Vanila melompat bangun dari tempat tidur saat sinar matahari terasa menerpa wajahnya. Dia bangun kesiangan bahkan tidak mendengar suara weker yang berbunyi keras. Anak-anak masih tidur.
Sejenak Vanila meraba kembali kening Dinda memastikan bahwa putrinya itu benar-benar sudah sembuh. Kemudian dia menyadari Tom tidak ada di atas ranjang. Melangkah turun dari ranjang, Vanila bergegas ke luar kamar tidur dan menemukan Tom tengah menjemur pakaian di halaman belakang rumah. Jemuran sudah nyaris penuh. Tom bahkan tidak menyadari saat dia telah berada di sisi ember dan tangan mereka meraih pakaian yang sama- pakaian dalamnya berwarna hitam.
"Sudah bangun?" Tom menyapa saat melihat siapa yang ada di dekatnya kini. Vanila mencoba menarik pakaian dalamnya dari pegangan Tom, tapi Tom menahan pegangannya lebih erat. Mata Vanila nyaris melotot menatapnya.
"Ini pakaian dalamku," serunya seakan Tom tidak menyadari hal itu.
"Jadi kenapa?" Tom menghentakkan tangannya hingga pakaian dalam Vanila benar-benar ada di tangannya. Dia memegang sisi kanan dan kiri underwear itu kemudian menatap wajah Vanila dengan lirikan menggoda. "Ya, ampun, Vanila!" serunya, "Apa perlu wajahmu semerah itu?"
"Nggak. Wajahku tidak memerah." Vanila menyambut cepat.
"Sini dekat denganku akan kutunjukkan." Tom berkata dan Vanila menurut. Kemudian sebuah kecupan terasa di pipi kanan Vanila benar-benar membuat wajahnya panas. Fix. Wajahnya memerah kini diantara tawa puas dari bibir Tom. Dasar Tom, berengsek. Tangan Vanila bergerak siap mencubit perut Tom ketika tangan Tom menangkap tangannya membuat Vanila menyadari underwearnya masih ada di tangan Tom.
"Kenapa kau terus memegangnya?! Jemur itu!" Vanila merubah niatannya dari mencubit perut Tom menjadi meraih pakaian dalamnya dan menarik benda itu dari tangan Tom kemudian menjemurnya. Tom tersenyum dan mendekati Vanila yang terlihat kesal.
"Maaf, menggodamu. Jangan marah." Vanila tak mengacuhkan permintaan maaf Tom dan beralih menjemur pakaian lainnya, "Maaf." Tom mendekatkan wajahnya pada Vanila. Bisa dicium Vanila aroma pasta gigi mereka dihembusan nafas Tom saat rongga mulut Tom nyaris nemplok di bibirnya andai dia tidak menarik diri dan Tom tidak memundurkan tubuhnya.
Tubuh Vanila terhuyung nyaris terjatuh andai Tom tidak meraihnya. Lengan Tom terasa di pinggul Vanila. Sekejap Vanila merasa bak adegan di film-film romantis remaja. Usianya udah cukup tua untuk hal seperti ini. Vanila menegakkan tubuhnya dan mendorong dada Tom menjauh. Lalu dia bergegas meraih ember kosong dan melangkah pergi. Tom menjejal langkahnya. "Masih marah?"
"Kenapa kamu nggak bangunin aku? Aku jadi telat bangun tahu."
"Kamu baru tidur ketika nyaris jam tiga subuh, aku nggak tega membangunkanmu." Tom meletakkan ember di kamar mandi lalu kembali mengejar Vanila yang telah masuk ke dapur dan segera membuka pintu kulkas, mengeluarkan segala macam bahan makanan yang siap untuk dimasak sementara di atas kompor Vanila telah memasak air.
"Itu artinya anak-anak nggak bisa sekolah hari ini."
"Mereka nggak sekolah satu hari nggak apa-apa, Sayang. Gak bakal bikin mereka jadi ketinggalan mata pelajaran sekolah kok lagian setelah kemarin Verzet berkelahi dengan Alfa, aku cemas Alfa bakal mengganggunya lagi."
"Aku udah bilangkan, Tom perkelahian nggak menyelesaikan masalah." Vanila meletakkan pisau di tangannya dengan kasar, padahal dia baru saja memegang pisau itu setelah memasak nasi di rice cooker. "Sekarang kau membuatku cemas. Bagaimana Verzet akan menghadapi anak-anak nakal itu?"
"Berhenti cemas. Verzet akan mampu menghadapi anak-anak nakal itu walaupun dia baru sabuk putih." Tom berkata saat melintas di sisi Vanila untuk meraih kopi dari rak yang ada di meja keramik untuk memasak.
"Apa maksudmu? Jangan bilang kalau Verzet belajar karate?" Vanila melayangkan pandangan curiga dan penuh selidik pada Tom yang tengah memegang botol berisi kopi bubuk.
"Verzet akan baik-baik saja, Van. Kamu tahu? Saat kalian meninggalkanku aku mencemaskan keamanan kalian. Namun aku tidak bisa melindungi kalian, Verzet adalah satu-satunya yang bisa kupercaya melindungimu dan Dinda." Tom menjulurkan tangannya hendak membelai rambut Vanila, tapi segera ditepiskan oleh Vanila. Vanila jelas masih pada pendapatnya untuk menolak Verzet latihan karate. "Vanila, jangan kwatir. Verzet akan baik-baik saja. Aku mengenal guru bela dirinya dan aku juga sudah memberitahunya keadaan Verzet. Dia melatih Verzet dengan hati-hati dan kamu lihatkan... apa selama ini keadaan kesehatan Verzet memburuk? Tidakkan?" Tom berdiri begitu dekat di belakang tubuh Vanila, Vanila bisa merasakan tiap hembusan nafas Tom menerpa kulitnya. "Vanila..."
"Sejak kapan kamu mengizinkannya untuk benar-benar latihan?"
"Empat bulan yang lalu... mungkin." Jawaban itu membuat Vanila membalikkan tubuhnya dengan kesal.
"Empat bulan dan kamu nggak memberi tahu aku?! Aku belum pergi dari rumah saat itu."
"Tapi kita baru saja baikan saat itu." Tom berkata tanpa rasa berdosa.
Vanila menatap Tom jengah. "Rahasia apa lagi yang kamu sembunyikan dariku?"
"Nggak ada. Nggak ada rahasia apa pun, Van. Terserah kamu percaya atau tidak. Aku nggak mungkin berniat buruk pada anakku sendiri. Kalau terjadi apa-apa pada Verzet karena latihan bela dirinya- aku akan bertanggung jawab, apa pun keadaan kita saat itu: bercerai atau tidak." Tom meletakkan tempat kopi yang ada di tangannya di sisi talenan Vanila, lalu bergerak untuk beranjak. Dia tidak mau memperpanjang ini. Namun tangan Vanila segera menahannya. Jemari Vanila dan jemarinya bertautan. Tom melirik jemari mereka dengan ekor matanya.
"Maaf." Vanila tidak pernah mengatakan kata itu dengan jelas. Nada suaranya terlalu pelan seakan dengan mengucapkan maaf harga diri Vanila hilang entah kemana. Namun sepertinya walaupun Vanila hanya mengucapkan kata itu di dalam hati sekali pun, Tom akan selalu mendengarnya. Senyum Tom tersibak lebar mendengar permintaan maaf yang keluar dari bibir Vanila. Tangannya meremas lembut jemari Vanila lalu menarik pelan agar tubuh Vanila mendekat. Tak ada paksaan. Vanila bahkan tidak tahu siapa dari antara mereka yang memulai lebih dahulu, tiba-tiba saja bibir mereka telah saling bertautan, lengan Tom melingkar posesif di pinggangnya dan tangan Vanila mengalungi leher Tom sementara jemari lentik Vanila menari-nari lembut diantara anak rambut Tom.
***
Tok. Tok. Tok.
Uh, siapa sih yang bertamu pagi-pagi sekali? Vanila dan Tom menggerutu dalam hati, mengganggu kebahagiaan orang lain saja. Sesaat Vanila dan Tom mengacuhkan ketukan itu, tapi tidak berlangsung lama. Vanila menarik diri dari dekapan Tom saat ketukan itu semakin intens dan disertai suara panggilan namanya. Siapa lagi kalau bukan Andy.
"Wow, pagi-pagi begini dia udah nongol aja di depan rumah isteri orang," Tom mendumel yang disambut tawa geli oleh Vanila.