Unperfect Marriage

Elisabet Erlias Purba
Chapter #145

#145. Manipulasi Clara

Verzet dan Dinda duduk berdempetan di mobil Andy, sang supir Andy lah yang menjemput mereka siang ini karena Vanila dan Madya bersama Andy dan pemain film Terbakar dalam Cinta tengah mengikuti pemutaran perdana film itu bersama beberapa orang yang beruntung memenangi karcis gratis dari acara yang di datangi Andy dan pemain utama wanita di radio maupun televisi dan para penonton yang harus membeli tiket.

"Telpon Papa, ya, Kak. Mamakan nggak di rumah, minta Papa datang ke rumah. Dinda rindu Papa." Dinda menggoyang-goyangkan lengan sang kakak. "Mama bilang Mama sama Papa bakal baikan, tapi sekarang musuhan lagi."

"Papa sih. Udah tahu Mama nggak suka dibohongi, tapi tetap aja bohongi Mama. Kata Papa mau makan bareng di restoran, tapi Papa nggak datang juga," Verzet membela mamanya.

"Papa pasti punya kerjaan, Kak."

"Papa itu pengangguran sekarang. Papa nggak punya kerjaan seharusnya Papa menepati janjinya."

"Aaaa...nnggg..." Dinda mulai menangis, "Dinda mau ketemu Papa! Kenapa sih Kakak sama seperti Mama: jahat?!"

"Iya.Iya, Kakak telpon Papa, tapi Dinda jangan nangis lagi." Verzet meraih ponselnya. Menimangnya di bawah tatapan mata sang adik. "Hapus dulu air matanya. Nanti Papa bakal marah ke Kakak kalau adek nangis." Dinda buru-buru menyeka air matanya dengan kedua punggung tangannya.

"Dah. Dinda nggak nangis lagi." Dinda berujar sambil memamerkan senyumnya yang manis pada sang kakak.

"Kebiasaan deh. Suka banget ngancam Kakak." Verzet cemberut, tapi segera menghidupkan ponselnya dan menekan nomor sang Papa diantara tawa bahagia dari bibir Dinda.

***

Tom menatap intens pada layar ponselnya yang bekedip dengan suara ringtone yang keras. Verzet calling. Tom menahan nafasnya, saat itu dia tengah mengiris daun seledri. Sejenak dia didera kebimbangan untuk mengangkat panggilan itu atau mengabaikannya. Yakin seratus persen Verzet dan Dinda pasti memintanya datang menemui mereka, tapi itu akan membuat keputusannya menjadi sulit buat semuanya: buat Vanila, buat anak-anak mereka dan juga buatnya.

Sudah saatnya Verzet dan Dinda belajar tumbuh tanpa dia. Tanpa kehadirannya. "Auwww," Tom memekik sambil menarik jemarinya yang terluka dan berdarah karena pisau di tangannya bukannya mengiris daun seledri, tapi malah menyayat jemarinya.

"Bapak nggak apa-apa?" Mbak Asih bertanya saat Tom mengguyur tangannya di air mengalir sementara Alfa juga telah melompat dari tempat duduknya dan menuju ke meja memasak.

"Nggak apa-apa. Cuma luka kecil." Tom membuka laci dapur dan meraih salah satu plester luka dan menempelkan ke jarinya. Sekali lagi dia menatap ponselnya yang kali ini layarnya telah buram. Dia tidak tahu harus lega atau sedih saat menyadari mungkin Verzet lelah menelponnya dan memilih tak lagi menghubungi.

Sorry, Verzet-Dinda. Maafkan Papa, tapi ini yang terbaik buat kita. Ada saatnya yang terbaik untuk Papa lakukan adalah mundur, bukan karena tidak mau berjuang lagi, tapi tidak ingin menyakiti Mama lagi, gumam Tom dalam hati, Papa ingin Mama bahagia. Suatu saat kalian akan memahami keputusan Papa. Papa akan selalu merindukan kalian.

***

"Kalau kamu mau kamu bisa tinggal di rumah, Om." Sekali lagi Tom menawarkan dirinya pada Alfa saat mengantar anak itu menuju rumah Clara. Sudah jam tujuh malam.

"Tapi, Papa memintaku tinggal bersama Tante Clara, Om." Alfa menjawab dengan pelan antara kesal pada permintaan papanya atau kesal pada masa lalu antara dia dan papanya dengan Tom.

Tom menghentikan mobilnya di depan rumah Pak Wie yang pagarnya nampak tertutup rapat. "Om tahu. Oke, kamu sabar, ya. Semua masalah akan selesai." Tom mengelus punggung Alfa sebelum anak itu melangkah turun dari atas mobil Tom dan Tom bergegas pergi dari rumah itu. Malas bertemu Clara.

Alfa baru saja akan menginjakkan kakinya di anak tangga yang membawanya ke lantai dua rumah ketika suara keras terdengar penuh kemarahan, "Kamu dari mana saja? Kau tahu ini sudah jam berapa? Adakah anak SD yang pulang sekolah pada jam begini...uhhh, bukan pulang sekolah...Karena kau bahkan tidak masuk sekolah!" Clara memekik keras. Tangannya memegang sebuah gelas berisi air es. Embun di sisi gelas itu menunjukkannya. Alfa tidak membalikkan badannya sedikit pun. Dia tidak suka dimarahi apalagi dalam situasinya yang seperti ini. Bukannya seharusnya Tante Clara memahami perasaannya? Bukankah mereka kehilangan orang yang sama: papanya walau dia lebih lagi juga kehilangan mama dan Tante Widya.

"Bu Clara, kami..."

"Dia sudah pulang." Clara berucap sinis. "Pergilah." Dua orang pria itu pergi meninggalkan mereka. Alfa menatap kepergian orang itu saat Clara berujar pelan, "Aku menyuruh mereka mencarimu sedari siang tadi ketika kau seharusnya pulang ke rumah ini karena sekolah telah usai dan kau malah menghilang entah kemana."

"Maaf, Tante aku tidak bermaksud membuatmu resah karena mencemaskanku."

Clara menghempaskan udara di rongga dadanya. Resah? Tentu saja dia resah, tapi itu jauh dari alasan mencemaskan keadaan bocah laki-laki yang keras kepala ini. Dia butuh Alfa sebagai sanderanya agar Brian tidak bertindak macam-macam di depan polisi. Namun dia tidak bisa bertindak kasar kada anak keras kepala ini karena bisa-bisa Alfa akan kabur dan dia akan kehilangan koin emasnya yang akan membantunya keluar dari tuduhan membunuh Neli dan adiknya.

"Maafkan, Tante karena bicara keras padamu -Alfa, Tante sedikit frustrasi: Papa kamu berada dalam masalah besar. Papamu dituduh membunuh mama dan Tantemu... bukti-bukti mengarah pada Papamu dan polisi menuntut Papamu dengan hukuman mati."

"Apa?" Tubuh Alfa terhuyung. "Papa nggak mungkin melakukan hal itu! Papa tidak akan pernah membunuh Mama dan Tante Widya!'

Lihat selengkapnya