Unperfect Marriage

Elisabet Erlias Purba
Chapter #90

#90. Di Lokasi Syuting

Tom tiba di lokasi syuting saat jam telah menunjukkan pukul tujuh malam. Berpuluh kotak nasi box dia bawa dan telah dia minta salah satu kru sinema mengedarkannya kepada setiap orang di lokasi syuting. Baru saja masuk ke dalam rumah yang menjadi area intern syuting hari ini, mata Tom menangkap adegan seorang pria yang tengah keluar dari kamar dan melangkah menuju dapur.

Dia menemukan Vanila di sana, berhenti di sisi ambang pintu dapur- pemain pria itu memandangi punggung wanita cantik itu. Vanila nampak telah rapi dengan pakaian yang tertutup celemek untuk memasak.

"Kau sudah bangun, Sayang?" Vanila menyapa figur Surya dalam sinetron itu saat menemukan Surya berdiri memandanginya, bergegas Vanila menghampirinya, mengalungkan lengannya di leher Surya yang mencoba melepaskan tangan itu.

Dada Tom bergemuruh saat itu bak kawah gunung Merapi yang meletup-letupkan larva. Langkahnya tergesa menuju ke tempat Vanila berada.

Sejenak saat mengalungkan lengannya di leher Surya- Vanila bertanya-tanya apakah Tom dan Clara pernah berada dalam situasi seperti ini? Apa yang dilakukan Tom dan Clara saat itu? Berakhir bagaimana kejadian ini dalam versi Tom dan Clara? Segalanya berpendaran di benak Vanila. Mata Vanila menatap intens pada dua garis tipis bibir Dave yang merah semerah bibir Tom

"Apa yang terjadi kemarin?" Suara Dave membuat Vanila mengingat kembali naskah yang dia hafalkan dan mencoba fokus.

"Kau mabuk dan aku menemukanmu di jalan dan membawamu ke sini." Vanila berkata kemudian menurunkan kepalanya dan menghadiahi sebuah kecupan buat Surya.

"Cut!" suara sutradara terdengar. Vanila melepaskan pelukannya dari lawan mainnya: Dave tepat ketika Tom meraih lengan Vanila yang terlihat sedikit bingung, seharusnya adegan ini masih ada beberapa menit lagi dengan kedatangan Cynthia yang diperankan Amara. Amara akan menamparnya. "Kita lanjutkan bagian ini nanti setelah Amara datang!" Sutradara berkata pada semuanya termasuk pada pencatat adegan yang kemudian mengangguk.

Vanila masih menatap sosok yang muncul di hadapannya itu, yang tanpa ba-bi-bu seenaknya menariknya dari pelukan Dave. Bisa Vanila lihat wajah Tom memerah. Entah apa yang terjadi. Vanila menurunkan tangan Tom dari lengannya. Namun pria itu bahkan tidak mau melepaskan genggamannya.

"Oke. Kita break bentar! Good job, Vanila! Nanti tinggal pertahankan mimik wajah kamu yang penuh cinta dan memuja pada Surya! Oke? Kita langsung pada kedatangan Cynthia yang memergoki kalian berdua!" sang sutradara berteriak membuat Vanila menarik nafas lega dan tersenyum lebar pada sang sutradara. Dia tidak perlu mengulangi adegan itu lagi. Satu kali ciuman improvisasi sebagai seorang perebut kekasih orang. Di pipi, tapi tepat pada garis lurus bibir Dave...apa itu yang membuat wajah Tom memerah kesal? Tom berpikir dia mencium bibir Dave? Uhhh, biar saja Tom dengan prasangkanya, Vanila tak ingin mengklarifikasi apa pun.

"Ciuman yang manis," Dave yang melangkah melewati Vanila menyempatkan diri memuji wanita itu. Pria itu jelas belum melihat hasil di layar monitor sutradara, tapi jelas puas makanya memuji. Dengar-dengar dari kru sinema Dave bukan orang yang mudah mengeluarkan pujiannya.

Tapi pujian itu malah membuat Tom mendelik tajam. Dave memilih pergi dengan senyuman. "Apa yang kau pikirkan dengan melakukan adegan seperti itu?" Tom protes, ditanggapi santai oleh Vanila, "Jangan menjadi genit Vanila. Kalau kau ingin bergenit ria lakukan padaku."

"Bergenit ria?" Vanila mengulang kembali kalimat itu dengan suara sinis dan tatapan mata yang tajam. "Apa aku terlihat semurahan itu menurutmu?" Vanila menepiskan dengan kuat pegangan tangan Tom pada lengannya dengan emosi lalu melangkah.

"Maksudku..." Tom mengikuti langkah Vanila. "Maaf. Aku tahu kau melakukan itu sebagai tuntutan peran. Namun itu selalu membuatku berakhir pada cemburu, Vanila." Tom mencoba jujur pada hatinya, tapi Vanila bahkan tidak tampak perduli dan melangkah terus sementara Tom mengikut terus. "Kau tidak murahan. Kau jelas tidak murahan. Aku ingat menaklukkan hati itu dengan sangat sulit." Tom menatap serius.

"Vanila, nih." Seorang kru yang melintas menyerahkan nasi kotak yang dibawa Tom pada Vanila. Memaksa langkah Vanila terhenti. "Dari suami sendiri," ucapnya kemudian beralih menatap Tom dengan kagum lalu berkata, "seluruh wanita di tempat ini bermimpi menikah dengan lelaki seperti dia. Sukses dan jelas sangat mencintaimu. Kau beruntung sekali Vanila." Setelah mengatakan hal itu dia melangkah pergi.

Tom tersenyum. Senyuman yang membuat Vanila menyadari sedari dahulu begitulah cara semua orang memandangnya. Dia hanya seorang wanita beruntung karena seorang Tom Dwiguna yang sempurna menjadikannya seorang isteri. Vanila menghempaskan tubuhnya di kursinya, meletakkan nasi kotak bawaan Tom di meja begitu saja, tak ada niat membukanya untuk sekedar menilik isinya. Kemudian dia menyibukkan diri dengan ponselnya. Ada senyum terkulum di sudut bibir Vanila yang segera dapat ditangkap manik Tom.

"Aku belikan makanan kesukaan kamu," jelas Tom, "sebenarnya aku ingin datang tadi siang, tapi urusan di kantor polisi yang ribet membuat banyak waktu terbuang. Tadi aku sempat berpikir coba yang dilaporkan tentang pencurian aset perusahaan yakin mereka akan lebih antusias mengerjakannya, padahal cuma untuk prasyarat mengklaim asuransi nggak mungkin juga ketangkap. Pelayanan masih buruk." Nggak tahu mengapa Tom malah curhat tentang pengalamannya terdahulu ketika menjadi pimpinan proyek dan berhadapan dengan kehilangan barang-barang bangunan di area proyek. Biasanya Vanila akan menanggapi ceritanya: paling tidak berkata nggak usah diingat lagi, tapi kewaspadaan di area proyek harus ditingkatkan, tapi kini tidak. "Coba yang memimpin kepolisian sepertimu akan jauh lebih baik." Tom mencoba membuat Vanila berkesan.

Vanila memutar bola matanya. Jengah. Mengalihkan perhatian dari layar ponsel kepada Tom. "Maksudmu...kau melaporkan anak-anak itu?" Tom berpikir akhirnya ada yang menarik perhatian isterinya itu dari segala ucapannya.

"Iya."

"Aku sudah bilang kan nggak perlu." Namun bukan balasan seperti ini yang Tom harapkan.

"Mereka sudah kriminal, Vanila. Kau tahu tindakan kriminal harus berhadapan dengan hukum."

"Mereka hanya anak-anak, Tom." Vanila memperjelas ucapannya.

"Kau tidak tahu bahwa anak-anak sekarang bisa sangat mengerikan? Kemarin aku bahkan menonton berita anak-anak SMP tawuran bahkan memperkosa teman sendiri. Jika orang tua mereka tidak bisa mendidik mereka, masyarakat yang akan mendidik mereka dengan memberi mereka sanksi atas kelakuan mereka, akan mencegah mereka jatuh dalam kejahatan yang lebih besar-mungkin akan menjauhkan mereka dari kejahatan yang kukatakan tadi." Tom berkeras, walaupun melihat wajah bete Vanila. "Jika aku bisa aku sendiri yang akan menjagamu, tapi aku tidak bisa selalu ada di sisimu karena bekerja. Jadi kepolisian akan menjagamu. Aku sudah meminta rekaman CCTV resto pada manager restoran juga menyerahkan rekaman CCTV mobilku pada kepolisian. Mereka akan menangkap orang itu sesegera mungkin. Nggak mungkinkan kamu berharap Andy Herline yang akan menjagamu?" canda Tom membuat Vanila makin bete. Tom selalu mengambil keputusan tanpa menanyainya. Memutuskan apa yang terbaik padanya bahkan di saat hubungan mereka tidak baik, menguasainya dan mendiktenya.

Lihat selengkapnya