Vanila membalikkan tubuhnya dan menemukan tatapan mata Tom yang tengah menatapnya dari ujung tepi lain ranjang. Dinda meminta mereka tidur berempat tanpa peduli betapa canggungnya keadaannya dan Tom kini. Gadis kecilnya itu memeluk erat Tom. Tom menggeser posisi tidurnya agar memiliki jarak sedikit dari Dinda. Kemudian meraih ponselnya, sebentar kemudian ponsel Vanila berbunyi. Vanila meraihnya.
Belum tidur? Merasa tidak nyaman karena aku di sini?
Massage dari Tom. Vanila menatap wajah Tom. Lalu giliran Vanila mengetik balasan.
Cuma belum mengantuk saja. Kamu juga belum mengantuk atau merasa tidak nyaman karena ada aku disini?
Bersamamu selalu nyaman. Aku ingat pernah menjulukimu bantal guling ku. Itu berarti aku begitu nyaman bersamamu.
Tom mengirim. Kemudian menunggu reaksi Vanila.
Sebelum kau menemukan bantal baru yang lebih nyaman maksudmu?
Ponsel Tom bergetar, buru-buru dia membaca massage dari Vanila. Lalu memadamkan ponselnya tanpa jawaban. Vanila jelas selalu punya cara membuatnya merasa bersalah. Tom memilih memejamkan matanya.
Vanila menatap wajah Tom yang telah memposisikan diri layaknya orang yang tengah tertidur. Tom memejamkan matanya. Tom keluar dari percakapan mereka. Vanila mengetik kembali sebuah pesan.
Kamu marah?
Tak ada balasan. Tom bahkan tidak membuka ponselnya dan tetap pada posisinya berpura-pura tidur padahal Vanila jelas tahu Tom belum tertidur.
"Kamu marah?" Akhirnya Vanila tak tahan untuk tidak mengeluarkan suara menanyakan hal itu.
"Apa aku punya hak untuk marah?" Tom balik bertanya, matanya membuka, "Aku tahu aku salah, Van dan seperti orang berdosa yang meminta pengampunan, menganggap kotor dirinya...aku tidak akan membela diri."
Vanila terdiam. Namun matanya tidak henti menatap wajah Tom. Saat itu Tom bahkan telah kembali memejamkan matanya. "Ayo keluar." Vanila bangkit dari tidurnya, menguak pintu dan Tom membuka matanya. Apa kata Vanila tadi?
Menyangka Vanila keluar kamar karena tidak ingin tidur sekamar dengannya, Tom bergegas meraih bantalnya. Menggeser guling ke tepi ranjang untuk melindungi Dinda lalu melangkah ke luar kamar dengan tergesa. "Van," Tom meraih lengan tangan Vanila, "Kamu nggak perlu tidur di sini biar aku saja. Tidurlah bersama anak-anak."
Vanila menurunkan tangan Tom dari lengannya. Menatap sebentar pada bantal yang dibawa Tom keluar kamar. Apa Tom berpikir dia berniat menghindari Tom dan memilih tidur di ruang tamu? Vanila menahan senyumnya agar tidak lepas. "Duduk di sana." Vanila memerintah kemudian berlalu. Dia beranjak ke dapur, meraih kotak P3K dari laci lemari dapur dan membawanya kembali ke ruang depan.
Di ruang depan, Tom sudah berbaring di sofa panjang dengan wajah menghadap ke sandaran sofa- ketika Vanila muncul kembali, Tom jelas tidak menyadari kedatangan Vanila.
"Kenapa kamu malah tidur di sini?" suara itu membuat Tom membalikkan tubuhnya dan bergegas bangkit duduk di sofa. Tanpa menunggu jawaban Tom- Vanila menghempaskan tubuhnya di sisi Tom. Masih tanpa menunggu izin Tom, Vanila meraih wajah Tom.
"Aku nggak mau kamu tidur di sini. Lebih baik kamu tidur sama anak-anak. Biar aku...."
"Wajahmu memar. Apa kamu tidak menyadari itu?" Vanila mengoles salep kulit ke luka di pelipis bawah mata Tom yang membiru. "Apa tidak sakit?" Tom menggelengkan kepalanya. Matanya terpaku tidak bergeming menatap wajah cantik Vanila yang alami tanpa polesan apa pun. "Aku jadi paham kenapa kau suka sekali berkelahi dari masa kuliah dulu karena ternyata kamu punya kulit badak seperti ini. Bagaimana bisa kamu nggak merasakan sakit dengan memar seperti ini?" Vanila mencebikkan bibirnya sambil menekan luka Tom sedikit lebih keras. Ajaibnya Tom tidak menjerit, bahkan raut wajahnya tidak juga meringis. "Benar-benar, ya, kulit badak," ejek Vanila lagi.
"Bukan kulit badak." Tom meraih tangan Vanila dari wajahnya dan memegang erat pergelangan tangan itu. Mata Tom yang legam nampak penuh duka menatapnya. "Ini hanya karena aku sudah merasakan level sakit yang lebih tinggi, jadi luka itu tidak berarti apa-apa."
Vanila menarik tangannya dari pegangan Tom. Rasanya jantungnya nyaris terjun bebas akibat kecut elektrik yang menjalari tubuhnya setiap kali kulitnya dan kulit Tom saling bersentuhan. Sebelum Tom menyadari apa yang terjadi pada dirinya, Vanila memilih memperlebar jarak antara dia dan Tom dengan berdiri, lagi pula dia memang telah menyelesaikan pengobatan atas luka di wajah Tom. Akan terasa aneh jika dia terus duduk di sisi Tom. Namun baru akan melangkah, suara Tom terdengar memanggilnya, "Vanila, kamu tidak mau tahu level sakit apa yang begitu tinggi hingga memar ini tidak ada artinya lagi bagiku?" Vanila tidak berkata apa-apa, tapi tidak juga berlalu. Jadi Tom menjawab sendiri pertanyaannya, "Menyadari waktuku untuk kehilanganmu dan anak-anak semakin dekat. Itu lebih menyakitkan dari semua rasa sakit." Vanila tidak menjawab. Tom menghela nafasnya dan berdiri di garis sejajar di belakang Vanila. Namun tak menyentuh tubuh itu. Ada jarak lebar yang dia ciptakan antara tempat Vanila berada dan dia berdiri.
"Sayang, apa kau masih ingat ucapanmu tentang blurb di sampul belakang buku yang mengecewakan? Aku masih ingat itu...Blurb di sampul belakang buku... yang dibuat sedemikian rupa sehingga menarik calon pembaca untuk membelinya. Tapi mengecewakanmu di bab-bab awalnya." Vanila tidak mengerti kemana Tom akan membawa pembicaraan ini, tapi Tom seorang pemimpin yang hebat, pembicara yang pintar dan seorang negosiator ulung- tiga kemampuan itu membuat Tom melesat bagai meteor di Clement Construction hingga bisa menjadi seorang vice presiden direktur dalam usianya yang belum empat puluh tahun, padahal dia bukan pemilik saham atau anak pemilik saham. Tom masih bicara dan Vanila menanti, mendengar. "Namun kau tahu? Kamu tidak akan pernah tahu akhir buku itu jika kamu tidak terus membacanya hingga akhir. Mungkin saja kamu akan menemukan bagian-bagian favoritmu di bab-bab selanjutnya atau sebuah akhir indah seperti yang kamu inginkan. Kamu hanya perlu memberi kesempatan... kepada dirimu untuk lanjut membaca dan kepada bab-bab yang mengecewakan untuk dilupakan."
Fix. Vanila tertawa kecil. Membalikan badannya agar bisa menatap Tom. "Kau benar-benar pembicara yang ulung. Mungkin kau bisa menjadi motivator setelah ini." Tom termangu. "Sudah malam. Kita harus kembali ke kamar sebelum Dinda terbangun dan menangis ketakutan." Tanpa menunggu jawaban Tom, Vanila memilih masuk ke dalam kamar.