Unperfect Marriage

Elisabet Erlias Purba
Chapter #81

#81. Menemukanmu

"Mas, kenapa kamu terus menghindari aku? Aku nyariin kamu selama ini..." Vanila memandang lekat-lekat wajah aktor yang berperan sebagai Surya yang kini menjadi lawan mainnya. Nabila telah menjadi asisten instruktur senam baru di gymnasium milik Mbak Cynthia dan tinggal di salah satu kamar yang ada di gymnasium. Melirik ke kiri dan ke kanan, Surya menarik tangan Nabila ( tokoh yang diperankan Vanila).

"Aku minta kamu jauhi aku. Aku dan Cynthia akan segera menikah."

"Maksudnya apa ini, Mas?" Nabila menahan tangan Surya yang hendak berlalu. "Bagaimana dengan kisah kita?" isaknya.

"Tidak terjadi apa pun diantara kita. Biarkan kenangan menjadi kenangan dan seperti aku yang telah melanjutkan hidupku kau juga lanjutkan lah dan aku harap Cynthia tidak perlu tahu hal ini maka aku janji kau masih bisa bekerja di sini." Nabila terhuyung. Lalu Surya beranjak, baru beberapa langkah Amara yang memerankan Cynthia muncul diantara keduanya. Cynthia mencium pipi Surya dan bicara:

"Kamu udah lama datang?"

"Baru saja. Oya, kamu sudah kenal Nabila? Dia. pegawai baruku."

"Tadi baru saja bicara."

"Mama, kita pulang yuk. Dinda udah ngantuk." Syuting itu terhenti seketika saat Dinda berlari ke sisi Vanila dan menarik-narik tangan mamanya itu.

"Cut!" pekik sutradara keras, "kenapa anak kecil itu bisa ada di sana?! Kenapa kalian tidak menjaganya?!"

"Maaf, Pak. Maaf." Vanila meminta maaf dan buru-buru menarik tangan putrinya itu menjauh dari angel camera. "Dinda, kamu tahu apa yang kamu lakukan barusan? Mama sedang bekerja, kamu nggak boleh seenaknya nyelonong. Lihat kan karena kamu scene-nya harus diulangi lagi dan itu membuat orang-orang lain akan lelah."

"Dinda mau pulang, Ma. Dinda mau pulang!" Dinda memekik keras, tanpa perduli permintaan sang mama agar dia menutup mulutnya, alhasil seluruh pemain dan tim pendukung sinetron Keteguhan Hati menatap Vanila dan Dinda.

"Vanila, tolong cepat tenangkan anak kamu, kita mulai lagi."

Vanila mengangguk. Kemudian menggendong Dinda sambil membujuknya, tapi Dinda masih tetap anak keras kepala. Bukannya tenang gadis kecil itu malah makin berkeras pulang. Vanila menurunkan Dinda dari gendongannya, wajahnya terlihat kehilangan kesabaran. " Diam, Dinda. Mama nggak suka kamu ngatur-ngatur Mama! Kamu bisa begitu sama Papa kamu, tidak sama Mama! Mama nggak mau main tangan sama kamu, tapi kalau kamu nggak juga berhenti nangis Mama bakal pukul kamu!" Ancam Vanila keras. "Mama harus kerja..."

"Mama nggak usah kerja biar Papa yang kerja!" pekik Dinda, "Selama ini juga Papa yang kerja. Dinda mau pulang sama Papa sama Oma, sama Opa..."

"Berhenti menyebut-nyebut Papa kamu! Kita nggak akan pulang ke rumah itu lagi!" Tepat diakhir Vanila mengatakan kalimat itu tangis Dinda berubah jadi histeria. Dia memanggil-manggil papanya dan tidak mau ditenangkan oleh Vanila. "Kamu pikir siapa yang menyebabkan kita begini?! Papa kamu! Berhenti memanggilnya, dia tidak akan datang. Kamu ingat apa yang dia lakukan? Kapan dia ada di rumah?! Kapan dia mau mengangkat telponnya buat kamu?! Karena dia nggak pernah sayang kamu..."

"Mama jahat! Papa nggak gitu! Papa sayang Dinda! Tadi pagi Papa tem..." Verzet membekap mulut adiknya itu lalu menggelengkan kepala. Kalau mama tahu papa mendatangi mereka ke sekolah, besok mungkin mereka tidak akan pernah bisa lagi bersekolah.

"Dinda jangan nangis, ya." Verzet menghapus air mata adiknya itu lalu memegang tangan Dinda, "Sebentar lagi pasti Mama selesai. Kita duduk di tempat kita tadi, yuk. Kakak punya game baru." Dengan masih terisak-isak Dinda menuruti kakaknya melangkah. Matanya menatap Vanila sendu. Mereka duduk di pojok rumah dan Verzet segera mengeluarkan ponselnya, memamerkan game fighting yang baru saja dia download.

"Kakak," suara Dinda pelan memanggil sang kakak yang asyik sendiri mengajarinya game baru itu, tapi jelas tak menarik bagi Dinda. "Mama bilang kita nggak akan pulang lagi ke rumah...itu artinya kita nggak akan bisa jumpa Oma, Opa dan Papa lagi kalau Papa nggak ke sekolahkan?"

Verzet menghentikan permainannya. Menatap luka di wajah adiknya itu. Dia harus bilang apa? Dinda tidak tahu papa selingkuh. Dinda bahkan tidak mengerti arti kata itu. "Nggak. Mama nggak maksud bilang begitu. Mama cuma lagi capek. Kita bakal pulang kok ke rumah lagi kalau Mama sama Papa baikan. Dinda mau bobok?" Verzet mengalihkan pembicaraan saat melihat adiknya menguap. Buru-buru dia meraih tas besar berisi pakaian ganti mereka dan selimut. Dia meraih selimut biru lalu duduk menselonjorkan kakinya untuk bisa digunakan sang adik sebagai bantalan. "Bobok di sini. Kakak bakal jagain Dinda." Dinda menurut.

"Kak," panggil Dinda lagi. Verzet mendehem. "Menurut Kakak apa luka Papa udah sembuh? Papa bakal ke sekolah besok kan? Dinda rindu Papa."

Lihat selengkapnya