Tom menguap lebar saat weker di sisi pembaringan berbunyi. Tom bangkit dari karpet yang mengalasi lantai kamar tidur -tempat dia tidur sejak Vanila memutuskan berpindah kamar ke lantai bawah. Setelah beberapa Minggu sempat merasakan kembali kenyamanan di kasur saat Vanila memaafkannya, sejak kepergian Vanila- Tom kembali tidur di karpet entah sampai kapan. Digulungnya karpet itu. Sementara bantal yang tergeletak di atas karpet dikembalikan ke atas kasur.
Bayangan Tom kembali ke kejadian kemarin malam. Saat dia melihat Andy Herline dan Vanila menggendong kedua buah hatinya dan Vanila dalam tawa bahagia. Sejenak Tom menatap foto pernikahannya dan Vanila yang tergantung di dinding kamar tidur mereka. Semua terasa samar dan tak pasti. Sekejap Tom juga ingat sosok laki-laki berpakaian hitam dan bermasker yang mengendap di samping rumah Vanila. Tom jelas tak tahu maksud makhluk itu. Ketika dia memergoki orang itu, pria itu berusaha keras melarikan diri dan dia berusaha keras menangkap orang itu. Namun gagal karena salah seorang tetangga Vanila yang sedang ronda melihat mereka dan kemudian mengejar mereka. Untuk sejenak dia bersyukur karena Andy ada bersama Vanila dan anak-anaknya. Bagaimana pun juga penjahat itu akan berpikir panjang jika menemukan laki-laki dewasa di rumah itu.
Ketukan pintu terdengar mengusik pagi Tom. Dia membukakan pintu kamar tidurnya. Menemukan mamanya di depan pintu. "Kamu me-non aktifkan telpon kamu?"
"Ada apa, Ma?"
"Sekertaris kamu datang. Dia ada di bawah. Katanya ada kabar penting." Kening Tom mengeryit sebelum mama berkata untuk kedua kali, Tom telah meluncur turun ke lantai bawah. Dia mencemaskan masalah yang mungkin terjadi pada salah satu proyek yang tengah mereka tangani, jangan katakan masalah itu terjadi di proyek Selat Sunda. Jangan katakan para arsitek dan pekerja mereka gagal meletakkan pondasi akibat arus kuat dari samudera Hindia. Dia sudah menghitung segalanya bersama para arsitek senior dengan bantuan data cuaca dari BMKG, dengan...
Tom tiba jauh lebih dahulu dari mamanya dan mendapati Axel yang baru diangkatnya empat hari yang lalu berada di ruang depan dengan gelisah.
"Axel, ada apa kamu kemari?" Tom bicara to the points.
"Saya sebenarnya sudah mencoba menghubungi Anda, Pak, tapi..."
"Iya, oke. Sepertinya ponsel saya kehabisan baterai dan saya lupa men-cas nya. Saya akan kasih kamu nomor lainnya yang bisa kamu hubungi. Jelaskan ada apa kamu datang pagi-pagi sekali kesini. Apa ada kabar... ada masalah dengan salah satu proyek...?"
Sang sekertaris itu menggeleng. "Tidak, Pak. Saya baru dapat kabar kalau Pak Wie meninggal dunia, Pak dan penguburannya akan dilakukan hari ini juga. Beliau meninggal di Amerika di rumah Putranya." Tom tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Seluruh managerial Clement Construction diharapkan segera berkumpul dan membantu mengatur upacara pemakaman Pak Wie."
Tom mengangguk. Mengusap wajahnya dengan perasaan bersalah saat mengingat bagaimana terkejutnya Pak Wie mendengar pengakuan tentang hubungan yang pernah ada diantara dia dan Clara. Seharusnya dia menyimpan rahasia itu dari Pak Wie yang mengidap penyakit jantung. Apakah karena kabar itu, Pak Wie harus diberangkatkan ke Amerika karena terkena serangan jantung? Tom menebak-nebak dan membuat dia merasa makin didera rasa bersalah. "Saya akan bersiap-siap." Tom berkata singkat sebelum melangkahkan kakinya secepatnya kembali ke lantai atas.
***
Masker terpasang di wajah Amara. Kaki jenjangnya melangkah menuruni anak tangga kediamannya sementara para asistennya nampak sibuk mempersiapkan segala keperluan syuting untuk hari ini termasuk makanan vegan buat Amara. Si manager berada di sisinya membacakan sederet kegiatan yang harus di jalani Amara hari ini.
"Jadi syuting hari ini pukul satu siang?"
" Ya, buat Anda. Pak sutradara menginzinkan Anda untuk datang agak siang karena scene kali ini lebih banyak tentang anak baru itu."
"Maksudmu pelakor itu?" Si manager mengangguk dan itu benar-benar mengagetkan Amara. "Ambil naskahku. Aku mau tahu berapa banyak scene yang diberikan padanya. Ini sudah lima hari dan dia muncul terus di setiap episode. Bahkan untuk tujuh episode ke depan yang telah disiapkan." Si manager buru-buru melangkah, tapi baru beberapa langkah Amara memanggilnya lagi. "Tanganmu."
"Aaa? Oh." Manager langsung mengulurkan tangannya saat melihat permukaan wajah Amara yang tertutup masker. Siapa pun di rumah ini tahu kebiasaan Amara yang satu ini- Amara membuat sampah dan orang lain yang harus membersihkannya. Amara meletakkan masker itu di telapak tangan sang manager sebelum membuka gaunnya hingga menyisakan bikini dan meloncat ke dalam kolam renang.
"Mbak Amara Mas Dodi ingin bertemu dengan Anda, sebenarnya saya sudah berusaha mengusirnya, tapi dia bersikeras," sang manager Amara memberitahu Amara yang nampak asyik berenang. Amara memberi isyarat mengizinkan orang yang dimaksud. "Katanya tentang informasi yang Anda ingin ketahui. Tapi saya rasa Anda sebaiknya tidak lagi bermain-main dengannya. Dia tidak baik..."
Amara segera bergegas menuju ke tepi kolam renang. "Bawa dia ke sini."
"Ke sini?" Amara mengangguk.
"Anda yakin?"