Suara handel pintu kamar yang dibuka dari luar membuat Alfa yang masih terisak di kaki ranjang mendongakkan wajahnya. Handel pintu bergerak dengan perlahan dan Alfa segera berdiri, berlari menuju ambang pintu. Hanya satu hal yang ada di pikirannya saat itu dia harus keluar dari rumah ini dan memberitahu papanya apa yang dilakukan Tante Clara.
Tepat ketika pintu kamar itu terbuka, Alfa segera menubruk tubuh seseorang yang berada di ambang pintu. Namun dia kalah, tangan seseorang itu segera membekap mulutnya rapat dan mendorongnya masuk kembali ke dalam kamar. "Arggh." Alfa meronta.
"Diamlah atau kau akan membuat kita sama-sama tidak selamat." Suara wanita itu terdengar. Alfa menatapnya. Kemudian menyadari wanita itu adalah pekerja yang mengantarkannya ke kamar ini saat pertama kali dia memasuki rumah ini. "Entah bagaimana kalian bisa berhubungan dengan nyonya Clara, tapi wanita itu bukan wanita baik. Dia mampu membunuh siapa pun."
"Maksud Bibik?"
"Dengar, aku akan membantumu keluar dari rumah ini." Wanita baya itu mengintip sebentar keluar kamar dari celah pintu yang terbuka. Tak menjawab pertanyaan Alfa. "Ayo, ikuti aku. Kita harus bergerak cepat sebelum ada yang melihat." Saat memastikan semua aman, buru-buru dia keluar dari kamar itu diikuti oleh Alfa di belakangnya, tak lupa wanita baya itu segera mengunci pintu.
Kewaspadaan tingkat tinggi terlihat di wajah wanita itu. Hingga tiba-tiba suara derap sepatu dan suara kehebohan banyak orang terdengar dari lorong yang akan mereka lintasi, buru-buru- wanita setengah baya itu menarik tangan Alfa untuk berlari ke tempat lainnya.
"Keluarlah sendiri. Sepertinya seluruh pekerja rumah diminta berkumpul. Dari sini kau harus berjalan lurus sampai kau menemukan simpangan dua, pergi ke kananmu dua kali, ke kiri empat kali hingga kau menemukan pintu belakang. Dari pintu belakang di sana ada sebuah gerbang kecil untuk para pekerja keluar jika ada keperluan pribadi atau untuk membuang sampah. Kau akan melihat jalan raya. Jangan menyimpang dari jalan yang kukatakan. Aku sudah membuka pintu gerbang belakang jangan sampai ada yang menguncinya lagi. Nanti kau tidak akan bisa keluar dari rumah ini lagi."
Alfa mengangguk. Wanita baya itu buru-buru beranjak pergi ketika suara Alfa memanggilnya dengan berbisik. "Nama Bibik siapa?"
Wanita itu tidak menjawab. Tangannya bergerak sesuai gerak bibirnya untuk meminta Alfa segera pergi. "Pergilah. Pergilah." Tanpa menunggu Alfa berlalu, wanita baya itu segera melangkah meninggalkan Alfa dengan buru-buru.
Sepeninggal wanita itu, Alfa melangkahkan kakinya mengikuti petunjuk si bibik. Namun rumah itu jelas terlalu luas. Alfa tidak tahu petunjuk mana yang terlewatkan olehnya, alih-alih berada di depan pintu belakang dia terdampar di bagian lain rumah mewah itu dengan kamar-kamar tertutup berderet-deret layaknya kamar-kamar hotel setelah menaiki empat sampai lima anak tangga. Satu pintu itu terbuka. Alfa masuk ke dalam.
Ruangan itu luas. Berisi beberapa lemari kaca berisi deretan sepatu-sepatu beraneka warna dan bentuk, tas-tas branded dan mewah serta pakaian-pakaian bermerk terkenal. Di tengah ruangan itu ada sebuah meja jati dengan permukaan kaca yang memiliki beberapa laci. Alfa menatap semuanya dengan takjub.
"Sialan." Gerutuan seorang wanita dari balik lemari kaca itu membuat Alfa terkaget-kaget. Ternyata bukan hanya dia yang ada di ruangan ini. Clara juga tengah berada di ruangan ini. Alfa buru-buru hendak keluar dari kamar itu. Namun baru mencapai ambang pintu, langkahnya terhenti saat seorang wanita berseragam sama dengan si bibik yang menolongnya melangkah menuju ruangan itu.
Untungnya kemudian wanita itu berhenti untuk menerima panggilan ponselnya walau hanya beberapa langkah di sisi pintu. Konsentrasinya pada panggilan itu membuat Alfa bisa menghirup nafas sedikit lega karena bisa memastikan orang itu belum sempat melihatnya.
Alfa tidak bisa keluar dari ruangan ini sekarang, tapi jika dia tidak keluar saat ini-- ketika Tante Clara keluar, dia akan terkurung di ruangan itu. Alfa berpikir keras. Haruskah dia menerobos keluar walau sudah pasti akan segera berkejaran dengan seluruh isi rumah ini yang sudah pasti akan diperintahkan Tante Clara untuk menangkapnya? Jika itu yang terjadi dia sudah pasti kalah dan tertangkap lagi lalu kembali dikurung. Dia tidak mau itu terjadi lagi.
Berpikir cepat, Alfa meraih permen karet di dalam saku tasnya lalu mengunyah permen karet itu hingga terasa lengket. Kemudian dia meletakkan kertas sisa permen karet ke salah satu sisi permen karet dan dengan hati-hati memasukkannya ke dalam lubang kosen pintu bagian permen karet yang tidak tertutup kertas sebagai perekat kertas dengan kusen pintu, tepat untuk tempat masuknya lidah kunci, dengan begitu kunci akan terganjal dan tidak benar-benar terkunci. Dia bisa keluar dengan bebas usai kedua wanita itu pergi. Dia hanya berharap Tante Clara tidak cukup cermat hari ini jadi tidak akan melihat ada kertas yang menyumbat lubang kuncinya sebelum menutup pintu. Setelah melakukan hal itu dengan buru-buru Alfa bersembunyi di balik salah satu perabot.
Tok. Tok. Suara ketukan di pintu itu mengejutkan Clara yang tengah sibuk pada ruang yang lebih dalam lagi di closed room. Dia tengah berusaha membuka ponsel Neli yang katanya berisikan rekaman saat dia mendorong tubuh Alma Airin Wie-sang menantu yang sampai saat ini dirawat dengan intensif dan sangat tertutup oleh pihak rumah sakit atas permintaan keluarga Alma hingga dia sendiri bahkan tidak bisa melihat kondisi menantu dan anak tirinya itu. Sialnya dokter mengatakan kondisi mereka semakin baik dan dalam waktu kurang dari dua bulan dia bisa melihat mereka keluar dari rumah sakit. Bukankah itu benar-benar sial?
Kenapa semua tidak berjalan mulus seperti saat dia melenyapkan Leo dan Miranda Kerr yang dia lakukan tiga tahun lalu? Dia butuh memastikan sampai dimana kebenaran ucapan Neli. Apa yang wanita itu lihat saat kejadian itu? Sesempurna apa wanita itu merekam segala perbuatannya. Namun sandi sialan yang dipakai Neli benar-benar membuat dia pusing. Neli tidak memakai tanggal lahir siapapun dalam keluarganya, tidak juga tanggal pernikahannya dan Brian, bukan pula tanggal pertama dia bertemu Brian. Dengan frustrasi Clara meletakkan ponsel itu kembali lalu mendatangi ambang pintu.
"Ada apa? Bukannya aku bilang ketika aku di sini, jangan menggangguku?" Clara menatap kesal pada pengurus rumahnya itu.