"Dasar perempuan pembawa sial!" suara Aldy Wie terdengar garang saat dia menemukan Clara di koridor kamar visum et repertum. Tangannya segera mencekal bahu istri muda mendiang papanya itu dan mengguncangnya dengan keras. "Apa yang sudah kau lakukan pada Papaku! Dasar perempuan murahan!"
"Pak Aldy, tolong tahan emosi Anda. Ini bukan kesalahan Ibu Clara." Brian berjuang keras menahan amarah Aldy dan mencoba melepaskan tangan pria itu dari tubuh Clara yang tampak terguncang-guncang. Namun bukannya mendengarkan Brian, Aldy malah beralih mencekik leher Clara hingga nafas wanita itu tersengal-sengal. Untuk kali pertama Brian dan isteri Aldy yang datang bersama suaminya itu takut kalau hari ini Aldy bakal membunuh Clara.
"Sayang, cukup! kau bisa membunuhnya!" pekik isteri Aldy Wie keras sambil memegangi tangan suaminya agar melepaskan cekikannya dari leher Clara. "Aku nggak mau kamu masuk penjara! Aku nggak bisa hidup sendirian tanpa kamu! Lepasin wanita berengsek ini!" Mata Aldy Wie menatap isterinya sejenak kemudian beralih menatap Clara lagi.
"Aku akan menemukan bukti bahwa kaulah pembunuh Papaku dan saat hal itu terjadi, kau akan memilih lebih baik mati daripada hidup! Kau pikir aku tidak mengenal wanita-wanita semacam dirimu yang mendekati pria tua hanya demi harta dan membunuhnya demi warisan?! Aku tidak akan membiarkan kau mendapatkan sepeser pun dari harta Papaku! Tidak sepeser pun! Ingat itu!" Aldy mengakhiri cekikannya pada tubuh Clara dengan mendorong tubuh wanita itu hingga membentur dinding. Rasanya punggung Clara remuk seketika saat itu. Sejenak Aldy menatap wajah Brian lekat-lekat sebelum mengikuti langkah isterinya memasuki kamar mayat.
Sepeninggal Aldy Wie dan isterinya yang memasuki kamar mayat, Clara memegangi lehernya yang terasa sakit. Manik mata Clara mengikuti langkah Aldy dan isterinya dengan tajam. Beraninya pria itu menyakitinya. Jangan sebut dia-Clara jika pria itu tidak mendapatkan balasan atas tindakannya ini. Dia janji pria berengsek itu akan dia berikan balasan yang setimpal untuk rasa sakit ini.
"Anda tidak apa-apa Bu Clara?" tanya Brian kwatir. Clara tak menggubris pertanyaan itu, dia disibuki pemikirannya hingga bahkan tak sadar ketika pegawai rumah sakit menyodorkan surat izin untuk pengambilan tindakan hukum klinis berupa otopsi.
"Selamat siang, Ibu. Kita dari rumah sakit butuh izin untuk melakukan tindakan hukum klinis berupa otopsi pada jasad Bapak Wie. Tolong formulir ini diisi dan ditandatangani dengan materai, ya."
Clara masih diam tanpa meraih kertas yang dijulurkan padanya ketika Aldy dan isterinya keluar dari kamar mayat. " Itu surat otopsi Papa saya yang harus saya tanda tangani?"
"Iya, Pak. Benar."
"Kemarikan saya akan menandatanganinya." Aldy meraih lembaran formulir itu dengan cepat dari tangan pegawai rumah sakit. Kemudian menatap Clara sinis, "Kenapa kau tidak menerimanya? Takut polisi tahu bahwa Papaku bukan meninggal karena penyakitnya, tapi karena perbuatanmu? Merasa bersalah?"
Clara tersenyum sinis. Matanya menatap anak tirinya itu dengan tajam penuh amarah. "Aku tidak membunuh Papamu!" pekiknya, "Seribu kali pun kau memaksaku mengakuinya aku akan tetap mengatakan aku tidak membunuhnya! Papamu meninggal karena penyakit jantungnya! Dan ini..." Clara merampas formulir di tangan pegawai rumah sakit. Mengangkatnya di depan wajah Aldy Wie. "Aku tidak takut untuk menanda tangani seribu formulir seperti ini! Tidak akan ada bedanya! Dokter forensik pun tidak akan bisa mengatakan aku bersalah karena aku tidak bersalah!" Mendekatkan wajahnya ke wajah anak tirinya yang berusia beberapa tahun di atasnya, Clara berbisik sinis, "Kesalahanku hanyalah memenuhi hasrat Papamu kemarin malam hingga dia mengerang puas. Kejadian itu akan sangat memalukan jika ketahuan rekan-rekan bisnisnya dan rekan-rekan bisnismu. Sepertinya itu yang harus kau pikirkan."