Unperfect Marriage

Elisabet Erlias Purba
Chapter #105

#105. Akhir Dari Cinta Pertama Clara

Part untuk dewasa.

Dalam part ini ada beberapa adegan keras, namun bagian tak terpisahkan dari karakter tokoh Clara. Tidak untuk ditiru.

_______________________

Lima ratus dua. Clara menghitung apel yang dia belah dan menepiskan ke sisi kanannya. Tempat sampah sudah penuh oleh potongan apel, meja kamarnya juga sama dipenuhi oleh potongan apel yang tak dia makan. Clara bahkan tidak keluar dari kamar itu hingga dari jendela kamarnya dia menyadari matahari sudah kembali ke peraduannya, malam telah datang kembali.

Sedari kemarin malam, sejak memergoki Leonardo dan wanita bernama Miranda itu- dia tidak bisa memejamkan matanya. Dia hanya keluar dari dalam kamar tadi pagi. Hanya untuk membeli apel dan menambah waktu chek in hotel. Niat awalnya dia hanya ingin beristirahat sebentar setelah mengalami kejadian memilukan itu dan kabur ke Paris. Namun niatnya berubah. Dia masuk kembali ke kamar dan hanya melakukan satu hal ini: membelah apel dan memisahkan biji buah itu. Tidak ada yang lain. Kini saat melangkah dari kursi dan menatap sejenak dirinya di cermin, Clara menemukan lengkungan hitam di bawah matanya, tapi Clara tidak perduli. Dia melangkah membawa segenggam biji apel di tangannya menuju ke dapur hotel. Seharian dia mengerjakan tugas ini.

Dapur itu kosong. Orang-orang dapur mungkin beristirahat setelah selesai mengerjakan tugas mereka untuk mempersiapkan makan malam bagi tamu hotel yang memesan. Clara memanfaatkan kesempatan itu untuk memblender biji-biji apel yang dia bawa. Tak lama setelah blender berbunyi dan suara bising tercipta, biji itu telah halus. Clara buru-buru membereskan semuanya.

Koneksi membuatnya mengetahui dimana nara sumbernya akan dia temukan. Nona Joule? Clara jijik mendengar panggilan mesra yang diberikan Leo pada wanita itu. Miranda Kerr Clakson isteri Bill Clakson wakil gubernur new York. Dia sudah membungkam lama mulutnya untuk kisah menjijikkan wanita itu dan Leonardo dan kali ini dia tidak akan membiarkan wanita itu dan Leonardo terus menertawainya. Waktu tertawa sudah habis, geramnya.

Clara telah mandi dengan wangi. Los Angeles- dia akan meninggalkan tempat ini setelah kedua makhluk menjijikkan itu menerima pembalasannya. Dengan menumpangi taksi yang ada di depan hotel, dia tiba di hotel mewah Hilton.

Clara bergegas menuju ke kamar Miranda Kerr Clakson, mengetuk pintu kamar itu. Miranda Kerr baru saja kembali dari acara penggalangan dana dan segera menelpon layanan kamar untuk meminta agar makan malamnya dibawa ke kamarnya. Dia baru saja bersiap menelpon sang kekasihnya untuk memastikan kapan Leo memiliki waktu senggang dan mereka bisa bertemu kembali untuk sekedar bercengkrama atau berbagi ciuman- ketika ketukan di pintu kamarnya terdengar.

"Tumben. Cepet juga." Miranda Kerr melompat dari tempat tidurnya lalu melangkah ke pintu kamar. Tanpa berpikir panjang, dia membuka pintu kamarnya. Namun segera kaget saat menemukan sosok yang berdiri anggun di hadapannya. "Kau? Bukannya kau ada di... Bagaimana bisa kau kemari?"

"Dengan pesawat,mana mungkin saya bisa terbang. Saya belum punya sayap dan Anda jelas tahu alasan saya kemari, Ibu Miranda Kerr Clakson yang terhormat."

"Aku tidak ada urusan untuk bicara denganmu." Miranda bergerak menutup pintu kamar, tapi tangan Clara buru-buru menahannya.

"Kita harus bicara tentang Leonardo."

"Aku tidak punya hubungan apa pun dengannya."

"Serius?" Clara terkekeh. "Aku rasa kalian sangat akrab. Aku melihat apa yang kalian lakukan kemarin di galeri." Clara bisa menemukan kekagetan di wajah wanita yang ada di hadapannya itu. "Bayangkan jika Pak Bill Clakson tahu apa yang kalian lakukan semalam." Wajah Miranda menegang. "Ayo, bicara. Kita harus bicara bertiga."

"Baiklah. Tapi aku belum mandi, kau bisa..." Clara mendorong daun pintu hingga terbuka lebih lebar lagi membuat Miranda memekik protes: "Aku tidak mengizinkanmu masuk ke..." Clara tidak perduli. Dia masuk. Menanarkan matanya ke seluruh penjuru kamar presiden suit itu.

"Aku akan menunggumu mandi di dalam kamarmu." Clara menghempaskan diri di kursi. "Segeralah mandi." Miranda menatap Clara dengan sinis. Kemudian meraih ponselnya dan melangkah memasuki kamar mandi. "Apa kau harus membawa ponselmu saat mandi?" Miranda tidak menjawab. Saat Miranda di kamar mandi sambil mencoba menelpon Leonardo, Clara mengamati seluruh isi kamar.

Saat asyik memperhatikan isi kamar tidur Miranda, suara ketukan terdengar di pintu. Clara mengintip sebentar dari balik kaca mungil yang ada di daun pintu. Seorang pria dengan pakaian seragam hotel, membawa sebuah baki berisi sarapan pagi. Clara membukanya dan segera mempersilahkan pegawai hotel itu membawa masuk sarapan pagi Miranda.

"Permisi, Bu. Selamat menikmati." Clara mengangguk lalu meraih tasnya dan menyelipkan sepuluh dollar ke tangan pria itu. Pria itu tersenyum lalu berlalu.

Sejenak Clara mengamati menu yang terhidang di hadapannya kemudian perlahan membuka penutup makanan itu. Sandwich. Clara menutupnya lagi lalu menatap cangkir di sisi piring sandwich. Cangkir itu berisi kopi hitam. Clara beralih ke tasnya dan perlahan meraih sebuah bungkusan mungil dari kertas lalu memasukkannya ke dalam kopi. Dia memastikan bubuk itu tercampur sempurna dengan mengocoknya lalu melap sendok yang dia gunakan dengan tisu yang berasal dari tasnya dan meletakkan sendok itu sesuai posisi sebelum digunakan. Tak ada yang mencurigakan.

Setelah selesai, Clara memilih duduk di kursi yang dia duduki. Dia akan menunggu Miranda selesai mandi, sambil menunggu dia memilih meraih ponselnya dan mulai membaca email yang masuk. Menenangkan diri untuk rencana besar.

Miranda selesai mandi, wajahnya terlihat segar tapi tetap kusut. Entah dimana Leonardo. Pria itu tidak bisa dihubungi biasanya sesibuk apa pun pria itu akan mengangkat telpon darinya. Khusus panggilan untuknya Leonardo bahkan membuat nada spesial hingga Leonardo tahu siapa yang menelpon tanpa harus melihat layar ponsel. "Kau nampak kusut. Apa Leo tidak bisa dihubungi?" Clara menyapa Miranda. Clara terkekeh kecil, "Dia selalu menjadi beruang kutub setelah dipuaskan. Mungkin tengah melakukannya dengan wanita lain." Clara terkekeh. "Itu kebiasaanya. Seharusnya kau tahu itukan?"

"Kenapa aku harus tahu?" Miranda menegak kopinya di bawah tatapan mata Clara yang tersenyum diam-diam melihat wajah gusar Miranda akibat ucapannya.

"Ayolah, Miranda. Berhenti berpura-pura, paling tidak- tidak di hadapanku. Aku mengenalmu." Clara mengibaskan tangannya. Miranda menatapnya tajam. Kemudian berjalan ke hadapan Clara.

"Beritahu aku berapa lagi yang kau mau untuk menutup rapat mulutmu itu."

Lihat selengkapnya