Hujan turun deras sekali sore itu seakan langit tengah mencurahkan ber-ton-ton air ke bumi. Dalam waktu setengah jam saja beberapa jalanan ibu kota telah tergenang oleh air. Verzet dan Dinda mempercepat langkahnya untuk berlari ke dalam Gereja setelah sempat kebingungan kemana akan berteduh. Uhhh, untungnya gerbang Gereja belum ditutup.
Sedikit enggan Verzet akhirnya menuruti langkah sang adik menuju ke dalam Gereja. Tubuh mereka basah kuyup, Verzet tidak suka mengotori Gereja. Dalam kondisi mereka yang seperti ini air yang membasahi tubuh dan seragam sekolah mereka akan meninggalkan jejak-jejak di lantai rumah ibadah itu juga membasahi bangku Gereja. Sepatu mereka yang becek, mereka lepas di depan pintu Gereja agar tidak mengotori lantai Gereja bersama tas mereka yang basah kuyup. Tingkah mereka membuat seorang pastor baya yang melihat mereka tersenyum kecil. Ada beberapa umat yang tengah berdoa di dalam. Mereka memilih bersimpuh di bangku paling belakang.
"Kalian kehujanan. Bukankah seharusnya kalian pulang ke rumah terlebih dahulu?" Si pastor menyapa.
Verzet dan Dinda mendongakkan wajah mereka kemudian berdiri. "Tapi kami mau berdoa dulu, Pastor. Bolehkan, Romo?"
Sang pastor tersenyum. "Tentu saja boleh. Ini rumah Tuhan, siapa pun boleh berdoa di sini."
"Pastor, apa kah jika aku berdoa, Tuhan akan mengabulkan doaku?" Dinda bertanya pada pastor yang ada di sisi bangku Gereja tempat dia duduk bersama Verzet, sang kakak.
"Tentu saja. Matius 21:22 mengatakan: Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya. Jadi katakanlah permohonanmu dengan penuh kepercayaan maka Tuhan akan mengabulkannya. Memangnya apa yang akan kalian minta?" pastor setengah baya itu bertanya lembut pada Dinda dan Verzet yang basah kuyup.
"Agar Papa dan Mama tidak bercerai." Air mata Dinda mengalir deras, "agar Papa nggak pergi meninggalkan kami, agar Mama nggak marah lagi sama Papa," isaknya membuat sang pastor tercekat, menghela nafas dan hanya bisa mengusap-usap ubun-ubun kepala Dinda dengan lembut.
"Percayalah, jika kalian bersama-sama memintanya dengan sepenuh hati Tuhan akan mengabulkannya dan tetaplah percaya sampai itu menjadi nyata." Dinda dan Verzet mengangguk kemudian kembali berlutut dan mulai berdoa. Beberapa saat pastor masih berdiri menatap haru pada Verzet dan Dinda yang telah khusyuk berdoa. Beberapa saat kemudian barulah pastor itu melangkah pergi ke Pastoran (rumah untuk para pastor) yang ada di belakang Gereja untuk mengambil handuk sekedar untuk mengeringkan tubuh dan rambut kedua anak itu.
***
"Maksud kamu apa? Kenapa kamu harus tetap pergi dan tidak bisa tinggal bersama kami kembali ke rumah?" Neli bertanya pada Brian, sang suami saat telah menjejakkan kaki di depan rumah mereka usai turun dari mobilnya. Saat itu Brian yang telah mengantarkan Alfa ke rumah bahkan ingin segera pergi kembali usai Alfa memasuki rumah. Neli bahkan tidak tahu apa Alfa tahu bahwa papanya tidak ingin tinggal bersama mereka lagi.
"Kamu tahu jelas apa yang kumaksud." Brian berkata saat Neli menahan laju mobil Brian dengan menghadang di depan sana.
"Aku tahu aku bersalah karena terus membanding-bandingkanmu dengan Tom. Aku minta maaf. Aku janji aku tidak akan pernah melakukan hal itu lagi, tapi tolong kembalilah pada kami."
Brian menarik ujung bibirnya sinis. "Kau mengatakan hal ini karena aku sudah mencapai posisi nomor dua tertinggi di Clement Construction- kan , menggeser Tom Dwiguna yang selalu kau puja-puja itu?"
"Bukan. Bukan karena itu, tapi karena kamu suamiku, Sayang. Aku nggak mau berpisah dengan kamu. Kamu bisa kembali menjadi seperti dirimu yang dahulu kalau kamu mau mengujiku. Kamu akan tahu aku tidak akan pernah membanding-bandingkanmu lagi dengan siapa pun, kamu akan tahu sekarang aku lebih sering di rumah. Aku mengerjakan semua pekerjaan rumah seperti yang kamu mau. Brian, tolong kembalilah demi anak kita. Demi ba..."
"Aku tidak tertarik berbagi kebahagiaan bersama seorang wanita yang tidak mau hidup susah bersamaku."
"Apa maksudmu? Kau salah paham denganku Brian."
"Minggir dari sana!" Brian membunyikan klakson mobil dengan keras. Namun Neli tetap tak bergeming. Sama-sama memilih untuk berkeras kepala, Brian melajukan mobilnya. Widya yang melihat kenekatan kakaknya segera menarik tubuh Neli dari tengah-tengah halaman rumah mereka dan membiarkan mobil Brian melaju pergi. Isak Neli terdengar.
"Apa yang kau lakukan?! Kenapa kau membiarkan Kakak iparmu pergi?! Kau ingin kakak melahirkan anak tanpa suami?!" Isak Neli sambil memukul-mukul punggung sang adik.