Unperfect Marriage

Elisabet Erlias Purba
Chapter #146

#146. Harus Menjauh agar Tidak Ada yang Terluka

"Bawa dia masuk ke rumah! Kurung dia di kamarnya!" suara keras Clara terdengar saat Alfa memilih keluar dari dalam mobil dan berniat kabur. Dua orang satpam yang berjaga di pos depan segera memegangi kedua tangan Alfa yang meronta.

"Tante bilang jika aku mengatakan Papaku pemabuk, polisi tidak akan menghukumnya terlalu lama, tapi polisi itu bilang Papaku tetap akan dihukum lima belas tahun hingga dua puluh tahun atau seumur hidup! Kau bohong padaku! Kau jahat Tante Clara!"

"Bawa dia! Kurung dia cepat!" pekik Clara emosi melihat dua satpamnya terlalu lama menyeret Alfa ke dalam kamar anak itu hingga kini seluruh pekerja rumahnya menonton kejadian itu. Akhirnya Alfa sukses di bawa ke dalam kamarnya.

"Kenapa kau lakukan ini padaku dan Papaku? Bukannya kau mencintai Papaku?"

"Maaf, aku bohong. Aku tidak mencintai Papamu, Alfa," ujar Clara saat Alfa tiba di dalam kamarnya. Dua orang satpam yang membawa Alfa ke ruangan itu telah mengambil posisi di depan pintu. "Ada pria lain yang kucintai. Papamu yang mencintaiku. Papamu yang tergila-gila padaku. Bukankah dia Papa yang jahat? Dia meninggalkanmu dan Mamamu untuk wanita lain. Bukankah itu perbuatan yang sangat tidak bertanggung jawab? Aku membantumu menghukumnya. Kau seharusnya bahagia. Papa seperti itu nggak layak buat kalian... buatmu." Clara menepuk pipi Alfa yang membeku bagai patung lilin di museum Madame Tussaud.

"Apa kau yang membunuh Mama dan Tanteku?"

"Aku juga bisa membunuhmu dan Papamu," bisik Clara di sisi telinga Alfa yang seketika membeku. Clara menarik diri mengambil sedikit jarak agar Alfa melihat senyumnya. "Jadi anak yang baik akan membuat Papamu panjang umur." Clara berlalu bersama dua orang satpam itu. Suara pintu yang tertutup kemudian membuat perasaan Alfa makin dingin. Alfa tahu ucapan Clara jelas bukan hanya sebuah nasehat biasa, itu sebuah ancaman tersembunyi. Melorotkan tubuhnya di sisi ranjang, air mata anak laki-laki itu merembes jatuh. Dia benar-benar merasa berdosa pada papanya. Gara-gara omonganya kini papanya benar-benar akan dihukum.

"Papa maafkan Alfa," isaknya tak terbendung sambil meraung. Alfa berlari ke depan pintu kamar yang tertutup. Dia harus keluar dari tempat ini. Dia memukuli pintu kamar yang mengurungnya.

Di luar kamar, Clara hanya melirik sejenak pada pintu yang tertutup rapat itu saat mendengar suara berisik akibat pukulan Alfa pada pintu itu, kemudian dia mengalihkan pandangan pada para pekerja rumahnya.

"Jangan ada yang membukakan pintu buat anak itu. Jangan juga beri dia makan. Kalian dengar?!"

"Baik, Bu."

"Dan tutup mulut kalian jika kalian masih mau bekerja di sini."

"Baik, Bu." Jawaban serentak terdengar dari para pekerja rumah tangganya yang bahkan tidak mengangkat kepala mereka hingga bunyi platek- pletuk sepatu high heels Clara hilang dari tangkapan telinga mereka kemudian mereka membubarkan diri. Mereka tak merasa perlu mencampuri urusan nyonya rumah mereka yang penting mereka bekerja dan gaji mereka dibayar pas dan tepat waktu, walaupun mereka sebenarnya sering bertanya-tanya karena sejak kematian Pak Wie- rumah ini jadi sering didatangi polisi. Nyonya mereka yang cantiknya bak bidadari sering sekali harus berhubungan dengan hukum. Seluruh penghuni rumah tahu- bahkan beberapa waktu lalu si nyonya memaksa mereka sepakat mengatakan kalau si nyonya sudah pukang ke rumah jam delapan malam dan tidak keluar lagi, padahalkan nyonya mereka itu baru pulang sekitaran jam dua belas malam. Uhh, masa bodohlah. Orang bilang: apa yang tidak kamu ketahui tidak akan melukaimu dan mereka akan pura-pura tidak tahu.

Itulah pemikiran seragam yang ada di benak para ngurus rumah besar Wie. Hanya satu pekerja yang berdiri agak lama di depan pintu kamar Alfa- dia pekerja wanita yang mengantarkan Alfa saat pertama kali masuki rumah ini menuju ke kamarnya. Wanita itu pula yang menelpon polisi diam-diam saat Pak Wie terkujur kaku. Satu yang dia sesali karena butuh waktu lama baginya memberanikan diri untuk menelpon polisi. Mungkin hal itulah yang membuat Pak Wie tak selamat. Entahlah.

Dia ingat... Saat itu dia tiba di depan kamar Pak Wie untuk memberikan obat herbal yang sudah diseduh pada pria itu. Lupa mengetuk, dia menguak pintu kamar tidur Pak Wie dan segera shock saat melihat tubuh Pak Wie terkapar di lantai kamar tidur sementara Bu Clara menatap tubuh itu sambil tengkurap di atas tempat tidur. Tangan wanita itu tertekuk di dagunya. Kemudian wanita itu membalikkan tubuhnya, terlentang di tempat tidur dalam posisi vertikal memandangi lembaran kertas di tangannya. Sejenak dia berpikir untuk memasuki kamar dan berteriak minta tolong untuk menyelamatkan Pak Wie.

Namun ketakutan membuatnya membungkam mulutnya rapat-rapat. Butuh waktu berjam-jam untuknya mendapatkan keberaniannya- setelah gagal tertidur: dia baru menelpon polisi saat dini hari karena Clara tidak melakukan apa-apa pada mayat Pak Wie. Namun wanita jahat itu seperti sadar akan kedatangan polisi, teriakan wanita jahat itu terdengar dari dalam kamar tidur super lebar dan mewah itu. Air mata penuh kepura-puraan menyelamatkan wanita itu dari kecurigaan polisi.

Entah dia yang gob*ok atau keras kepala bahkan walaupun, polisi menyatakan kematian Pak Wie normal karena serangan jantung...dia tetap merasa majikannya yang sudah dia layani selama lebih dari delapan tahun itu mati karena dibunuh oleh nyonya muda mereka. Kalau tidak buat apa nyonya itu membiarkan tuannya yang terjatuh dengan wajah mencium lantai begitu lama bahkan tanpa usaha untuk menolongnya. Manusia normal jika melihat orang lain terjatuh atau sakit akan berusaha melakukan pertolongan paling tidak berteriak minta tolong pada orang lain dan bukan tidur.

Wanita jahat, bisik hatinya.

Lihat selengkapnya