Kamu nggak apa-apa, Van?" Andy Herline bertanya saat menemukan Vanila termangu. Mereka sedang duduk berdua di dalam mobil Andy yang melaju menuju sekolah Verzet dan Dinda. "Jangan bilang kamu mulai meragukan jalan yang kamu pilih hanya karena dia mengatakan hal-hal itu. Itu jelas memang kesalahannya, dia memang seharusnya membersihkan nama baik kita yang sudah dia cemarkan. Aku bahkan berniat melaporkannya ke polisi atas perkataan yang dia nyatakan di depan khalayak umum yang ada di depan rumah sakit kemarin lalu."
"Andy..."
"Tapi karena memikirkan perasaanmu, aku tidak melakukannya. Hanya karenamu, Van."
Vanila mencoba tersenyum kecil. "Terima kasih, Andy."
Andy mengangguk. "Sejujurnya aku sedikit kesal mengetahui tiba-tiba dia hadir di pengadilan hari ini setelah selama ini dia mencoba mengacuhkan panggilan pengadilan dengan tidak hadir di mediasi, tapi saat dia mengakui kesalahannya: aku sedikit senang." Vanila tak menjawab dia membuang pandangannya jauh ke jalanan yang mereka lintasi. "Aku kira sekarang rumah produksi tidak akan keberatan dengan kehadiranmu. Aku akan memperkenalkan kamu dengan produser lainnya. Oya, aku akan memasukkan kamu dalam management manager baruku."
"Manager baru? Aku baru menjadi bagian manager Mbak Madya...."
"Dia hanya tinggal beberapa bulan lagi, tidak sampai tiga bulan, Van. Aku tidak memperpanjang kontrak dengannya dan aku ingin kamu juga berada di bawah management baru aku."
"Akan terasa aneh jika hanya kita berdua, Andy. Orang akan tahu bahwa aku tidak disewa oleh management, tapi menyewa management. Maksudku dalam artian kamu yang menyewa manager untuk aku." Vanila menyugar rambutnya. "Dan itu akan menimbulkan fitnah baru."
"Nggak akan. Nggak ada yang akan tahu."
"Andy...."
"Aku rasa kamu butuh fanpage." Andy mengalihkan pembicaraan yang membuat dia dan Vanila berseberangan. "Kamu butuh fanpage agar kamu bisa membuat kabar baik buat para penggemar kamu...."
"Fanpage? Bukannya fanpage harusnya ditulis oleh seorang fans berat...."
Andy mengangguk. "Fanpage akan memberikan dampak lebih double dalam karir kamu dari pada media sosial buatan kamu. Seakan-akan fans yang mengabarkan pada dunia tentang segala aktivitas kamu, kebaikan kamu dan...."
"Tapi, Andy itu artinya membohongi..."
"Nggak. Percaya aku. Aku akan membuatkanmu fanpage yang akan membantu meningkatkan popularitas dan image kamu di masyarakat. Itu biasa di dunia hiburan. Ketenaran adalah segalanya, Van."
"Aku pikir nggak perlu, Andy, tapi bagaimana pun aku mengucapkan terima kasih atas perhatianmu." Vanila berujar tulus pada Andy. Kemudian mereka kembali terdiam. Vanila tidak mengatakan apa pun walau Andy menunggu dia bicara lebih panjang lagi sekedar kata terima.kasih. Sejujurnya Andy ingin mendengar Vanila berkata betapa keberatan wanita itu pada tingkah sok perhatian yang dilakukan calon mantan suaminya itu. Namun Vanila tidak mengatakan apa-apa lagi. Andy mencoba memeras otak untuk mencari pembicaraan baru antara dia dan Vanila yang tidak bersinggungan dengan dunia artis ataupun seorang Tom Dwiguna diantara laju mobilnya yang mendekati gerbang sekolah Verzet dan Dinda.
"Van, apa kamu udah memikirkan permintaanku?" suara Andy memecah kebisuan diantara keduanya. Vanila bertanya dengan gumaman kecil. Sementara Andy menepikan kendaraannya di sisi trotoar jalanan depan sekolah kedua anak Vanila. "Aku serius dengan perasaanku padamu, Van."
"Andy, kamu tahu posisiku saat ini. Aku bahkan belum menyelesaikan masalah yang terjadi antara aku dan Tom juga anak-anak. Aku tidak berniat memulai hubungan baru dalam waktu dek...."
"Aku tidak meminta kamu, menerimaku sekarang. Aku hanya ingin tahu: apa kamu memiliki perasaan lebih padaku?"
"Setiap wanita akan berharap memiliki seorang kekasih, suami sebaik dan seperhatian dirimu, Andy."
"Termasuk dirimu?"
"Aku sangat beruntung karena menjadi wanita yang mendapatkan perhatian lebih darimu, Andy. Kau adalah salah satu alasan...selain anak-anakku yang membuat aku bersemangat menjalani hidup ini walau dilanda masalah besar dengan Tom. Ten..." Ucapan Vanila terhenti saat tanpa sengaja dia melihat Verzet dan Dinda menyebrangi jalan raya di depan sekolah. " Verzet? Dinda? Mau kemana mereka?" Vanila bergegas meraih handel pintu mobil dan bergegas keluar dari dalam mobil Andy. "Verzet! Dinda!" Suara Vanila hilang di keramaian kendaraan di jalanan depan sekolah Verzet dan Dinda, bergegas Vanila mengejar kedua anaknya itu di saat Andy masih berada di dalam mobil dengan perasaan sedikit dongkol karena ucapan Vanila yang terhenti.
Dengan ogah-ogahan Andy akhirnya keluar juga dari dalam mobilnya. Matanya nanar mencari keberadaan Vanila. Dia menemukan Vanila tengah berlari dengan terburu-buru tanpa melihat ke kiri dan ke kanan untuk mengejar kedua anaknya yang telah berada di seberang jalan. Andy mengejarnya. Vanila bahkan tidak menyadari saat sebuah mobil melaju dengan tergesa menuju ke arah Vanila dan siap menubruk tubuh wanita itu. Andy berlari dengan kencang, menarik tubuh Vanila menghindar. Mereka berpelukan di badan jalan itu.
Sesaat waktu seakan berhenti berdetak bagi Andy. Detak jantungnya dan Vanila menyatu. Rasanya bagai kepingan scene dalam film drama percintaan remaja saat pemeran utama pria menyelamatkan pemeran utama wanita dan jatuh cinta. Seharusnya adegan ini akan berakhir bahagia dengan penemuan cinta sejati. Andy mereguk sepuasnya aroma shampo yang Vanila gunakan, aroma ini akan selalu menjadi aroma kesukaannya. Namun kemudian Andy merasakan dorongan keras di tubuhnya. Vanila melepaskan pelukannya dan berlari menghampiri Verzet dan Dinda yang mematung di trotoar jalan menatap mereka.
"Dinda-Kakak, kalian mau kemana?" Vanila memegang erat tangan kedua anaknya. "Ayo, pulang dengan Mama..."
"Dan dia?" Verzet menatap tajam pada Andy yang telah berdiri di sisi mamanya.
"Iya. Om Andy berbaik hati untuk mengantarkan kita pulang."