Tom menggeliat sebentar di karpet yang dia tiduri. Membuka matanya perlahan dan menatap jam di dinding kamar yang menunjukkan pukul enam subuh. Membalikkan tubuhnya Tom memilih tengkurap dan meraih laptop Vanila. Sejak kepergian Vanila Tom selalu menulis apa yang dia lakukan dan rasakan tiap-tiap hari, sekedar berbagi segala perasaan dan rutinitasnya pada isterinya itu.
Tom hanya tidak tahu apakah suatu saat nanti Vanila akan membaca semua itu.
2 September 2021
Bertemu denganmu dan anak-anak.
Aku menunggu hari ini dengan penuh harap.
Setelah lama seakan mati, kemarin saat mataku menatap nama kamu di layar ponselku, jantungku yang lama sepi berdegup kembali. Lebih dari kabar apa pun, kabar darimu adalah kabar paling baik sepanjang umurku. Kamu memintaku menemuimu dan anak-anak. Kamu merindukanku. Vanila yang gengsian tidak akan pernah mengatakan rindu lebih dahulu. Katakan aku bodoh, katakan aku narsis karena walaupun kau menyanggah semuanya dan mengatakan semua demi dan karena anak-anak yang merindukanku, aku akan tetap memegang keyakinan bahwa kamu juga merindukanku. Sama seperti aku yang merindu setengah mati. Aku akan tetap percaya, hatimu masih untukku. Seperti hatiku yang ternyata tidak benar-benar pergi dan hanya untukmu. Suatu saat, semesta akan membawamu pada kebenaran itu.
Yang akan selalu mencintaimu:
suamimu- Tom.
Tom menutup laptop itu kemudian segera bangkit. Meraih ponselnya yang berdenting sedari tadi. Email masuk. Tom bergegas membacanya dan seketika tersenyum senang. PT. Wicaksarana memintanya datang pada wawancara yang akan dilakukan hari ini untuk jabatan sebagai Direktur Utama, dia bahkan tidak perlu ikut dalam tes-tes lainnya karena ini adalah tes tahap akhir. Uhhh, benar kata orang kalau suami isteri baikan rejeki datangnya lancar. Vanila baru menelponnya untuk mengizinkannya bertemu anak-anak selama satu hari dalam seminggu saja, sebuah perusahaan sekiber lawan bisnis Clement Construction- PT. Wicaksarana langsung memintanya ikut wawancara. Tom tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia melirik jam di layar ponselnya. Dia punya tiga jam untuk bersiap-siap dan menuju ke tempat wawancara. Ballroom hotel Grand Hyatt. Olah raga sebentar, lalu mandi kemudian makan obat lambung dan kali ini wajib sarapan, kemudian berangkat ke tempat wawancara. Usai wawancara dia akan segera meluncur ke rumah kontrakan Vanila untuk bertemu isteri dan anak-anaknya. Namun sebelumnya dia akan membelikan sebuket bunga buat Vanila. Vanila selalu suka bunga mawar putih.
Tom merencanakan semuanya sebelum menuruni anak tangga dengan siulan gembira. Baru kali ini Tom bersiul segembira itu setelah kepergian Vanila dan anak-anaknya dari rumah ini. Mama Tom tersenyum menatap kebahagiaan putranya itu.
"Kamu kelihatan senang sekali, Tom ada apa?" Mama bertanya saat Tom meraih tumbler untuk persediaan minum sewaktu naik sepeda nanti keliling komplek.
"Coba Mama tebak siapa yang menelpon aku kemarin?" Tom membalik pertanyaan mamanya dengan pertanyaan. Saat itu mamanya sedang memasak sarapan pagi di dapur: nasi goreng seafood yang aromanya sampai kemana-mana.
"Vanila?" Mamanya menebak dengan mudah.
"Kok Mama tahu?"
"Siapa yang bisa bikin wajah kamu ceria seperti ini kalau bukan Vanila? Semua orang juga tahu siapa orang yang paling kamu cintai di dunia ini."
"Aku juga mencintai Mama." Tom bermanja di pelukan mamanya membuat senyum sumringah terpancar dari wajah sang mama yang segera membelai pipi Tom. Di detik selanjutnya hela panjang nafas Tom terdengar. "Tapi Vanila yang sekarang tidak percaya bahwa aku mencintainya," celetukan pedih Tom membuat ibunya menghela nafasnya pelan. Dengan menyimpan gulananya sendiri dia membelai lembut rambut sang putra. Tom meraih jemari tangan ibunya itu dan mengecup punggung tangan itu. "Tapi aku baik-baik saja, Ma. Nggak usah kwatir. Aku akan membuat Vanila menerimaku kembali. Oya, Mama tahu nggak apa yang Vanila katakan?" Tentu saja sang mama menggeleng. Senyum sumringah terpancar di bibir Tom yang merah merekah tanpa polesan pewarna. Bulan ini memang bulan penghujan, tapi BMKG mengatakan cuaca Jakarta bakal cerah bahkan terik, tapi cuaca hati putranya ini terus berubah. Mereka baru bicara lima menitan, tapi reaksi Tom sekejap berbinar bahagia secerah mentari sebentar sendu semendung langit saat akan hujan. Dan itu hanya karena satu nama: Vanila Astanervary. Bagaimana bisa menantunya itu tidak tahu besarnya cinta Tom padanya? Tom masih terus bercerita dan mamanya memandanginya tanpa henti. "Vanila mengizinkanku datang mengunjunginya dan anak-anak di rumah kontrakannya. Maksudku: Vanila tidak bilang untuk mengunjunginya, dia memakai anak-anak untuk memintaku datang ke rumahnya, tapi jelas dia juga ingin bertemu denganku...dia juga merindukanku."
Ya, Tuhan, seru mama Tom di dalam hati dengan gemetar. Sebagai seorang ibu yang mengandung Tom selama sembilan bulan sepuluh hari, dia jelas tahu bagaimana tersiksanya putranya itu karena rasa bersalah dan rindu setengah mati pada keluarganya. Kedua perasaan itu bahkan tidak hanya merongrong perasaannya saja, tapi juga fisiknya. Tom tidak pernah begini sebelumnya.
"Bukankah aku tidak salah jika berpikir ini akan jadi awal baru yang baik dalam hubungan kami?" Tom tersenyum lebar. Mata hitamnya bercahaya seterang mentari. Indah sekali.
Mama menggeleng. "Tidak. Kamu tidak salah sama sekali jika berharap rumah tanggamu dan Vanila akan menjadi lebih baik. Tidak ada yang salah untuk harapan itu."
"Mama harus selalu mendoakan rumah tanggaku dan Vanila menjadi utuh lagi," rengek Tom.
"Selalu. Selalu, Sayang." Mama menangkup wajah Tom di kedua telapak tangannya. Matanya menatap binar indah mata putranya itu, memastikan sang putra tahu bahwa di jalinan doa-doanya selalu ada nama putranya itu, menantunya Vanila dan kedua cucunya yang manis. "Sekarang pergilah berolah raga. Papa udah nunggu di luar itu." Mama menepuk punggung Tom dengan lembut. Sebentar kemudian Tom telah berlari ke halaman rumahnya dan menemukan papanya yang tengah berbincang di pintu gerbang dengan satpam perumahan.
"Bicaranya serius amat, Pak No," sapa Tom pada si satpam.
"Pak No bilang sekertaris kamu...maksudnya mantan sekertaris kamu..."
"Clara maksud Papa? Kenapa dengan dia?"
"Dia kelihatan berkeliaran di sini kemarin malam. Maksa mau ketemu kamu, tapi tidak diizinkan masuk oleh para satpam."
"Thanks, ya, Pak No. Nggak usah diizinin masuk. Kapanpun. Saya tidak akan pernah mau bicara dengan dia lagi."
"Orangnya keras kepala gitu, Pak Tom."
"Saya tahu."
"Kalau Bu Vanila kapan pulangnya, ya, Pak Tom?" si satpam bicara sangat hati-hati. "Pak Tom dan Ibu jangan sampai cerai deh kasihan Den Verzet sama Mbak Dinda."
"Siapa bilang anak saya dan menantu saya mau cerai. Vanila memang pergi dari rumah, tapi nggak bakalan cerai. Mereka ngerti agama. Nggak ada perceraian di agama kita, Tom," suara tegas papanya membuat Tom hanya bisa mengangguk. Suasana risih itu membuat Pak Mamud satpam lainnya yang sedari tadi diam angkat suara.
"Bilang saja Pak No udah rindu sama masakan Bu Vanila." Satpam yang dipanggil Pak No itu terkekeh sambil menggaruk kepalanya.
"Ya, rindu sih. Tapi bukan cuma saya kamu jugakan? Bahkan kamu suka nanya-nanya sama Bu Vanila." Pria itu mencibir disambut tawa oleh temannya.