"Kalian sedang membicarakanku?" suara Tom membuat kedua pria itu berhenti bicara seketika.
"Cuma membicarakan tentang Bu Clara- Pak Rowen menanyakannya pada saya, Pak," Axel berkata begitu jujur. Kedua mata pria yang telah bersahabat bertahun-tahun dari SMA itu saling bertatapan. Tanpa perlu mendengar Tom bicara, Rowen tahu keyakinannya benar: sekertaris Tom wanita yang bernama Clara itu memilih menikahi pria tua pemilik Clement Construction dan menunggu kematian pria itu untuk menguasai saham Clement Construction dan memaksa Tom patuh. Namun Tom memilih melepas semuanya. Tom kehilangan semuanya karena perselingkuhan itu. Dan wanita itu... yang Rowen cemaskan kalau wanita itu sampai rela menikahi pria tua untuk mendapatkan Tom, Clara tidak akan berhenti hanya karena Tom keluar dari perusahaannya. Rowen mencemaskan sahabatnya itu dan Vanila serta kedua anak-anak Tom kini.
Saat Rowen masih bergelut dengan pikirannya, Axel telah berbincang dengan Tom tentang permukaan fanspage Vanila juga menunjukkan peningkatan follower fanspage Vanila. Tom tidak pernah membeli followers. Dia merasa itu semacam melakukan kecurangan di waktu ujian, tapi kali ini dia mengesampingkan aturan moralnya dan mengucapkan banyak terima kasih pada Axel.
"Saya akan meluangkan waktu untuk membantu Anda membangun fanspage buat Bu Vanila. Kemampuan tiga pria akan membuat fanspage ini menjadi fanspage publik figur yang paling sempurna." Rowen mengamini. "Maaf, Pak karena ini sudah cukup malam dan besok saya harus kerja. Saya pamit lebih dahulu."
"Oh. Iya." Tom segera meraih kunci mobil Axel yang ada di sakunya. "Ini kunci mobil kamu. Terima kasih karena meminjamkannya buat saya." Tom menyodorkan benda itu pada Axel.
"Tapi bagaimana dengan Anda? Kalau Anda masih butuh...."
"Rowen akan mengantarkan aku pulang. Lagi pula banyak kendaraan yang bisa dicarter atau dinaiki di luar sana." Tom meletakkan kunci yang ada di tangannya ke tangan Axel setelah mengatakan Tom lah yang akan membayar makanan, Tom memperhatikan kepergian Axel hingga hilang dari pandangan.
Malam makin larut, tapi cafe itu makin ramai. Tom menatap sekelilingnya. Asap rokok telah memenuhi paru-parunya sepertinya hingga terasa sesak. Tom tidak merokok. "Sepertinya giliran kita yang pulang," Tom memandang Rowen dan menemukan ternyata selama ini temannya itu terus memandanginya. "Ada yang salah dengan aku?"
"Lo kurusan."
"Stres selalu membuatku susah makan," sambut Tom.
"Tapi gue nggak pernah ngelihat lo stres. Setiap masalah adalah tantangan buat lo."
"Anggap saja karena Vanila dan anak-anak kami bukan tantangan bagiku, mereka adalah aku sendiri. Aku kehilangan organ tubuh terpenting bagiku: paru-paruku dan jantungku." Tom menerawangkan matanya dan menghela nafasnya dalam-dalam. "Gue sekarat. Gue rindu Vanila dan anak-anak gue." Tom diam sejenak. "Aku tahu aku jahat sekali: aku menghianati pernikahan dan kepercayaan Vanila padaku, lebih parahnya aku bahkan menceritakan keburukannya pada Clara. Aku tahu Vanila pantas marah. Dia pantas melampiaskannya dengan satu, dua bahkan puluhan makian dan pukulan- rasanya jauh lebih baik daripada pergi dan mengambil jarak. Setiap hari kami tidak semakin dekat, tapi semakin jauh. Aku bahkan mencari tanda untuk memastikan jalan yang kulalui benar. Bahwa aku akan memberikan kebahagiaan untuknya seperti yang dia inginkan dan bukan menambah lukanya, tapi tak terlihat tanda-tanda bahwa aku berjalan di jalan yang benar."
"Berhenti berputus asa. Ini bukan waktu untuk itu." Rowen menepuk pundak sahabatnya itu. "Sabar. Aku yakin suatu saat nanti Vanila akan berkata terima kasih karena kau tidak menyerah memperjuangkannya. Sejujurnya kau masih Tom yang dulu. Semua yang kini kau lakukan buat Vanila menjelaskan perasaanmu masih sedalam seperti dua belas tahu lalu saat Vanila pertama kali memasuki gerbong kereta api dan kau berkata padaku: duniamu berhenti saat melihatnya."
Tom ingat masa itu. Vanila muncul di belakang rombongan mereka bersama beberapa rekan fakultasnya. Vanila memakai kaus berkerah berwarna hitam dengan celana jeans biru yang pas di tubuhnya. Ransel hitam yang berat ada di punggungnya, dia melangkah agak sempoyongan seakan menanggung beban dunia ini yang dia taruh di dalam ransel besarnya yang lebih besar dari tubuhnya. Hal yang membuat Vanila terjerembab jatuh ke atas pangkuan seorang temannya yang malah kemudian menggoda gadis itu dengan vulgar. Saat jatuh dipangkuan Dodi, Tom menemukan betapa wajah Vanila telah merah semerah stroberi, tapi tak bisa menghilangkan betapa imut dan manisnya wanita itu di pandangannya. Apalagi saat Dodi dan teman-temannya menggoda Vanila. Dia membela Vanila dan kemudian menyadari gadis itu bahkan tidak butuh pembelaan darinya karena Vanila bisa membela dirinya sendiri.
Kenangan itu terhenti saat ponsel Tom berbunyi dan nama yang ada di layar ponselnya: My beloved wife. Nomor itu dia peroleh dari ponsel Verzet diam-diam ketika putranya itu mandi beberapa hari yang lalu. Namun dia tidak punya keberanian sekedar menelpon Vanila: sekedar bertanya apa kabarmu pagi ini? Apa kamu baik-baik saja? Anak-anak juga baik? Beberapa kali dia berakhir dengan hanya menatap nomor di layar ponselnya dan tak jadi menekan tombol dial- bukankah di akhir pertemuan mereka, Vanila mengusirnya? Dan menekankan bahwa satu-satunya jalan mereka bersatu adalah karena paksaan hakim, tak ada jalan lain. Dia takut menelpon Vanila hanya membuat isterinya itu berakhir makin kesal padanya, alih-alih makin cinta.