Unperfect Marriage

Elisabet Erlias Purba
Chapter #133

#133. Missing Tom

Vanila celingak-celinguk sebentar melihat meja-meja yang ada, lalu dia melihat tangan Madya dan kedua anaknya melambai dengan penuh semangat dari meja mereka.

"Mama kehujanan." Dinda memekik saat melihat sang mama yang ada di hadapan mereka. Vanila tersenyum sambil membelai rambut putrinya itu.

"Hanya sedikit. Nggak apa-apa."

"Duduk di sana, Van." Madya menunjukkan dua kursi kosong berdampingan jelas diperuntukkan baginya dan Tom. Namun Tom bahkan belum tiba. Melirik ke arlojinya, Vanila menyadari Tom telat nyaris satu jam, walau dia juga telat karena kehujanan dan jadwal syuting. Namun entah mengapa kini hatinya dirundung risau. "Van, duduk di sana." Madya kembali mengingatkan saat mendapati Vanila masih berdiri di tempatnya dan celingak-celinguk. "Ada apa?"

"Tom belum datang, ya?" Madya menggeleng. "Ada kecelakaan di luar sana. Aku takut kalau...walau Andy bilang akan memastikan orang itu..."

"Andy?" Madya berkata bingung. "Ngapain dia di sini?"

"Mau makan malam juga katanya dan ini salah satu restoran favoritnya." Madya terkekeh. Bull shit. Andy jelas ngarang. Restoran ini restoran favoritnya? Andy tahu juga tidak kalau tempat sederhana era jadul begini ada di Jakarta. Cowok parlente dan glamor macam Andy kalau makan hanya di restoran hotel atau restoran skala internasional yang ada di mall-mall semacam ayam goreng negeri Paman Sam. Katanya brand di atas segalanya. Brand membuktikan bahwa mereka berkwalitas dan memiliki integritas. And whatever lah kalimat-kalimat lain sekaliber food blogger high class yang akan Andy katakan. Intinya Andy tidak pernah makan di restoran original seperti ini yang jelas tidak memiliki resume dari nara sumber terpercaya di matanya sekaliber Gordon Ramsay.

Jelas Andy punya maksud mengatakan hal itu. "Kalau kamu cemas, kita lihat keluar siapa yang mengalami kecelakaan. Anak-anak biar tetap di sini saja." Vanila mengangguk tanpa harus berpikir ulang.

"Verzet-Dinda, Mama pergi keluar sebentar dengan Tante Madya, ya. Tetap di sini dan jangan kemana-mana. Kalian boleh makan kerupuk yang ada di atas meja. Nanti kalau pelayan datang minta saja makanan yang kalian inginkan. Oke?" Vanila berkata pada anak-anaknya. "Sekali lagi jangan kemana-mana, tetap di sini, kalau ada orang asing jangan mau diajak pergi. Tetap di sini." Vanila mengultimatum anak-anaknya berkali-kali yang disambut anggukkan oleh Verzet dan Dinda. "Jangan hanya mengangguk. Mama mau kalian berjanji."

"Iya, Ma. Dinda janji."

"Iya, Ma. Kakak janji."

Dinda dan Verzet mengatakan hal itu bersamaan. "Janji apa? Mama mau dengar kalian dengar perkataan Mama atau tidak."

"Janji kalau ada orang asing nggak bakal mau diajak pergi. Tetap di sini sampai mama datang."

"Janji makan kerupuk di atas meja," Dinda menambah, "Janji pesan makanan yang disukai kalau pelayan restoran datang. Dinda bisa makan nasi goreng kan, Ma sama ampela ati sama.."

"Iya. Iya. Tapi jangan buang-buang makanan dan Kakak jangan pesan seafood. Tolong jaga adek bentar, ya, Kak."

"Iya, Ma." Verzet menjawab singkat dan jemari Vanila membelai lembut ubun-ubun kepala putranya itu.

"Mama, sayang kalian." Setelah kalimat itu barulah Vanila mengajak Madya. Cukup mengambil waktu lama. Begitulah ibu-ibu pikir Madya lalu teringat masa kecilnya ketika mamanya pergi memasak ke dapur. Untuk memasak saja- dia serta almarhum adiknya yang saat itu sudah aktif akan dipesani mama dengan pesanan panjang sekali. Buatnya: agar memperhatikan adiknya, kalau adiknya pipis harus melapor ke mamanya, kalau adiknya berak apalagi, kalau adiknya mulai lasak dia harus mencoba menenangkan si adik agar tidak jatuh dari baby walker-nya atau memanggil mamanya, belum lagi pesan buat dirinya sendiri agar dia jangan manjat-manjat pada kursi dan sofa termasuk pada jendela karena dia hobby mengintip anak-anak gede yang sudah SD bermain di jalanan depan rumahnya usai pulang sekolah. Suara mereka yang meriah sering mencuri perhatiannya dan satu lagi pesan mamanya agar dia jangan coba-coba membuka kunci pintu rumah karena saat itu dia sudah mulai pandai melakukan itu walau harus menggapai anak kunci dengan menaiki kursi. Vanila jelas seperti ibu-ibu lainnya seperti mamanya yang terlalu banyak mencemaskan anak-anaknya.

Saat mereka telah berada di luar sepayung berdua, korban kecelakaan itu baru saja di bawa dengan sebuah mobil SUV BMW hitam yang melaju melintasi mereka tanpa mereka sadari.

"Tadi ada yang kecelakaan kan, Pak?" Vanila bertanya pada seorang pria yang melintasinya.

"Iya, tapi sudah dibawa sama isterinya."

"Isteri?"

"Dia punya isteri, Mbak," Madya berbisik, "Nggak mungkin Mas Tom sih."

"Yang baru aja melintas tadi. BMW itu dikendarai isterinya." Vanila dan Madya beranjak setelah mengucapkan terima kasih pada pria itu. Vanila melirik pada ponsel di genggamannya yang masih berusaha memanggil ponsel Tom. Namun tetap saja tidak menjawab.

"Kalau Mbak masih ragu gimana kalau kita cari mobil Pak Tom diantara mobil yang terparkir di sini?" Vanila langsung mengangguk setuju kemudian melangkah lebih cepat menyusuri satu per satu mobil yang terparkir di pinggir jalan tanpa perduli jika langkahnya membuat tubuhnya kehilangan perlindungan dari payung yang ada di tangan Madya. Tanpa sengaja mata Andy melihat Vanila.

Hujan masih turun rintik-rintik, tapi begitu padat, dengan berlari Andy menuju ke arah Vanila padahal dia sedang ada di ujung parkiran- tempat mobil Tom berada. Jelas Vanila sedang mencari mobil Tom dan dia tidak ingin Vanila melihat keberadaan mobil itu. "Vanila, apa yang kau lakukan?" Tangan Andy segera meraih tangan Vanila. Payung yang memayunginya segera berpindah memayungi Vanila. Langkah Madya bahkan terhenti seketika. "Aku tahu kau ingin mencari Tom, tapi Tom tidak ada. Aku sudah mencarinya sampai ujung. Dia tidak ada." Mengalihkan pembicaraan, Andy menanyakan soal anak-anak Vanila, "Dimana anak-anak?" Andy melongok ke sana kemari.

"Mereka ada di dalam restoran."

"Di dalam restoran? Sendirian? Lebih baik kita kembali ke dalam restoran. Kita tunggu Tom di dalam. Kamu boleh telpon dia, tanya di mana dia. Nggak baik membiarkan anak-anak terlalu lama sendirian di dalam restoran. Orang restoran bisa nggak percaya kalau mereka mau makan di sana dan kalau kamu bakal kembali. Bisa saja anak-anak diusir keluar dan orang jahat akan mengambil kesempatan."

Iya, Andy benar. Bagaimana bisa dia lupa menitipkan putra dan putrinya pada orang restoran dan memberitahu bahwa dia akan segera kembali. Restoran itu selalu padat dan kalau pelanggan kekurangan kursi mungkin saja pegawai restoran mengusir anak-anaknya. Mereka sudah lama tidak ke restoran. Mungkin orang restoran sudah lupa wajah Verzet dan Dinda, lupa kalau mereka anak-anaknya dan Tom.

Vanila segera berjalan dengan tergesa kembali ke restoran. Andy menarik nafas lega. Kemudian menyusul langkah Vanila. "Tunggu sebentar, Van. Nanti kamu kehujanan." Namun langkah Andy melambat saat dia melihat Madya berada di sisi Vanila dan memayungi wanita itu. Sejenak Madya menatap ke belakang punggungnya, mengarahkan matanya memplototi Andy dengan tatapan curiga.

Lihat selengkapnya