Tunggu saja aku di rumah.
Karena pesan itulah Vanila di sini. Vanila melirik arloji di pergelangan tangannya. Sudah nyaris dua jam lebih dia menunggu Tom di sini, tapi tak ada tanda-tanda Tom dan anak-anaknya akan tiba. Andy bahkan telah meninggalkannya tiga puluh menit yang lalu kerena bosan menunggu kedatangan Tom. Andy bilang Tom berdusta. Mereka berbeda pendapat sejenak untuk hal itu. Sudah hampir jam enam sore. Vanila menatap Mbak Asih yang melangkah memasuki dapur.
Dia ingat bagaimana dia datang dan masuk menyelonong ke rumah ini saat tidak ada yang membukakan pintu buatnya....
Vanila menekan bel rumah besar yang dahulu pernah menjadi tempat kediamannya berulang kali dengan perasaan tak sabar untuk bertemu kedua anaknya dan membawa mereka pergi dari Tom- membuat Mbak Asih yang sedang membenahi kamar tidur mereka di atas tersentak.
"Siapa, ya, yang ngebel gitu banget. Pak Tom?" Dia mencoba menebak sendiri. "Nggak mungkin kalau Pak Tom. Biasanya juga Pak Tom masuk sendiri." Menghela nafas panjang, Mbak Asih meletakkan sebuah stoking warna kulit milik wanita yang dia temukan di bawah lemari pakaian di kamar tidur Vanila dan Tom ke dalam keranjang cucian. Jelas itu milik isteri Tom, pikirnya, walau hanya untuk kaki sebelah kiri- tetap saja akan dia cuci dan simpan di lemari pakaian Tom dan Vanila. Mbak Asih melangkah keluar dari kamar Tom dan Vanila dengan keranjang pakaian bekas di tangannya, dengan kaki tergesa dia melangkah menuruni anak tangga rumah Tom yang sejujurnya cukup banyak bagi kakinya yang sudah cukup kelelahan karena datang dengan mengayuh sepeda ke setiap rumah yang dia bersihkan.
"Verzet! Dinda!"
"Ehhh, Ehhh, Anda ini siapa kok masuk seenaknya," Mbak Asih berlari mengejar tubuh Vanila. Keranjang cucian yang tadi dia peluk bahkan terjatuh begitu saja dan isinya berhamburan di lantai. Vanila melangkah terus tanpa menggubris omongan Mbak Asih. "Dinda! Verzet! Mama disini, Sayang! Tom! Tom, Keluar!" Vanila berlari dari dapur, kamar mandi bawah, ke ruang makan, melintasi ruang tengah dan langsung naik ke anak tangga tanpa menggubris pertanyaan Mbak Asih. Andy lah yang kemudian menahan langkah Mbak Asih yang mencoba menghalangi Vanila naik ke lantai atas dan menjelaskan siapa Vanila.
"Jangan hentikan dia. Dia nyonya rumah ini. Dia hanya ingin mengambil kembali anak-anaknya dari Tom Dwiguna."
"Tapi, tidak ada anak-anak di sini, Pak," ujar wanita itu setelah mengingat wajah Vanila memang terpampang di foto-foto yang ada di dinding rumah ini bahkan di kamar tidur Tom wajah Tom dan wanita itu terpampang besar dengan gaun pengantin.
Andy menaikkan sudut bibirnya dengan sinis, "Kalau tidak ada, kamu tidak perlu keberatan dong kalau Vanila memeriksa seluruh isi rumah ini? Atau Tom Dwiguna yang memaksa kamu bicara seperti ini?"
Wanita itu menggeleng, menebak-nebak bahwa mungkin pria yang tengah berbicara dengannya saat ini adalah saudara laki-laki Vanila. "Nggak. Bukan. Bukan. Pak Tom saja ndak ada di rumah. Iya, ues silahkan saja periksa, Pak." Wanita itu memberi izin dengan sopan. Andy melangkah mengikuti Vanila yang telah berada di lantai atas.
Sebentar saja Vanila telah menguak kamar tidurnya dan Tom lalu tertegun di depan kamar itu. Kamar itu masih sama seperti tiga bulan lalu saat dia tinggalkan. Tak ada posisi barang yang berubah. Foto pernikahannya dan Tom juga masih melekat teguh di dinding kamar tidur dengan ekspresi wajah bahagia di wajah mereka, walau jelas saat itu dia berkali-kali mencuri lihat ekspresi wajah Tom: sekedar memastikan apakah Tom memang benar berniat menikah dengannya atau akan menyesali keputusan besarnya ini karena melepaskan tawaran besar dalam hidupnya untuk menjadi bagian dari perusahaan dunia dan karena ibunya memutuskan tidak menghadiri pernikahan mereka, hanya ayah mertuanya.
Dan entah bagaimana Tom menyadari semua yang ada di kepalanya. Vanila ingat benar ketika Tom merengkuh wajahnya di kedua telapak tangan yang penuh kehangatan itu. Mata mereka bertautan dan Tom berkata: sekali pun dunia terguncang, dia tidak akan pernah menyesali keputusannya untuk menikahi Vanila. Lalu Tom bertanya padanya apa dia tahu cita-cita Tom? Tentu saja dia tahu bagaimana Tom berniat menjadi seorang arsitek mumpuni yang namanya tercantum dalam landmark pembangunan sebuah fasilitas umum besar seperti jembatan, jalan tol, jalan raya bahkan kota. Tom terkekeh. Tom bilang saat bersua dengannya, semua tujuan hidupnya berubah: satu-satunya yang Tom cita-citakan adalah menjadi suami Vanila Astanervary dan membuatnya bahagia sepanjang waktu dalam hidupnya. Dahulu dia berpikir itu cita-cita yang sangat sederhana. Tom akan dengan mudah mencapai cita-cita itu karena dia selalu bahagia hanya dengan hadirnya Tom di sisinya. Lalu Tom menambahkan agar dia juga tidak pernah menyesali keputusannya menikahi seorang Tom Dwiguna yang keras kepala dan sedikit egois. Saat itu dia terkekeh dan menangis. Dalam hati dia berjanji tidak akan pernah menyesali tiap detik hidupnya bersama Tom. Tidak akan pernah menyesalinya... Dada Vanila terasa sesak mengenang masa itu. Andai dia tidak menyadari kehadiran Andy di sisinya, dia pasti sudah menggenangi wajahnya dengan air mata.
Tapi tak ada siapa pun di sana. Tanpa menutup pintu Vanila melangkah menuju kamar Verzet dan Dinda. Sama saja kosong. Baru akan menuruni anak tangga kembali, Vanila berbalik menuju kamar tidurnya dan Tom diantara suara Andy yang bertanya dengan gusar padanya. Ada sesuatu yang harus dia ambil dari sana, itu yang dia katakan selanjutnya dan membiarkan Andy menunggunya di anak tangga teratas. Dia meraih laptopnya dan membawa benda itu bersamanya. Betapa dia rindu menumpahkan segala penat di hatinya dalam untaian kalimat-kalimat di novelnya, tanpa siapa pun tahu itu adalah kisahnya atau harapannya.
Vanila menuruni anak tangga dengan memeluk erat laptop di tangannya. "Ibu mau cari Bapak?" Mbak Asih mencoba bertanya saat Vanila tiba di lantai satu. "Pak Tom belum pulang, Bu. Kalau orang tua Pak Tom..., hari ini sudah balik ke Surabaya. Katanya obat Bapak kehabisan dan sejujurnya saya tidak pernah melihat anak-anak di rumah ini walau di album foto dan video-video yang tidak sengaja saya lihat waktu diputar Pak Tom ada dua orang anak bersama ibu."
Vanila tercenung sejenak saat mengetahui kabar itu. Pantas rumah ini sepi banget, runtuk bantinnya. Apa itu tersangkut paut pada ucapan yang dinyatakan ibu mertuanya itu saat menemuinya di lokasi syuting kemarin malam? Janji ibu untuk tidak akan pernah lagi mencampuri rumah tangganya dan Tom. Vanila jelas merasa tidak nyaman atas pikiran itu: bahwa mama dan papa Tom pergi karena dia. Kemudian dentang bunyi ponselnya terdengar. Vanila meraih handphonenya. Sebuah pesan masuk terlihat di layar depan ponselnya.
Aku menelponmu sedari tadi, tapi kamu tidak mengangkatnya. Jangan kwatir, anak-anak ada denganku, aku akan mengantar mereka pulang padamu setelah urusanku selesai. Tunggu saja aku di rumah. Aku mencintaimu.
***
"Bu." Sentuhan di pundak Vanila mengagetkan Vanila. Mbak Asih berdiri dengan sopan di hadapannya. Wanita itu berusia nyaris sebaya dirinya, tapi begitu gesit. Penampilannya sederhana dengan polesan bedak tabur, bibirnya yang tipis bahkan tanpa polesan apa pun. Ketika bedaknya terhapus oleh keringat, kulit aslinya yang coklat eksotis: gambaran kerja keras dan perjuangan- terlihat. Rambutnya diikat rapi ke belakang dengan karet gelang biasa yang selalu dipergunakan di bungkusan makanan. "Maaf, mengganggu, Bu. Mau tahu saya harus masak apa, ya buat anak-anak?"
"Ng...gak perlu. Kami langsung pergi setelah anak-anak datang."
"Lah...kok gitu, Bu? Kasihan Bapak loh, Bu. Sepertinya Bapak sering kesepian. Ibu Bapak bahkan sering cerita katanya Ibu pusing karena Bapak nggak selera makan. Mau makan muntah. Gitu terus. Untungnya Bapak akhirnya mau dipaksa ke dokter. Kasihan loh, Bu. Kalau Bapak punya salah maafin dong, Bu." Vanila menatap tajam wajah polos itu. Mbak Asih menunduk dalam, seakan menyadari dia bicara melampaui haknya. "Maaf, Bu. Maaf. Saya undur diri kalau begitu. Mau masak makan malam Bapak." Mbak Asih melangkah tergesa dengan rok batiknya yang panjang. Dia sungguh lancang... bagaimana jika nyonyanya itu marah, bisa-bisa dia kehilangan pekerjaannya. Uhh, tak bisakah dia berhenti mengurusi urusan orang tanpa dimintai? Bu Andara- salah nyonya rumah yang tempat dia bekerja batu saja memutuskan memberhentikan dia setelah dia sok-sokan memberi advis pada urusan rumah tangga Bu Andra dan Pak Agus. Keluarganya masih butuh banyak dana. Keempat anaknya masih sekolah, suaminya hanya buruh serabutan. Mbak Asih memukul permukaan bibirnya.
Mbak Asih meraih beberapa bahan masakan dari dalam kulkas siap memasak ketika, Vanila muncul di dapur lalu meraih beras dan memasaknya dengan kaldu ayam yang banyak yang dia ambil dari dalam kulkas.