Vanila membeku, memandangi kepergian Tom hingga hilang dari depan rumah. Tanpa amarah, bahkan tanpa nada suara yang meninggi- itu mengganggu Vanila. Menepiskan segala pemikirannya, Vanila menyadari kalau Andy tidak datang bersama kedua anaknya: Verzet dan Dinda. "Andy, dimana Verzet dan Dinda?" Vanila bertanya cemas.
"Ohh, Mereka tadi..." Andy melirik ke kanan dan ke kiri dengan bingung. Sejujurnya dia bahkan lupa mengawasi keberadaan Verzet dan Dinda karena berusaha mengintip apa yang dibicarakan Tom dan Vanila dan... karena dia tidak ingin Tom mencuri kesempatan melakukan apa yang pria itu katakan tadi di depan mereka pada Dinda saat gadis kecil itu meminta papa dan mamanya tidak bertengkar lagi. Semua gara-gara Tom yang menjanjikan: akan mencium Vanila jika mereka bertengkar.
"Dimana mereka, Andy???"
"Mereka masih bermain di luar tadi..."
"Apa? Kau meninggalkan mereka bermain di luaran sana. Kau jelas tahu banyak kendaraan bermotor hilir mudik di luar sana." Vanila bergegas membalikkan tubuhnya. Baru akan pergi ketika Verzet dan Dinda muncul di dari ambang pintu. Mereka berlari dengan antusias memanggil Tom. Ada yang mereka rencanakan nanti malam dengan Tom.
"Papa tidur sama Kakak..."
"Sama Adek..."
"Kita tanya Papa. Pasti Papa mau di kamar kakak."
Vanila bisa mendengar pertengkaran kecil yang keluar dari mulut kedua anaknya itu. Namun langkah keduanya terhenti saat hanya menemukan sang mama dan Om Andy.
"Papa dimana Ma?" suara Verzet terdengar menanyakan papanya.
"Pa! Papa!" suara Dinda lebih kencang memanggil si papa. Dia bahkan telah berlari menuju ke dapur dan kamar mandi tanpa menunggu jawaban Vanila. Kemudian kekecewaan tergambar di wajahnya. "Papa nggak ada..."
"Papa udah pergi," Vanila memberitahu anak-anaknya.
"Mama bertengkar lagi sama Papa?" Kali ini Verzet menebak.
"Ngg..."
"Kenapa sih Mama marahan terus sama Papa?" Verzet memekik, "Mama kan yang bilang kalau kita bertengkar sama seseorang dan orang itu sudah minta maaf- kita harus memaafkannya. Papa udah minta maaf sama Mama, kenapa Mama nggak maafin Papa?"
"Sayang..." Vanila baru akan membelai rambut putranya itu ketika Verzet berteriak kencang padanya:
"Mama pembohong!" kemudian putranya itu beranjak pergi dengan menarik tangan adiknya. Vanila menghela nafasnya menatap tingkah kedua buah hatinya.
Vanila masih memandangi kedua buah hatinya ketika sebuah usapan lembut terasa di punggungnya. Mengalihkan tatapannya, Vanila bisa melihat Andy berdiri di sampingnya. Menatap matanya dengan lembut. Perlahan Andy memutar tubuh Vanila untuk menghadapnya. "Anak-anak akan baik-baik saja. Jangan terlalu mengkhawatirkan mereka. Mereka hanya akan kesal sebentar lalu menyadari bahwa kamu adalah ibu yang terbaik, jauh lebih baik dari Papa mereka," bisik Andy lembut di sisi telinga Vanila tepat ketika dia melihat Tom kembali ke rumah dari kejauhan. Entah untuk apa. Namun sungguh demi apa pun juga dia tidak ingin Tom merebut kembali hati Vanila.
"Tidak. Bukan seperti itu harusnya, Andy. Seberapa pun besarnya permasalahan diantara aku dan Tom- aku harus objektif menilai hubungan Tom dan anak-anak. Dia selalu menjadi Papa terbaik buat anak-anak kami."
Uhhh, Andy menghempaskan nafasnya kasar: selalu... Bagaimana bisa setelah merasakan sakit hati sedemikian rupa, Vanila masih membela makhluk itu? Kini bahkan menceritakan bagaimana lekatnya hubungan papa dan anak antara Tom dan anak-anak mereka. Vanila masih bercerita dan dengan ekor matanya Andy bisa melihat langkah Tom yang makin mendekat.
"Apa itu?"
"Hah?"
Andy membungkukkan wajahnya mendekat ke wajah Vanila. Kedekatan itu membuat tubuh Vanila kaku seketika.
"Apa ada yang salah di wajahku?"
"Tunggu sebentar." Vanila berusaha tidak bernafas saat wajah Andy makin dekat.
***
Tom sudah melaju cukup jauh dari rumah kontrakan Vanila ketika dia teringat seharusnya dia mengembalikan ponsel Vanila dan menyerahkan kartu debit tabungan Vanila. Ya, itulah yang ingin dia lakukan tadi hingga menunggu Vanila di rumah kontrakannya. Besok awal bulan, Vanila harus membayar banyak tagihan mulai dari uang sekolah Verzet dan Dinda, uang les Verzet, uang ekstrakurikuler, belanja bulanan, pembayaran listrik, telpon, uang sampah, uang air, asuransi kesehatan, pendidikan dan segala macam. Vanila jelas membutuhkan uang yang cukup banyak dan Tom tidak ingin Vanila bergantung terus pada Andy Herline. Dia masih suami Vanila dan selamanya papa Verzet dan Dinda, dia berkewajiban memenuhi seluruh kebutuhan mereka.
Turun dari dalam mobilnya, Tom melangkah kembali ke dalam rumah. Namun langkahnya terhenti saat melihat Vanila dan Andy berdiri dalam jarak yang cukup dekat, terlihat begitu intim. Jantung Tom berdetak kencang melebihi laju rollercoaster tercepat di dunia. Vanila membelakanginya dan Andy...pria itu menurunkan wajahnya pada wajah Vanila. Mereka dalam posisi berciuman.
Tom menatap lekat gestur tubuh Vanila, tidak ada reaksi penolakan dari Vanila dengan keintiman itu. Vanila bahkan terkekeh. Tom menghela nafasnya seakan menepis segala pikiran buruk yang hendak memasuki labirin otaknya bahwa Vanila dan Andy berciuman, bahwa Vanila mencintai Andy, bahwa....
"Om Andy nggak boleh cium Mama!" pekikan Dinda dan Verzet membuat Vanila buru-buru mendorong tubuh Andy dari hadapannya. Manik matanya menemukan raut wajah kedua anaknya yang kini memplototinya dan Andy bergantian bahkan dengan tangan di pinggang. "Yang boleh cium bibir Mama itu cuma Papa karena Papa udah nikah sama Mama." Dinda mengingatkan sang mama akan pelajaran yang pernah diberikan Tom pada putrinya itu di kamar tidurnya dan Tom.