Dinda dan Verzet melangkah kaku saat Andy melambaikan tangan dari arah gerbang sekolah Dinda.
"Hai, Dinda- Verzet kali ini yang jemput kalian Om. Mama nunggu di rumah dan Om yakin Mama bakal masak yang enak-enak." Andy menjawab sembari berusaha membantu membawakan tas ransel Dinda yang nampak kaku begitu juga Verzet. Andy menyentuh punggung Dinda agar anak itu segera naik ke dalam mobilnya.
Tanpa bicara gadis kecil yang kini berkucir satu itu masuk ke dalam mobil diikuti Verzet dan Andy segera melajukan mobil menyusuri jalan raya.
"Kalian mau makan sesuatu?" Andy mencoba lebih mengakrabkan diri pada dua anak yang dia harapkan akan jadi anak sambungnya itu. "Spaghetti bolognese? Gimana?" Dinda tergiur, tapi sang kakak segera menolak.
"Nggak usah, Om lagian Mama juga udah masak di rumah," Verzet berkata.
"Apa anak nakal itu masih suka menggodamu, Dinda?" Andy bertanya lagi membuat mata bundar gadis kecil itu mantap Andy dengan serius, "Mama yang cerita sama Om." Dinda menggeleng.
"Dinda sama Roby udah baikan. Kan kata Mama kalau orang minta maaf harus dimaafin. Nggak boleh nyimpan dendam."
"Iya. Iya. Itu bagus. Tapi kalau kapan-kapan dia ganggu kamu lagi kamu bisa bilang ke Om dan Om bakal belain kamu, ya."
"Bilang ke Kakak aja. Nanti Kakak bakal hajar dia," Verzet memotong sebelum Dinda memberi jawaban. "Kamu dengar Kakak kan, Dek?" Dinda mengangguk sambil memutar wajah menatap kakaknya yang ada di jok belakang.
Andy mencoba untuk tidak putus asa mengajak keduanya bicara walaupun hanya dijawab anggukan ataupun gelengan kepala oleh kedua anak Vanila itu.
"Apa Om dan Mama akan menikah?" Bukan hanya Andy tapi juga Verzet terbatuk-batuk mendengar pertanyaan tak terduga yang meluncur dari bibir adiknya itu. Andy tahu pembicara ini tidak akan singkat. Dinda gadis kecil yang pintar dan ada Verzet anak kelas tiga SD itu juga terbilang berotak encer. Andy menepikan kendaraannya. Mereka butuh bicara dari hati ke hati. Andy rasa sudah saatnya bagi anak-anak itu tahu kemelut rumah tangga papa dan mamanya, juga bahwa dia akan melindungi mereka.
"Kenapa Dinda nanya gitu?" Andy bertanya lembut.
"Mama teman-teman Dinda bilang Mama bakal nikah sama Om," Dinda berkata polos banget, tapi matanya jelas berkaca-kaca.
Andy ternganga. Namun setelah diam sejenak dia menjawab. "Iya. Om cinta sama Mama kalian. Om janji akan jadi Papa yang baik buat Verzet dan Dinda. Om nggak akan pernah nyakitin Mama ataupun kalian. Om janji." Andy bicara lembut selembut mungkin.
Ekspresi shock jelas tergambar di wajah Verzet dan Dinda atas jawaban Andy. "Terus Papa gimana?" suara Verzet terdengar keras tapi bergetar.
"Papa udah nyakitin Mama."
"Papa sama Mama cuma marahan bentar!" Verzet meninggikan suaranya.
"Kalian nggak boleh egois. Mama kalian terus menangis tiap kali jumpa sama Papa. Ini jelas bukan pertengkaran sebentar, kalian tahu itu. Mama kalian sampai membawa kalian pergi dari rumah..."
"Tolong, Om jangan gitu. Dinda suka sama Om. Dinda sayang sama Om, tapi Dinda nggak mau Papa baru. Dinda mau Papa Dinda saja." Air mata Dinda jatuh berderai, air mata Verzet juga. Andy menyugar rambutnya.
"Please, Dinda jangan nangis. Om bakal jadi Papa yang..." ucapan Andy terhenti saat Verzet membuka pintu belakang mobil dan turun. " Verzet kamu mau kemana?" Buru-buru Andy turun juga dan berusaha menahan Verzet yang segera membuka pintu depan dan menarik adiknya turun. Dinda menurut dan Verzet segera membawanya menyeberang jalan dengan cepat diantara seliweran mobil-mobil yang melintas. Darah Andy terkesima saat sebuah mobil meluncur kencang ke arah Verzet dan Dinda. "Verzet, Dinda awas!" pekikan keras Andy hilang dibawa angin. Kedua anak itu tetap saja berlari menyeberangi jalanan. Buru-buru Andy meraih ponselnya, dia harus memberitahu Vanila atas kejadian ini.
"Kita mau kemana, Kak?" Dinda bertanya setelah mereka mencapai sebuah bus kota dan berdesakan di dalam bus itu. Ini pengalaman pertama Dinda dan Verzet naik angkutan umum, tapi berhubung mama tidak sering memberinya uang jajan dia tidak punya cukup uang di saku untuk naik taksi. Jika di pikir-pikir bahkan dari dia kecil mama tidak pernah memberinya uang saku hanya papa. Setelah berpisah rumah dari papa dan sejak mama main sinetron dan sulit menyediakan bekal buatnya dan Dinda barulah mama memberikan uang saku. "Kakak, kita mau kemana. Dinda takut sama orang itu." Dinda mengguncang lengan sang kakak saat seorang pria tinggi besar dengan perut buncit, hitam dan berambut panjang memplototinya. Verzet melirik pria itu yang balas memplototinya lalu menggeser posisinya untuk melindungi sang adik. Mereka berdiri berdesakan di bis kota. " Kita ke kantor Papa. Papa pasti di kantor siang hari begini. Terus kita minta Papa baikan sama Mama." Dinda mengangguk.
***
"Hei, anak kecil!" suara teriakan satpam terdengar dari belakang tubuh Verzet dan Dinda. Menoleh ke belakang kedua anak itu bisa melihat dua satpam kantor sang papa berlari ke arah mereka, tepat ketika lift membuka. Malas berurusan dengan satpam kedua anak itu memilih masuk ke dalam lift. Berdesakan bersama karyawan Clement Construction.
Verzet dan Dinda tiba di kantor Tom setelah berjalan cukup jauh dari halte bis. Mereka memasuki gedung Clement Construction bersamaan dengan rombongan para karyawan yang baru selesai makan siang.
"Adek-adek, kalian mau kemana?" salah seorang karyawan wanita yang berdiri di samping Verzet dan Dinda bertanya kepada keduanya. Tom tidak sering membawa anak-anaknya ke kantor, ada beberapa kali. Namun mungkin beberapa karyawan tidak mengenal mereka.