Vanila membuka pintu mobil Andy dengan tak sabar saat melihat sebuah mobil sedan mungil berwarna putih susu terparkir di hadapannya, bukan mobilnya atau pun mobil Tom. Namun melihat pintu rumah yang terbuka jelas Tom dan anak-anaknya ada di dalam rumah. Vanila berlari dengan tergesa memasuki rumah.
Netra Vanila dapat melihat bagaimana anak-anaknya yang baru saja mandi berlari mengejar Tom. Tom tampak tertawa bahagia- sebenarnya Dinda dan Verzet juga, tapi Vanila lebih terarah melihat tawa Tom yang lebar. Santai, bahagia dan bebas bahkan tanpa beban setelah semua kehancuran yang Tom sebabkan di hidupnya. Betapa Vanila benci itu.
"Beraninya kau membawa anak-anak... " Vanila memeluk putra dan putrinya dengan erat, memberi mereka jarak dari Tom. Begitu erat hingga bahkan dada Verzet dan Dinda terasa sesak. Bahkan kalau bukan karena peringatan Dinda- Vanila tidak akan melepaskan pelukan itu.
Dia melonggarkan pelukannya, tapi tak melepaskan mereka dari tangannya dan kemudian mendengar suara Dinda yang terdengar riang. "Mama udah pulang? Mama nggak kerja?"
"Mama mencemaskan kalian, bagaimana bisa kalian tidak mengangkat telpon Mama! Mama hampir mati memikirkan kalian."
"Ponselnya lagi dicas, Ma. Semua bateri handphone lagi mati, aku lupa nge- cas ponsel tadi malam." Verzet menunjuk ke atas meja di bawah televisi. Vanila melirik sejenak. Ada tiga ponsel di sana. Satu milik Verzet dan dua lagi pasti milik Tom.
"Dinda tadi minta main game di hape aku," Tom memberi alasan tanpa sempat ditanya Vanila- dan memang Vanila tidak berniat menanyakannya juga.
"Papa tadi bawa Dinda sama Kakak ke sa..."
"Kita jalan-jalan, Ma," Verzet memotong lebih cepat sebelum sang adik keceplosan dan berkata bahwa mereka berada di tempat latihan bela diri. "Coba Mama ikutan pasti makin seru."
"Memang Mama nggak apa-apa kalau ikut?" Dinda yang polos berceletuk. Kadang dia masih harus diingatkan jika sesuatu itu masih rahasia sampai hari ini. Namun untungnya Vanila juga tak tertarik untuk tahu kemana ketiganya pergi. Menanyakan hal itu pikir Vanila malah akan membuat Tom jadi ge-er seakan Vanila perduli dan ingin ikutan. Oh, tidak. Vanila masih punya harga diri sekedar untuk menunjukkan bahwa dia marah dan kesal karena Tom berani-beraninya membawa putra dan putrinya pergi tanpa izinnya, walaupun jika Tom minta izin pun dia jelas tidak akan mengizinkan.
"Sana main sama Om Andy dulu. Mama mau bicara sama Papa." Tom bisa melihat Vanila menatap Andy yang berdiri beberapa langkah sedikit di belakang tubuh Vanila. Andy. Tentu saja, dimana ada isterinya itu- Andy tentu ada, bagaimana bisa dia tak memperhatikan kehadiran makhluk itu di sini, gumam hati Tom.
"Tapi Mama nggak bakal bertengkar sama Papa kan?" Suara Dinda yang lembut terdengar manja. Vanila memilih diam. Bukan berarti dia ingin bertengkar. Dia tidak ingin bertengkar, tapi kapan pembicaraannya dan Tom tidak berakhir dengan pertengkaran? Dia nyaris lupa, yang pasti setiap mencoba bicara mereka akan berakhir dengan bertengkar.
Tom lah yang kemudian mengambil alih menjawab pertanyaan Dinda. Dia membungkuk di depan putrinya itu yang nota bene di sisi Vanila. "Papa sama Mama nggak akan bertengkar. Kalau Mama marah, Papa janji deh nggak akan ikutan marah. Kan laki-laki nggak boleh bertengkar sama perempuan." Dinda tertawa.Tom melirik sebentar pada Andy yang makin merapat ke sisi isterinya, "Jadi nanti kalau Mama marah-marah Papa apain, ya biar diam? Papa bakal cium aja." Dinda terkekeh apalagi Tom mendusel pipinya yang tembem.
"Andy, tolong." Vanila menarik tangan Dinda dan menyerahkan gadis kecilnya pada Andy yang juga segera mengajak Verzet. Tom menarik sudut bibirnya dan mengangguk saat anak-anaknya pamit bermain bersama Andy.
Tak butuh waktu lama suara Vanila terdengar membuka pembicaraan yang di awal telah dimulai dengan intonasi meninggi dari mulut Vanila. " Siapa yang memberimu izin membawa anak-anak dari sekolah?!"
"Aku tidak akan pernah mengambil mereka darimu, Van. Kau tidak perlu secemas itu."
"Apa kau pikir aku ini bodoh? Kau, mamamu, keluargamu jelas akan merebut mereka dariku. Telingaku masih cukup baik untuk bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Mamamu padamu malam itu."
"Ibu, Van...Kamu memanggil beliau 'Ibu'." Vanila tidak berkata apa-apa. Tom menghela nafasnya. "Berapa kali aku harus mengatakannya? Aku tidak akan pernah merebut mereka darimu. Aku tahu anak-anak membutuhkanmu jauh lebih daripada membutuhkanku. Namun aku juga merindukan mereka."
"Rindu? Kau baru merindukan mereka sekarang? Bagaimana dengan dulu? Apa kau pernah merindukan kami?" Vanila memberikan tatapan kesal. "Aku bahkan berpikir kau tidak pernah menganggap kami ada. Pergi saja bersama sekertarismu yang cantik itu...siapa namanya..? Cla..." Vanila belum sempat menyelesaikan ucapannya ketika tangan Tom menarik tubuhnya dan cup. Sebuah kecupan menyinggahi bibir Vanila. Tangan Vanila bergegas memukul dada Tom seakan isyarat untuk melepaskan diri. Tom mengizinkannya. Melepaskan Vanila begitu saja di saat Vanila masih melongo tak mengerti.
"Aku sudah bilangkan kalau kamu marah-marah aku bakal cium kamu. Jadi kalau kamu mau kucium lagi, marah aja lagi."
Plak! Plak! Vanila menampar pipi Tom dengan keras. Dua kali. Tangannya juga terasa sakit. Tom membisu. Sejenak telapak tangannya menyusuri jejak telapak tangan Vanila di pipinya. "Ini sakit tau, Van. Masih terbuat dari daging dan tulang bukan besi dan baja." Tom mencoba bercanda diantara dua lipat rasa sakit yang dia rasakan: di hati dan pipinya, tapi malah membuat Vanila makin kesal.
"Nggak lucu. Stop bertingkah kekanak- kanakan, Tom!"