Vanila, Verzet dan Dinda baru memasuki rumah kontrakan Vanila kembali ketika suara Verzet terdengar bak mengultimatumnya: "Verzet sama Dinda nggak mau Papa baru."
"Apa maksud kamu, Sayang?" Vanila menahan gerak putranya itu.
"Mama tahu maksud Verzet. Semua ada di sini, Ma." Verzet mengacungkan ponselnya, "Semua orang tahu, kenapa Mama pikir Verzet dan Dinda nggak tahu?"
Vanila menghela nafas saat kedua anaknya memilih segera memasuki kamar tidur dan tak mau mendengarkan ucapannya. Tak juga berniat makan dengan alasan mereka sudah makan di rumah Tom tadi.
Vanila mengusap wajahnya dan Andy beranjak mendekatinya. Vanila sedikit kaget saat merasakan tangan Andy memijit pundaknya. "Jangan mikir yang berat-berat."
Vanila menurunkan tangan Andy dengan halus. Sejujurnya dia enggan tangan itu memijatnya. "Aku nggak perduli pikiran orang lain tentang aku, tapi ini Verzet dan Dinda..."
"Aku janji aku akan membereskan kesalah pahaman ini dan membuat semua orang memahami betapa baiknya kamu." Vanila menatap wajah Andy, "Ini hanya kesalah pahaman. Saat mereka tahu betapa baiknya kamu, betapa sempurnanya kamu sebagai seorang isteri. Mereka pasti akan memujamu."
"Terima kasih, Andy. Terima kasih karena tetap berada di pihakku. Kau teman yang sangat baik." Andy mencoba tersenyum atas ucapan itu walau hatinya pedih. Vanila jelas belum membuka hatinya penuh buat dirinya dan anak-anak Vanila... bocah-bocah itu jelas menunjukkan penolakan terhadap niatannya menjadi papa mereka. Uhh, jalannya jelas berliku untuk bisa mendapatkan Vanila, tapi Andy tidak berniat menyerah. Menyerah tidak ada dalam kamus hidup seorang Andy Herline. Lagi pula dia tidak punya saingan berat saat ini selain kenangan Tom yang menyisakan sedikit trauma di hati Vanila- hanya itu, pikir Andy. "Kamu sudah makan?" suara lembut Vanila menyadarkan Andy seketika. Dia menggeleng. "Aku akan buatkan." Vanila bergegas meraih piring di rak piring mungil di sisi kompor gas dua tungku miliknya. Kemudian menyendok nasi dari rice cooker buat Andy, kemudian memenuhi piring itu dengan lauk pauk yang dia masak lalu meletakkannya di hadapan Andy yang telah duduk di depan meja makan. "Silahkan dimakan."
"Terima kasih, Van." Andy menatap Vanila dengan mesra.
"Ini air minumnya." Vanila meletakkan sebuah gelas kaca berisi air hangat di sisi piring Andy, duduk di kursi lain yang ada di hadapan Andy dan menyadari bagaimana pria itu menatapnya tanpa putus.
Akan beginilah jika dia menjadi suami Vanila? gumam batin Andy, Vanila akan menyiapkan makanan buatnya selepas dia pulang syuting, duduk menemaninya menyantap makanan itu lalu mereka akan melewatkan waktu mencuci piring bersama dan dia akan menggunakan kesempatan itu diantara tangan mereka yang bermain buih sabun cuci piring untuk mengecup bibir wanita itu- mengucapkan rasa terima kasihnya. Memori di labirin otak Andy segera membawanya pada kenangan bibir Vanila: bibir Vanila manis dan lembut seperti gula kapas dan saat Vanila meringsek mengecupnya dengan keadaan lebih menuntut seperti ketika di arena syuting Gigolo: wanita itu terlihat begitu seksi dan panas. Andy merasakan sekujur tubuhnya bergejolak minta dipuaskan hanya dengan membayangkan permainan bibir Vanila.
"Andy, aku harus menemui anak-anak. Habiskan saja makanannya." Suara Vanila yang tegas terdengar membuyarkan lamunan kotor Andy, jelas Vanila tahu Andy menatap bibirnya dan yang dia cemaskan adalah dia tidak tahu apa yang ada di benak pria itu. Hal yang membuat dia merasa lebih baik segera menghilang dari hadapan Andy. Lagi pula dia harus membujuk putra dan putrinya.
***
Tom dan kedua orang tuanya sedang duduk makan malam di sebuah restoran ketika sebuah tepukan terasa di bahunya. Rowen muncul dari belakang punggungnya dan segera menyapa ayah dan ibu Tom. "Malam, Tante-Om." sapa Rowen sambil menganggukkan kepalanya sopan pada Papa dan mama Tom.
"Rowen, sama siapa di sini?"
"Sama Yunita, Tan dan keluarga dia. Tuh." Rowen menunjuk pada meja panjang berisi dua belas orang yang tengah tergelak keras. "Tante Yunita lagi ultah jadi ngundang makan. Pas mau ke toilet eh lihat Tom di sini. Baru datang, Om- Tan?" Rowen berbasa basi sambil menarik kursi untuk duduk di sisi Tom.
Mama Tom tertawa pelan. "Keluarga Yunita, ya keluarga kamu juga. Ngomongnya kok gitu. Kalian itu dua yang telah menjadi satu. Nggak ada konsep keluarga dia..., keluarga aku- yang ada keluarga kita."
"Hehehe..." Rowen menggaruk kepalanya keki atas omongan mama Tom. " Ehhh, iya, Tan. Cuma asal aja tadi. Nggak bermaksud membeda-bedakan keluarga kok, Tan."
"Bagus deh kalau begitu. Jangan kasih celah buat hal-hal yang malah bisa jadi masalah besar buat rumah tangga kalian nanti."
"Iya, Tan. Beres."
"Soal pertanyaan kamu tadi: iya, Om, Tante dan Tom baru aja sampai. Tom ngajakin makan malam di luar." Mama Tom bicara. Rowen manggut-manggut.
"Kalau kita sih udah sesi pengolahan tinggal mau dibuang aja subuh atau nanti malam." Rowen terkekeh sebelum Tom menghajar kepalanya karena gemas melihat sahabatnya itu. Rowen ternyata masih asal aja ngomongnya.
"Gila! Lo ngomong sama bokap nyokap gue. Saring kek dikit omongan lo." Rowen garuk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
"Om dan Tante sudah tahu kali aku gimana, tapi gimana juga sorry deh, Om- Tan cuma bercanda. Biar hidup lebih bahagia." Papa dan Mama Tom manggut-manggut sambil tersenyum.
"Iya, kita udah saling kenal juga. Nggak bakal ambil hati juga sama omongan Nak Rowen," kali ini Papa Tom angkat bicara tepat ketika dua orang waiters datang membawakan pesanan makanan yang dipesan Tom dan kedua orang tuanya.
"Ayo, ikut makan bersama juga," Mama Tom menawarkan pada Rowen sambil membantu waiters mengedarkan makanan di meja. Rowen kemudian terkekeh.
"Nggak usah, Tan. Baru makan nih, Tan. Perut aja masih mau meledak rasanya."
"Kalau begitu makan buah? Atau desert?"
"Nggak perlu, Tan." Rowen menggamit lengan Tom ketika Tom meraih sup dan menyendoknya ke dalam salah satu mangkok kecil bertumpuk, dia pikir perutnya akan terasa lebih nyaman dengan makan sop. "Gue mau ngomong sesuatu." Rowen menarik lengan Tom yang memandangnya dengan serius. "Om-Tante, aku pinjam Tom sebentar, ya."