Tom mendekap tubuh putra dan putrinya dengan erat dibawah tatapan mata Pak Abdee dan Axel yang sejujurnya suprise melihat penampilan baru Tom. Rambut Tom yang hitam berubah abu-abu, wajah Tom yang biasanya klimis berubah ditumbuhi bulu-bulu halus di sepanjang rahangnya yang tegas dan jangan lupakan pakaian kurir antar makanan yang dikenakan Tom. Apa bos mereka kini beralih jadi kurir antar paruh waktu? Hati keduanya bertanya-tanya. Sama seperti Pak Abdee dan Axel yang kaget akan penampilan baru Tom, Verzet dan Dinda juga sempat kaget dan bingung melihat penampilan sang papa, tapi sapaan dan dekapan lembut Tom membuat keduanya segera membuka diri.
"Papa darimana aja sih?" si bungsu Dinda bertanya dengan wajah manyun pada papanya yang segera mencolek ujung hidungnya yang bangir. "Karena Papa nggak ada, tadi Kakak sampai berkelahi...."
"Kakak berkelahi?" Tom menatap Verzet pura-pura tidak tahu agar mendengar pengakuan Verzet sendiri. "Kenapa Kakak berkelahi?"
"Alfa bilang Papa nggak kerja lagi di sini karena Papa korupsi buat berobat Kakak, jadi Kakak hajar aja mukanya." Verzet berkata jujur, ada kesedihan di raut wajahnya yang membuat Tom terenyuh. "Papa nggak korupsikan?"
Tom mengelus rambut Verzet dengan lembut. "Papa memang keluar dari sini. Papa pengangguran sekarang, tapi bukan karena korupsi atau melakukan kesalahan pada pekerjaan Papa. Papa bisa pastikan itu sama kamu."
"Jadi kenapa Papa keluar?"
Tom menarik nafas. Matanya menatap tatapan mata penuh tanya dan keingin tahuan di mata Verzet. Tom jelas tahu jika putranya ingin mengetahui sesuatu, Verzet akan bersikeras dan lebih parahnya Tom takut Verzet mencari tahu sendiri kemudian membencinya karena keadaan yang ada. Dia menyelingkuhi Vanila- mama dari anak-anaknya, Verzet dan Dinda pasti kecewa berat padanya. Lagi pula ini bukan tempat yang tepat untuk menceritakan segala masalah keluarga mereka. Berjongkok, Tom mensejajarkan diri dengan tubuh Verzet. Tangannya terjulur ke bahu putranya itu. Matanya dan mata hitam Verzet beradu untuk saling menyelami perasaan satu dan yang lain. "Papa punya alasan. Nanti kalau kamu dewasa, Papa bakal ceritain dan Papa harap kamu bakal ngerti alasan Papa." Verzet memasang wajah cemberut.
"Verzet udah besar, Pa."
"Papa tahu kamu sudah besar. Kamu bahkan menjaga Mama dan Adek dengan baik. Tapi tunggu sampai kamu delapan belas tahun, Papa janji akan cerita. Kamu mau menunggu kan? Sekali ini saja." Verzet masih diam. Matanya menatap seluruh diri papanya yang nampak berbeda. Rambut abu-abu papanya membuat papa terlihat lebih tua, tapi tetap terlihat gagah. Uhhh, kalau kata mama tiap-tiap hari dulu waktu dia masih di taman kanak-kanak: kapan sih papa bisa kelihatan jelek? Papa always handsome. Mata papa berkubang harap. Verzet tahu papanya selingkuh, tapi papa bilang semua akan baik-baik saja. Verzet juga tahu papa sudah minta maaf ke mama. Mama juga memaafkan papa. Mereka sempat punya hari-hari bahagia kembali setelah pertengkaran antara papa dan mama. Lalu suatu malam ketika papa dan mama pulang dari pesta resepsi pernikahan seorang pemilik saham kantor, mama memintanya mengikuti mama. Mereka pergi dari rumah. Papa selingkuh lagi. Artinya janji papa nggak bisa dipegang kan? Namun memikirkan memiliki ayah baru dan tinggal berpisah begini, membuat hatinya semakin hancur. Jika ucapan papa adalah dusta sekalipun, Verzet ingin menyerahkan diri untuk percaya pada dusta itu, bahwa papanya masih mencintai mamanya, bahwa papa nggak akan pernah membiarkan mereka memiliki keluarga yang hancur, bahwa papa akan melakukan segala cara agar itu terwujud. Namun jauh di sisi hatinya air mata mama kadang menyakitinya: dalam artian mama menangis karena papa, papa berbuat jahat pada mama- tapi dia merasa lebih nyaman bersama papa. Ada yang salah dengan perasaannya kah? Dia penghianat kah? Dia pernah janji pada mama akan selalu menjaga mama dari semua orang yang bakal menyakiti mama... walau saat itu usianya baru empat tahunan. Janji itu akan selalu dia ingat. Janji adalah janjikan? Janji membutuhkan pemenuhan kata papa dan orang ingkar janji adalah penghianat kata mama. "Kenapa? Apa yang kamu perhatikan dari Papa?" Tom menyadari bagaimana manik mata Verzet menelusuri dirinya. "kamu malu punya Papa pengangguran?"
"Verzet mau pulang." Verzet tak menjawab, melongos pergi dengan cepat menuju ke pintu. Tom meraih lengan anaknya itu yang telah bergerak ke depan pintu ruangan Pak Abdee.
"Kamu malu punya Papa pengangguran? Papa hanya kehilangan pekerjaan, Papa tidak kehilangan kemampuan untuk bekerja." Tom menatap wajah putranya itu lekat-lekat. "Lagi pula keadaan ini ada bagusnya buat kita. Papa bisa selalu ada buat kalian. Papa nggak akan pergi kemana-mana."
"Benaran, Pa?" Dinda berceletuk dari balik punggung Tom. Menoleh pada putrinya itu, Tom mengangguk mantap. "Horrre, jadi Papa sama Mama bakal sama-sama teruskan? Mama nggak bakal marah lagi." Dinda meloncat kegirangan, membuat hati Tom teriris. Namun dia tidak akan tega mematahkan harapan putrinya itu. Belum ada tanda bahwa Vanila akan mengizinkannya tinggal bersama mereka, atau tanda bahwa Vanila akan mengajak anak-anak untuk kembali ke rumah dan hidup bersamanya. Pernyataan Vanila ditelpon yang mengizinkannya untuk menemui Verzet dan Dinda, berubah keesokan harinya karena kesibukan Vanila. Ahhhh, mungkin ini cara Vanila membalasnya atas segala kealpaan yang dia lakukan pada setiap janji dan pertemuan bersama anak-anak dan isterinya itu karena kesibukan pekerjaan di waktu yang lampau.
"Papa minta maaf."
"Verzet, Papa kamu adalah vice presiden direktur terbaik yang pernah dimiliki Clement Construction. Sejujurnya Om juga nggak tahu kenapa pemilik saham terbesar di Clement Construction memilih mengangkat orang lain sebagai vice presiden direktur menggantikan Papa kamu. Jelas mereka akan menyesalinya suatu saat nanti." Pak Abdee memberi dukungan pada Tom yang tertegun menatap Verzet.
Selanjutnya, Tom bisa melihat mata Verzet yang berkaca-kaca meneteskan air mata. Perlahan kepalanya menggeleng. "Papa salah. Verzet nggak malu sama Papa karena Papa keluar dari sini." Verzet bergerak memeluk tubuh papanya. Tom mendekapnya erat, salah satu tangannya meraih Dinda yang merapat ke sisi pahanya. "Verzet nggak bakal malu apa pun kerjaan Papa karena Verzet tahu Papa melakukan yang terbaik."
"Terima kasih, Sayang." Tom menyugar rambut putranya itu.
Setelah berpelukan beberapa saat Verzet menarik tubuhnya dari dekapan papanya, saat itu suara Axel terdengar mempertanyakan penampilan baru Tom, "Ngomong-ngomong Bapak ngecat rambut, ya?" Senyum Tom tersibak indah. Dia menatap Axel lalu kedua anaknya bergantian.
"Papa makin ganteng nggak?"