"Sayang," suara itu membuat Brian yang tengah berdiri menatap ranjangnya- menolehkan kepalanya. Beberapa menit yang lalu dia sedang sibuk mencari ponselnya disekitaran ranjangnya, tapi sedari tadi tidak tampak tanda-tanda keberadaan benda itu.
Hufff, menghela nafasnya- Brian berhenti berjongkok dan menungging karena mencari benda itu di bawah perabot. Berdiri memandang sekitaran ranjangnya, dia ingat jelas sebelum tidur dia masih mencek ponselnya untuk mencari tahu perkembangan keadaan di beberapa proyek jalan tol yang dibangun Clement Construction terutama keadaan di proyek pembangunan jembatan Selat Sunda- ketika sebuah suara lembut memanggilnya.
Hufff, nafas Brian terasa berhenti saat kepalanya mendongak dan menemukan Clara yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut basahnya memakai sehelai handuk putih yang membelit tubuhnya. Handuk itu bahkan kependekan dan hanya bisa menutup bagian atas tubuh Clara, paha mulus Clara terpampang di depan mata Brian. Tetesan air masih menempel di kulit indahnya. Semerbak harum wangi sabun yang biasa digunakan Brian hinggap di penciuman Brian menimbulkan sensasi seksi. Brian tidak pernah tahu sabun kesehatan bisa menimbulkan sensasi itu. Lebih parahnya otot di bawah perutnya kini menegang.
"Maaf, Clara aaaku...titti..tidak bermaksud untuk melihatmu dadalam kon... kondisi ini," Brian tergagap. Clara berada satu meter di hadapannya, beberapa langkah di depan pintu kamar mandi. Brian memilih menundukkan wajahnya ke lantai kamar. " Tadi cuma mau ambil ponsel aku, tapi... nanti saja aku cari." Brian melangkah tergesa. Namun sedetik kemudian Brian merasakan sebuah tangan meraih tubuhnya dan menempelkan bibir pada bibirnya. Manis, wangi, lembut dan adiktif. Clara menciumnya. Mengulum bibirnya pelan hingga keras bahkan tangan wanita itu merayap pelan diantara bagian tubuh Brian. "Clara," desah Brian. Pikirannya buntu karena rang*****an itu. Tangannya turun hendak melepaskan handuk yang dikenakan Clara. Namun tangan Clara langsung menangkap pergelangan tangannya. Clara menarik diri.
"Jangan lupa bernafas." Wanita itu mengambil jarak. Brian menggigit bibirnya sambil menatap punggung Clara dengan aneka perasaan bertolak belakang. Ada rasa kecewa, sekaligus lega karena dia tidak melewati batas, ada rasa bingung sekaligus senang seakan baru dapat rezeki nomplok.
"Yang tadi itu apa?"
Clara menoleh ke belakang, melirik pada Brian dan mengerling nakal penuh senyum. "Itu tadi namanya pembuka hari."
"Apa?" Wajah Brian memerah. Apa kata Clara? Pembuka hari? Bagi Clara dia hanya pembuka hari? "Pembuka hari, ya," ejeknya lalu Brian melangkah. Clara menatap punggung Brian. Ketika mencapai pintu, Brian bicara lagi: "Aku tahu satu-satunya pria yang kau cintai adalah Pak Wie. Kau mungkin merindukannya pagi ini, tapi maaf aku bukan pembuka harimu... Aku jamin hal itu tidak akan pernah terjadi lagi."
Brian membuka handel pintu. "Aku tidak sedang merindukan Pak Wie." Putaran tangan Brian di handel pintu terhenti. "Aku rasa aku mungkin jatuh cinta lagi. Dia pria baik."
"Baguslah jika begitu." Brian membuka pintu. Dia harus berlalu sesegera mungkin dari kamar itu sebelum Clara menemukan rona kecewa di wajahnya. Apa sih yang dia harapkan? Posisinya jelas tidak mengizinkannya untuk jatuh cinta layaknya abg. Dia pria beristri. Dia juga sudah memiliki seorang putra. Hubungan dengan Clara adalah kemustahilan. Namun bagaimana pun perhatian dan kebaikan Clara padanya yang melebihi kebaikan dan perhatian Neli- isterinya sendiri membuatnya jatuh.
"Dia selalu ada tiap kali aku membutuhkannya. Ketika orang lain berpikir bahwa aku jahat dan materialis, dia percaya aku wanita baik yang mencintai Pak Wie, Orang itu kamu- Brian."
Brian membalikkan badannya. Matanya menatap Clara. "Itu nggak lucu, Clara."
"Apa aku terlihat sedang melucu? Aku tidak sedang melucu, Brian. I love you."
***
"Kenapa Papa nggak datang, Ma?" Dinda mengulangi salah satu pertanyaan yang sedari tadi keluar dari bibirnya dari sejak dia bangun pagi. Vanila seperti tadi bertindak pura-pura tidak mendengar. "Kenapa Om Andy di sini? Papa nggak suka sama Om Andy," suara rewel gadis kecilnya itu makin sering terdengar bahkan tanpa jeda. Dinda mengikuti setiap gerak Vanila termasuk saat mamanya itu memasak. "Mama berantam lagi sama Papa, ya?"
"Mama bohong lagi kan? Mama bilang kalau Mama sama Papa bakal baikan," Verzet nimbrung membuat dada Vanila terasa sesak. Vanila tak menjawab. Tangannya menjulurkan dua piring sarapan buat Verzet dan Dinda. Namun bukannya memakan makanannya kedua anaknya itu malah menggeser piring makanan mereka menjauh. "Kakak sama Adek nggak mau makan. Mama suka bohong."
Vanila menghela nafasnya panjang. Meraih dua piring itu dan segera meraih food box dan segera menuang makanan itu ke dalam kedua kotak makanan berwarna biru dan merah itu. "Bawa ke sekolah. Kalau kalian tidak suka kalian boleh membuangnya dan kelaparan." Vanila memasukkan dua box itu ke dalam tas mungil buat bekal.
"Madya, Bisa aku minta bantuanmu?" Vanila bertanya dengan suara parau. Wajahnya nampak kuyu, pucat dan sembab- jelas sisa sehabis menangis semalaman dan tidur tanpa membasuh wajah, walau juga bukan tidur yang nyenyak. Madya mengangguk, tak tega melihat kelelahan dan kesedihan di wajah Vanila. "Tolong antarkan anak-anak ke sekolah," pinta Vanila sambil membenahi bekal buat Verzet dan Dinda. Jadi keduanya masing-masing mendapatkan dua box makanan: sarapan dan makan siang.
"Mama..."
"Kalian sudah terlambat. Tante Madya akan mengantar kalian ke sekolah." Madya segera mengandeng tangan Dinda. dan Verzet.
"Ayo, sekolah, yuk. Papa bilang harus nurut loh sama Mama. Papa bakal datang kok. Lagi sibuk aja kali," Madya mencoba berbicara pada kedua anak Vanila tanpa memperdulikan mata Andy yang melotot menatapnya, jelas Andy tak suka dia menyembunyikan kebenaran yang ada pada Verzet dan Dinda- namun Madya juga merasa tidak punya hak menyatakan kebenaran yang ada di saat Vanila saja diam.
"Tante Madya bohong!" Dinda menepis pegangan tangan Madya.
"Nggak. Nanti kita telpon Papa, yuk." Vanila menghela nafasnya lalu mengambil alih untuk menertibkan putra dan putrinya.