"Lemparkan padaku lebih keras lagi dan cepat!" Tom berteriak pada Rowen yang kemudian menuruti sahabatnya yang nampak benar-benar berantakan itu. Tom belum bercerita apa pun, tapi Rowen jelas tahu ini berhubungan dengan Vanila dan rumah tangga keduanya. Beberapa menit yang lalu Tom menelponnya untuk bertemu dan dia menemukan Tom duduk sendiri di lapangan softball universitas mereka. Sebenarnya Rowen ingin tahu kenapa Tom mengunjungi universitas mereka malam-malam begini, tapi Tom malah memintanya melempar bola.
Tom memukul dengan cepat bola-bola softball yang terlempar keras ke arahnya berkali-kali hingga akhirnya sebuah bola lolos dan terlempar keras ke ulu hatinya. Tom meringis. Menjatuhkan pukulan besi yang ada di tangannya, memegangi ulu hatinya dan jatuh tersungkur di lapangan untuk menangis. Tom tidak pernah menangis.
Rowen berlari cemas ke arahnya. "Kau kenapa Tom? Apa sesakit itu?"
"Iya, ini sangat sakit. Sakit sekali. Rasanya aku mau mati," isaknya membuat Rowen makin cemas. Dia memang melempar cukup keras dan cepat, sudah sedikit kesal juga karena menjadi pitcher, tapi tidak satupun lemparannya yang gagal di tangkap Tom. Kalau saja ini permainan sungguhan dia sudah dimaki-maki satu tim karena tidak bisa memberi umpan tangkapan pada penangkap bola guna membuat strike.
"Sepertinya nggak sesakit itu, Tom." Rowen membela diri sambil mengusir rasa bersalah. Tom juga seorang karateka seharusnya rasa sakit sudah menjadi bagian hidupnya layaknya dalam iklan di televisi itu loh: no pain no gains.
"Siapa yang bilang tidak sakit. Ini sakit sekali. Vanila tidak mencintaiku lagi." Rowen menghela nafas panjang saat menyadari apa yang dimaksud dengan sakit oleh Tom. Kalau saja dia tidak mengingat kondisi sahabatnya itu kini, saat mendengar kalimat yang dikatakan Tom tadi sudah dia hajar Tom. Dia sudah diliputi rasa bersalah karena berpikir sakit itu akibat bola lempar yang dia lakukan terlalu kuat dan keras menghantam ulu hati Tom, tapi malah ternyata tentang rumah tangga Tom. Dia membantu sahabatnya itu untuk duduk dengan benar dan menyodorkan sebotol air mineral. Mereka terduduk di lapangan softball. Rumput hijau menggelitik telapak tangan mereka yang geletak di atasnya. "Dia berhenti mencintaiku setelah mengetahui perselingkuhan itu."
"Bukankah Vanila selalu mengatakan itu? Dan biasanya itu tidak mengusikmu. Kau selalu percaya bahwa Vanila mencintaimu dan akan kembali bersamamu. Kenapa kali ini ucapan mengusikmu?"
Tom terdiam. Gambaran wajah Vanila yang penuh dengan air mata kembali mengusik hatinya termasuk segala kalimat yang dilontarkan Vanila pagi tadi dan persidangan perceraian mereka siang tadi yang tidak dihadiri Vanila. Di persidangan itu Vanila membalas jawaban gugatannya dan meminta perceraian serta hak asuh penuh atas kedua anak mereka yang masih di bawah umur, tidak lupa pengacara Vanila tentu saja atas permintaan Vanila mengatakan bahwa dia tidak layak secara moral mengasuh Verzet dan Dinda karena dengan berselingkuh menunjukkan keegoisan diri dan lebih mementingkan kepentingan pribadi dan karena sekarang dia pengangguran dan tidak memiliki sumber penghasilan tetap. Situasi bahwa dia kini pengangguran hanya Vanila, anak-anak mereka dan kedua orang tuanya yang tahu. Demi Tuhan, walau hal itu benar- perihal dia pengangguran sekarang- hati Tom langsung tercacah-cacah saat itu juga. Jawaban atas jawaban gugatan alias Replik itu menjelaskan bagaimana Vanila benar-benar menginginkan perceraian ini.
"Apa pendapatmu jika ada seseorang yang berkata melihatmu saja membuat hatiku sakit?" Tom akhirnya bicara setelah menyeka air matanya dan meneguk air mineral yang tadi disodorkan Rowen padanya.
Rowen menarik nafas dalam-dalam. "Siapa pun tahu itu artinya dia sangat membenci orang itu. Itu bisa disamakan dengan jika bisa aku tidak mau berada di bumi yang sama dengan orang ini... Aku rasa sih itu maksudnya. Aku bukan anak sastra."
"Vanila mengatakan itu padaku." Tom menengadahkan wajahnya ke langit malam. "Dia meminta hak pengasuhan utuh atas anak-anak padanya. Dia mengatakan dengan berselingkuh aku jelas seorang yang tidak kompeten dan tidak layak secara moral untuk menjaga anak karena lebih mementingkan kesenangan pribadi bahkan dia mengatakan pada hakim bahwa aku pengangguran. Bukankah dia terlihat sangat ingin mengakhiri ini semua?"
"Kau ingin aku menjawab apa?" Rowen bertanya balik.
"Jangan menjawab apapun. Aku hanya ingin bercerita. Aku sudah punya keputusan sendiri." Rowen melirik sahabatnya itu. Tom entah sejak kapan telah tergolek di rumput lapangan softball. Matanya menatap langit hitam di atas sana dengan bertumpu pada kedua lengannya yang berada di belakang kepala. "Aku akan memenuhi semua keinginan Vanila. Kami akan bercerai dan aku akan memberikan seluruh hak asuh Verzet dan Dinda padanya."
"Maksudmu kau tidak ingin bertemu anak-anakmu lagi?"
"Itu lebih baik buat semuanya."
"Itu mungkin baik buatmu dan Vanila, tapi jelas bukan buat anak-anak."
"Mereka akan baik-baik saja dan melupakanku."
"Bagaimana bisa? Kau ayah mereka."
"Aku akan membuat mereka melupakanku dan bahkan tidak menginginkanku kembali lagi. Kau tahu, aku punya kemampuan itu dan Vanila adalah buktinya setelah membenciku, dia tidak pernah menginginkanku lagi." Ada nada getir di perkataan Tom.