mata Anda dan tidak membawanya kemana-mana jika itu bisa membuat Anda tenang. Saya Papanya- saya juga merindukannya," Tom berkeras sambil menanarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas Dinda. Beberapa teman Dinda masih ada di dalam kelas agaknya menunggu jemputan para orang tua mereka, tapi Dinda tidak ada termasuk bersama guru pendamping.
"Kami minta maaf sekali, Pak. Tolong memahami posisi sulit kami."
"Saya tidak pernah punya niatan memisahkan putra dan putri saya dari Mama mereka. Tuhan tahu itu."
"Tolong apa pun yang Anda lakukan perhatikan kepentingan Dinda dan kakaknya. Ini sulit bagi mereka. Mamanya cemas Anda akan membawa mereka pergi darinya, kalau kami tidak berjanji melakukan penjagaan ketat pada Dinda dan Verzet- Bu Vanila tidak akan mengizinkan Dinda masuk sekolah walau kita semua termasuk Bu Vanila menyakini mengurung Dinda dan Verzet di rumah bukan cara tepat. Sekolah dan bertemu teman-teman diharapkan membantu mereka ceria lagi, tapi tidak... Empat hari ini Dinda hanya diam." Empat hari, Tom mengulang informasi sederhana itu. Putra putrinya sudah bersekolah selama empat hari. "Apa pun tidak bisa membuat dia tersenyum padahal Anda tahu bagaimana ceria dan cerewetnya Dinda kan? Dulu setiap dia tiba di sekolah dia selalu mengucapkan selamat pagi pada semua orang- mau teman sekelasnya atau pun tidak, mau ibu siapa pun dia sapa, tapi sekarang dia hanya diam, malas mengikuti pelajaran, malas bicara, bahkan kegemarannya makan dan memamerkan bekal yang dibuat Mama tidak lagi dia lakukan. Waktu makan snack dia memilih tidak memakannya." Tom membisu dan hanya bisa menghela nafas berkali-kali mendengar perkataan Bu Maria. Ada luka yang merobek hatinya mendengar semua hal itu. "Maaf, Pak Tom kami belum bisa memberi Anda izin bertemu dengan Dinda. Maaf sekali."
Tom mengangguk pasrah. "Baiklah. Saya akan pergi. Tapi bisakah Anda sekali dalam sehari saja mengirimkan foto atau video Dinda pada saya untuk pengobat rindu saya?" Bu Maria menatap lekat-lekat wajah tampan papa siswinya itu. Papa Dinda harus diakui jauh lebih tampan dari semua papa di sekolah itu, Tom terlihat bak model internasional apalagi dengan stelan jas Armani yang mendekap erat tubuhnya. Ada kubangan harap di manik tajam mata pria itu yang membuat Bu Maria merasa tak sampai hati menolak permintaan itu. Bu Maria mengangguk. "Kalau begitu saya permisi. Terima kasih karena mengizinkan saya masuk."
Tom hampir saja tiba di ujung koridor kelas di sekolah putrinya itu ketika suara lembut terdengar memanggilnya. "Papa!" Langkah Tom seketika terhenti. Memutar badan dia bisa melihat bagaimana Dinda berlari begitu kencang menuju padanya diantara suara teriakan guru pendamping kelas dan usaha wanita itu untuk menggapai Dinda terlebih dahulu. Hal itu membuat Tom refleks berlari memupus jarak antara dia dan putrinya itu, menghampiri Dinda. Dan dari dalam kelas Dinda Bu Maria keluar, guru berusia sekitaran usia Tom dan Vanila itu menahan gerak rekan kerjanya itu saat gelengan kepala Tom terlihat dan tanpa suara bibir Tom berkata: sebentar saja.
"Papa!" Tom merentangkan tangannya dan menangkap tubuh Dinda yang melompat ke dalam dekapannya dengan girang. "Papa nggak kerja?" Dinda bertanya dengan rasa ingin tahu karena menemukan papanya di sekolahnya kini.
"Kerja sih. Tapi Papa rindu Dinda."
"Siapa yang kasih tahu papa kalau Dinda udah sekolah? Mama, ya?" Tom mengangguk karena tak ingin menambah sedih hati putrinya itu.
"Iya, Mama."
"Asyik," seru Dinda girang memilukan hati Tom. Tangannya yang tadi memeluk erat leher Tom terangkat bersorak. Tom harus mendekapnya erat kalau tidak Dinda bisa terjatuh karena excited. "Jadi Papa sama Mama udah baikan? Nggak marahan lagi?" Tom mengeryitkan keningnya lalu membuat kode dengan jari telunjuk dan jempolnya. sedikit. "Jadi kita bakal pulang bareng-bareng lagi?"
"Belum," Tom berkata pelan, "Dinda tahukan Papa buat salah. Jadi Mama sedang menghukum Papa."